Dasar Teori dan Konsep
Pendidikan
Oleh: Sri
Purwati
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yan
bergelut secara intens denan pendidikan.
Itulah sebabnya manusia dijuluki sebagai animal educandum dan animal educandus
secara sekalius, yaitu sebagai makhluk yang dididik dan makhluk yang mendidik.
Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yan senantiasa terlibat dalam proses
pendidikan, baik yan dilakukan baik yang dilakukan terhadap orang lain maupun
terhadap dirinya sendiri. Proses pendidikan merupakan suatu kegiatan yang universal dalam kehidupan
manusia, karena dimanapun dan kapanpun didunia terdapat pendidikan. Meskipun
pendidikan merupakan suatu gejala yang umum dalam setiap kehidupan masyarakat,
namun perbedaan filsafat dan pandangan hidup yang dianut oleh masing-masing bangsa atau masyarakat dan bahkan individu menyebabkan perbedaan penyelenggaraan kegiatan pendidikan
tersebut. Dengandemikian selain bersifat universal, pendidikan juga bersifat
nasional. Sifat nasionalnya akan mewarnai penyelenggaraan pendidikan bangsa
tersebut.
Pendidikan sebagai upaya manusia merupakan
aspek dan hasil budaya terbaik yang mampu disediakan setiap generasi manusia
untuk kepentingan generasi muda agar melanjutkan kehidupan dan cara hidup
mereka dalam konteks sosio budaya. Oleh karena itu, setiap masyarakat
pluralistic di zaman modern senantiasa menyiapkan warganya yang terpilih
sebagai pendidik bagi kepentingan kelanjutan (regenerasi) dari masing-masing
masyarakat yang bersangkutan. Beragam
permasalahan dalam pendidikan dalam pendidikan apabila tidak dapat dihilangkan
sama sekali, paling tidak hal itu perlu diperkecil, sehingga
persoalan-persoalan yang muncul tidak menggangu tercapainya tujuan pendidikan
umumnya, atau tujuan pembelajaran khususnya.
Menurut Sukardjo (2009:3) salah
satu cara untuk dapat menghilangkan atau memperkecil permasalahan yang timbul
adalah dengan berpijak pada teori-teori pendidikan. Dengan demikian, penguasaan
atas dasar-dasar pendidikan diharapkan menjadi cakrawala yang memberikan bekal
bagi pelaku pendidikan dalam rangka memperkecil persoalan pendidikan dan memecahkan
beragam permasalahan pendidikan pada umumnya, dan pembelajaran pada khususnya
Menurut undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
tahun 2003 pasal 1 ayat 1, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Di dalam pendidikan
termuat usaha atau kegiatan yang dilakukan dengan sadar dan penuh perencanaan
yang bertujuan untuk mengembangkan segala potensi yang ada pada peserta didik.
Kegiatan pendidikan
meliputi beberapa komponen. Komponen-komponen ini
tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan harus berjalan seiring guna mencapai
tujuan pendidikan. Namun, sebelum memahami beberapa komponen penting ini, kita
harus menggali lebih dalam tentang
teori-teori dan konsep-konsep pendidikan itu sendiri.
Hakikat Pendidikan
Definisi pendidikan telah banyak dikemukakan oleh
para ahli pendidikan. Berikut definisi-definisi pendidikan yang penulis
kumpulkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:232) diyatakan
bahwa pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan pelatihan. Jadi, pendidikan merupakan sebuah proses, yakni
proses perubahan perilaku baik individu ataupun sekelompok orang, dengan tujuan
untuk membuat individu-individu tersebut dewasa. Maksud dewasa di sini adalah
bahwa individu itu mencapai kematangan dalam pikiran dan pandangan. Dalam
pengertian ini juga terkandung upaya atau usaha yang dilakukan dalam kegiatan
pendidikan, yakni melalui pengajaran dan latihan.
Sejalan
dengan definisi di atas, Sukmadinata (2004:1) juga mengemukan pendidikan
sebagai upaya-upaya, yakni upaya mencerdaskan bangsa, menanamkan nilai-nilai
moral dan agama, membina kepribadian, mengajarkan pengetahuan, melatih
kecakapan, ketrampilan, memberikan bimbingan, arahan, tuntunan, teladan, dan
lain-lain.
Pendidikan sebagai upaya
juga dikemukakan oleh Soekidjo bahwa pendidikan secara umum adalah segala
upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok,
atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan. Sejalan dengan itu, Edgar Dalle juga menjelaskan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan
pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang
berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup
secara tetap untuk masa yang akan datang. Demikian juga definisi pendidikan
menurut M.J. Longeveled. menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha,
pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak agar tertuju
kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap melaksanakan
tugas hidupnya sendiri
Pendidikan sebagai proses
dikemukakan oleh H. Horn, bahwa pendidikan merupakan proses yang terus menerus
(abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah
berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada tuhan, seperti
termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari
manusia. Sama halnya dengan John Dewey, mengartikan pendidikan sebagai proses,
yakni suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi
di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin
pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan
kesinambungan sosial. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari
orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup Dari beberapa definisi di
atas, dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses
berkesinambungan dengan berbagai upaya atau usaha tertentu, seperti memberikan
pengajaran, pelatihan, dan bimbingan, guna mencapai apa yang diharapkan.
Hakekat
Teori
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan
dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis
mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dan bertujuan
untuk menjelaskan fenomena alamiah. Teori terdiri dari 3 elemen, yaitu concept
(konsep), scope (lingkup), dan relationship (hubungan).
Sebuah teori harus memiliki konsep-konsep dengan lingkup tertentu dan saling
berhubungan
Pengertian teori juga
dikemukakan oleh Kerlinger, yakni: a set of interrelated
constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic
view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of
explaining and predicting the phenomena (teori adalah seperangkat konstruksi {konsep}, definisi, dan preposisi
yang yang saling berhubungan yang menghadirkan suatu fenomena yang sistematis
dengan memerincikan hubungan antara variabel-variabel dengan tujuan untuk
menjelaskan dan meramalkan fenomena tersebut). Dengan demikian, sebuah teori terdiri
atas konsep, definisi, dan proposisi yang saling berhubungan, sehingga dapat menjelaskan dan meramalkan suatu
fenomena dengan memerinci terlebih dahulu hubungan antara konsep, definisi, dan
preposisi tadi
Definisi teori Kerlinger di atas juga
dikemukan oleh Soetriono dan Hanafie (2007:142-143) yang menyatakan bahwa teori
bukanlah suatu spekulasi melainkan suatu konstruksi yang jelas yang dibangun
atas jalinan fakta-fakta secara keseluruhan. Fakta mempunyai peranan dalam
teori, yakni: (a) memulai teori; (b) menolak dan mereformasi teori yang telah
ada; serta (c) mendefinisikan kembali atau memperjelas definisi-definisi yang
ada. Dalam pengembangan ilmu, teori memiliki peranan sebagai berikut.
1.
Teori
sebagai orientasi, yakni memfokuskan cakupan fakta-fakta mana saja yang
diperlukan.
2.
Teori
sebagai konseptual dan klasifikasi, yakni dapat memberikan petunjuk kejelasan
hubungan antarkonsep atas dasar klasifikasi tertentu.
3.
Teori
sebagai generalisasi, yakni memberikan rangkuman terhadap generalisasi empirik dari
berbagai proposisi.
4.
Teori
sebagai peramal fakta, yakni membuat prediksi-prediksi tentang adanya fakta
dengan cara membuat ektrapolasi (ramalan) dari yang sudah diketahui kepada yang
belum diketahui.
5.
Teori
menunjukkan adanya kesenjangan dalam pengetahuan kita, sehingga memberi
kesempatan kepada kita untuk melengkapi, menjelaskan, dan mempertajamnya.
Mudyahardjo (2001:91) mengartikan sebuah teori
dalam sosok teori yang terdiri dari bentuk dan isi. Dilihat dari bentuknya,
teori merupakan sistem konsep-konsep yang terpadu, menerangkan, dan meramalkan
(prediktif). Hal ini sejalan dengan definisi teori yang dikemukan sebelumnya.
Dilihat dari isinya, sebuah teori berisi konsep-konsep yang berfungsi sebagai asumsi
(dasar/titik tolak pemikiran sebuah teori) dan definisi (konotatif
atau denotatif, yang menyatakan makna dari istilah-istilah yang dipergunakan
dalam menyusun teori).
Dari definisi-definisi di atas, dapat penulis
simpulakan bahwa teori adalah beberapa atau kumpulan konsep-konsep yang saling
berhubungan satu sama lain dan berfungsi untuk menerangkan dan meramalkan suatu
fenomena (gejala atau kejadian).
Teori Pendidikan
Menurut N.R. Campbell (dalam Sudjana, 1989:7), teori adalah
perangkat proposisi (pernyataan ilmiah) yang terintegrasi secara sintaksis dan
berfungsi sebagai alat untuk menjelaskan, membedakan, meramalkan dan mengontrol
fenomena yang dapat diamati. Kemudian Snelbecker (dalam Miarso, 2011:103)
mengemukakan bahwa teori adalah segala aspek ilmuan tidak semata-mata bersifat
empirik, dan yang sangat khusus adalah ringkasan pernyataan yang melukiskan dan
menata sejumlah pengamatan empirik.
Berdasarkan kedua pengertian tersebut, teori adalah
pernyataan ilmiah yang berfungsi sebagai alat untuk menjelaskan, membedakan,
meramalkan, melukiskan dan menata sejumlah fenomena melalui pengamatan yang
terintegrasi secara sintaksis.
Kemudian menurut Mudyahardjo (2010:91) sebuah teori berisi
konsep-konsep, ada yang berfungsi sebagai sebagai: (1) asumsi atau
konsep-konsep yang menjadi dasar/titik tolak pemikiran sebuah teori, dan (2)
definisi, konotatif atau denotative atau konsep-konsep yang menyatakan makna
dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam menyusun teori.
Kemudian selanjutnya Mudyahardjo (2010:91) sebuah teori
pendidikan adalah sebuah sistem konsep-konsep yang terpadu, menerangkan, dan
prediktif tentang peristiwa-peristiwa pendidikan.
Dalam pendidikan terdapat klasifikasi teori pendidikan yang
akan dijabarkan lebih luas lagi sehingga menambah referensi mengenai
teori-teori pendidikan.
a.
Behaviorisme
Menurut Sukardjo (2009:33) Behaviorisme adalah posisi
filosofis yang mengatakan bahwa untuk menjadi ilmu pengetahuan, psikologi harus
memfokuskan perhatiannya pada sesuatu yang bisa diteliti lingkungan dan
perilaku-dari pada fokus pada apa yang tersedia dalam
individu-persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, berbagai citra, perasaan-perasaan,
dan sebagainya. Kemudian Sukardjo (2009:33) melanjutkan
bahwa kerangka kerja (frame work) dari teori pendidikan Behaviorisme adalah
Empirisme. Asumsi filosofis dari Behaviorisme adalah nature of human being
(manusia tumbuh secara alami).
Aliran Behaviorisme didasarkan pada perubahan tingkah laku
yang dapat diamati. Oleh karena itu, aliran itu, aliran ini berusaha mencoba
menerangkan dalam pembelajaran bagaimana lingkungan berpengaruh terhadap
perubahan tingkah laku. Dalam aliran ini tingkah laku dalam belajar akan
berubah kalau ada stimulus dan respons.
Dalam aliran behavior, faktor lain yang penting adalah reinforcement
(penguatan), yaitu penguatan yang dapat memperkuat respons. Tokoh aliran
Behaviorisme antara lain (1) Pavlov; (2) Watson; (3) Skinner; (4) Hull; (5)
Guthrie; (6) Thorndike.
1)
Ivan Petrovich Pavlov
Ivan Petrovic Pavlov atau lebih dikenal dengan nama singkat
Pavlov, adalah seorang lulusan sekolah kependetaan dan melanjutkan belajar ilmu
kedokteran di Militery Medical Academy, St. Petersburg. Untuk menjelaskan
pemahaman konsepnya, penjelasan sederhana konsepnya dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pengkondisian Pavlov atau klasikal yang membentuk gerak refleks
dimulai dengan stimulus yang belum menjadi kebiasaan (unconditioned stimulus)
dan respons yang belum menjadi kebiasaan (unconditioned response). Itulah
menurut Pavlov sebagai gerak refeks.
Kemudian, Pavlov menjelaskan bahwa pada bagian berikutnya
seseorang yang telah memiliki gerak refleks itu menggabungkannya dengan
stimulus netral dengan cara mempresentasikannya bersama stimulus yang belum
menjadi kebiasaan. Setelah melakukan sejumlah pengulangan, stimulus netral
dengan sendirinya akan mendapat respons. Pada titik ini stimulus netral
dinamakan kembali menjadi stimulus yang sudah menjadi kebiasaan (conditioned
stimulus) dan respons itu disebut respons yang sudah menjadi kebiasaan
(conditioned respons).
2)
Burrhus Frederic
Skinner
Menurut Sukardjo (2009:37) Asas Operant Conditioning B.F
Skinner dimuai dalam tahun 1930-an, yakni pada waktu keluarnya teori-teori
Stimulus-Respons (S-R). Skinner tidak sependapat dengan pandangan S-R dan
penjelasan refleks bersyarat yang menyebutkan “stimulus terus memiliki
sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur. Terkait dengan penjelasan S-R
tentang terjadinya perubahan tingkah laku, menurut Skinner merupakan hal yang
tidak lengkap untuk menjelaskan bagaimana organisme berinteraksi dengan
lingkungannya. Bukankah banyak tingkah laku yang menghasilkan perubahan atau
konsekuensi pada lingkungan yang mempunyai pengaruh terhadap organisme dan
dengan begitu mengubah kemungkinan organisme itu merespons.
Menurut Skinner
(dalam Uno, 2006: 9) respons yang diberikan oleh siswa tidaklah
sesederhana yang diungkapkan Watson,, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang
diberikan berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya
mempengaruhi respons yang dihasilkan. Sedangkan respons yang diberikan juga
menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
tingkah laku siswa.
Dengan dasar pemahamannya tentang belajar, tingkah laku,
serta hubungannya yang erat dengan lingkungan, Skinner menyampaikan
asumsi-asumsinya yang membentuk landasan untuk operant conditioning. Berdasarkan
pemahaman kedua pendapat tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa untuk
memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan pemahaman terhadap
respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respons
tersebut.
3)
John Broadus
Watson
Di dalam karangannya Pschology the behaviorist View it
terbitan 1913, Watson mempelajari tingkah laku manusia. Menurut pandangan
Watson, Behaviorisme harus menerapkan teknik-teknik penyelidikan binatang,
yaitu conditioning untuk mempelajari manusia. Oleh karena itu, ia
mendefinisikan kembali konsep mental (yang menurut dia sebetulnya tidak perlu)
sebagai subvokal, dan perasaan diartikan sebagai reaksi kelenjar.
Watson (dalam
Sukardjo, 2009:40) menyatakan bahwa kepribadian orang itu berkembang melalui
conditioning berbagai refleks. Ia berpendirian bahwa manusia waktu lahir hanya
memiliki tiga respons emosi, yaitu takut, marah dan sayang. Menurut Watson,
kehidupan emosi yang kompleks dari manusia dewasa itu merupakan hasil dari
conditioning tiga respons dasar tersebut pada berbagai keadaan.Kemudian Menurut
Watson (dalam Uno, 2009:7) stimulus dan respons tersebut harus berbentuk
tingkah laku yang bisa diamati (observable).
Berdasarkan hal
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Watson mengabaikan perubahan mental yang
mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu
diketahui.
4)
Clark Leonard Hull
Hull (dalam Sukardjo (2009:42), berpendirian bahwa tingkah
laku itu berfungsi menjaga agar organisasi tetap bertahan hidup. Hull
menyatakan bahwa kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan (drive) seperti lapar,
haus, tidur, hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus yang disebut
stimulus dorongan (SD) dikaitkan dengan dorongan primer dan karena itu
mendorong timbulnya tingkah laku. Kemudian bagi Hull (dalam Uno, 2006:8),
tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup. Kebutuhan
dikonsepkan sebagai dorongan (drive) seperti lapar, haus, tidur, hilangnya rasa
nyeri, dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa stimulus
hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun respons mungkin
bermacam-macam bentuknya.
5)
Edwin Ray Guthrie
Suatu tantangan baru terhadap teori-teori yang ada pada masa
itu diajukan oleh teori kontiguiti, yaitu gabungan dari stimulus-stimulus yang
disertai oleh suatu gerakan pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti
oleh gerakan yang sama.
Guthrie membedakan gerakan dengan tindakan. Menurut Guthrie
(dalam Sukardjo, 2009:44) Gerakan ialah pengurutan urat, sedangkan tindakan
adalah gabungan dari gerakan-gerakan. Menurut Guthrie (dalam Sukardjo, 2009:45)
tingkah laku bukan faktor yang penting, karena belajar terjadi karena gerakan terakhir
yang dilakukan mengubah situasi stimulus dan tidak ada respons lain yang dapat
terjadi.
Guhtrie mendapati pentingnya hukuman dalam mengubah tingkah
laku. Mengoasiasi stimulus-respons secara tepat itu merupakan inti dari saran
Guhtrie kepada para guru. Guthrie (dalam Uno, 2006:9) menjelaskan bahwa suatu
hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mengubah kebiasaan seseorang.
Berdasarkan hal tersebut dalam mengelolan kelas, guru diperingatkan agar tidak
memberikan tugas atau perintah yang mungkin akan diabaikan anak.
6)
Edward Lee Thorndike
Landasan teori Thorndike mula-mula diletakkan dalam
eksperimen yang dilakukannya dengan binatang. Penelitinnya dirancang untuk
menentukan apakah binatang itu memecahkan masalah dengan jalan berpikir ataukah
melalui suatu proses yang begitu mendasar sifatnya.
Dalam penelitian ini diketahui bahwa apabila terkurung
binatang itu sering melakukan bermacam-macam kelakuan, seperti menggaruk-garuk,
mengigit, mencakar, dan menggosok-gosokkan badannya ke sisi-sisi kotak. Cepat
atau lambat binatang itu akan tersandung palang dan lepaslah ia ke tempat
makanan. Kalau pengurungan itu berkali-kali, maka tingkah laku yang tidak ada
hubunganna dengan lepas dari kurungan berkurang. Tentu saja waktu yang
diperlukan untuk lepas menjadi lebih pendek.
Dalam penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa respons
lepas dari kurungan itu lambat laun diasosiasikan dengan situasi dalam belajar
melalui coba-coba, by trial and error. Respons benar lambat laun tertanam atau
diperkuat melalui percobaan yang berulang-ulang. Respons yang tidak benar
diperlemah. Gejala ini disebut substitution response atau dikenal dengan teori
mental conditioning karena pemilihan suatu respons itu merupakan alat atau
instrument untuk memperoleh ganjaran.
Thorndike (dalam Uno, 2006:7) proses interaksi antara
stimulus antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, gerakan) dan
respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Berdasarkan
hal tersebut, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat
diamati) atau yang nonkonkret (tidak dapat diamati). Sukardjo (2009:47)
menyatakan terkait dengan belajar, Thorndike menyampaikan tiga hukum belajar
yang utama dan itu diturunkan dari hasil penelitiannya. Ketiga hukum tersebut
adalah hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan.
Menurut Sukardjo (2009:48) yang terpenting bagi pendidikan
ialah penelitian Thorndike mengenai pengaruh jenis kegiatan belajar tertentu
pada belajar berikutnya. Pertama, serangkaian studi yang dilakukan oleh
Thorndike dan Woodwoorth (1901) menemukan bahwa berlatih dalam tugas tertentu
memudahkan belajar di waktu kemudian hana untuk tugas yang serupa, tidak untuk
tugas yang tidak serupa. Hubungan ini dikenal sebagai alih latihan, transfer of
training.
Kedua, Thorndike (1924) menyelidiki konsep disiplin mental
yang popular yang mula-mula diuraikan oleh Plato. Menurut paham penganjur
disiplin mental, mempelajari kurikulum tertentu, terutama matematika dan
bahasa-bahasa klasik dapat meningkatkan fungsi intelek. Thorndike menguji
konsep itu dengan cara membandingkan hasil belajar siswa-siswa sekolah
menengah. Setelah mengikuti pelajaran dalam kurikulum klasik dan kurikulum
vokasional ia menemukan bahwa ada perbedaan yang berarti dari keduanya. Dalam
tahun-tahun berikutnya, penelitian Thorndike ini disebut sebagai pembawa
pengaruh yang penting dalam mengalihkan pandangan pada perancang kurikulum
konsep disiplin mental dan mengarahkan pelaksanaan penyusunan kurikulum ke
tujuan, keguruan masyarakat.
b.
Kognitivisme
Menurut Sukardjo (2009:50) Kerangka kerja atau dasar
pemikiran dari teori pendidikan kognitivisme adalah dasarnya rasional. Teori
ini memiliki asumsi filosofis, yaitu the way in which we learn. Pengetahuan
seseorang diperoleh berdasarkan pemikiran. Inilah yang disebut dengan filosofi
Rasionalism. Menurut aliran ini, kita belajar disebabkan oleh kemampuan kita
dalam menafsirkan peristiwa/kejadian yang terjadi dalam lingkungan.
Kemudian Sukardjo (2009:50) Teori kognitivisme berusaha
menjelaskan dalam belajar bagaimana orang-orang berpikir. Menurut Uno (2006:10)
teori ini menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang
individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.
Aliran ini menjelaskan bagaimana belajar terjadi dan menjelaskan secara alami
kegiatan mental internal dalam diri kira. Oleh karena itu dalam aliran
kognitivisme lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu
sendiri. Tokoh aliran kognitivisme adalah Piaget, Bruner, dan Ausebel.
1)
Jean Piaget
Sukardjo (2009:51) menyatakan bahwa Jean Piaget pernah
mengatakan bahwa sejak usia balita seorang telah memiliki kemampuan tertentu
untuk menghadapi objek-objek yang ada disekitarnya. Kemampuan ini memang sangat
sederhana, yakni dalam bentuk kemampuan sensor-motorik, namun dengan kemampuan
inilah balita tidak akan mengeksplorasi lingkungannya dan menjadikannya dasar
bagi pengetahuan tentang dunia yang akan dia peroleh kemudian, serta akan
berubah menjadi kemampuan-kemampuan yang lebih maju dan rumit. Kemampuan-kemampuan
ini yang disebut Piaget sebagai Skema.
Menurut Piaget (dalam Uno (2006:10) proses belajar
sebenarnya terjadi dari tiga tahapan, yakni asimilasi, akomodasi, dan
equilibrasi. Kemudian Piaget juga menyatakan bahwa proses belajar harus
disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa, yang dalam
hal ini Piaget membagina menjadi empat tahap yaitu tahap sensori-motor (ketika
anak berumur 1,5 sampai 2 tahun), tahap pra-operasinal (2/3 sampat 7/8 tahun),
tahap operasional konkret (7/8 sampai 12/14 tahun) dan tahap operasional formal
(14 tahun atau lebih).
Berdasarkan tiga tahapan tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa seorang guru hendaknya memahami tahap-tahap perkembangan anak didiknya
ini, serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan
tahap-tahap tersebut.
2)
Jerome Bruner
Menurut Bruner (dalam Sukardjo, 2009:53) derajat
perkembangan kognitif itu ada tiga tahap. Tahap pertama, enaktif, merupakan
representasi pengetahuan dalam melakukan tindakan. Tahap kedua, ikonik, yakni
perangkuman bayangan secara visual. Dan tahap ketiga yang paling maju adalah
refresentasi simbolik, yaitu digunakan kata-kata dan lambang-lambang lain untuk
melukiskan pengalaman.
Dengan dasar tersebut, Bruner menyampaikan struktur yang mendasar
dari mata ajaran yang disebut konsep-konsep penatur harus diidentifikasi dan
digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum. Cara seperti ini menurut
Bruner memungkinkan orang mengajarkan mata ajar apapun secara efektif dalam
bentuk yang serba terang secara intelektual kepada siswa siapapun pada tahap
perkembangan manapun. Pengaturan ini disebut kurikulum spiral yang dicontohkan
dalam kurikulum ilmu pengetahuan sosial yang dikembangkan oleh Bruner, Man: A
course of study.
c.
Konstruktivisime
Menurut Von Glasersfeld (dalam Sukardjo, 2009:54) pengertian
konstruktif kognitif muncul pada abad ke-20 dalam tulisan Mark Baldwin yang
secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila
ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai
oleh Giambastissta Vico, seorang epistomolog dari italia (Suparno dalam
Sukardjo, 2009:54).
Pada tahun 1710, Vico mengungkapkan filsafatnya denggan
berkata,
Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Terkait dengan hal itu, dia menjelaskan bahwa mengetahui bermakna berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang dapat membangun sesuatu itu. Menurut Vico, pengetahuan tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang berlaku.
Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Terkait dengan hal itu, dia menjelaskan bahwa mengetahui bermakna berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang dapat membangun sesuatu itu. Menurut Vico, pengetahuan tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang berlaku.
Sukardjo (2009:55) menyatakan bahwa kaitannya dengan
pembelajaran, menurut teori konstruktivisme yang menjadi dasar bahwa siswa
memperoleh pengetahuan adalah karena keaktifan siswa itu sendiri. Kemudian
Sukardjo melanjutkan bahwa konsep pembelajaran menurut teori konstruktivisme
adalah suatu proses pembelajaran yang mengondisikan siswa untuk melakukan
proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetauan baru
berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan
dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi
pengalamanna sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi dalam pandangan
konstruktivisme sangat penting peran siswa untuk dapat membangun constructive
habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan
kebebasan dan sikap belajar.
d.
Teori Belajar
Humanistik
Menurut Sukardjo (2009:56) Teori belajar humanistik pada
dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Menurut Uno
(2006:14) proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri.
Teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses dalam belajar
dalam bentuknya yang paling ideal yaitu memanusiakan manusia (mencapai
aktualisasi diri). Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil
apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan
kata lain, si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha berusaha agar
lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Kemudian Sukardjo
(2009:56) menjelaskan bahwa menuru aliran humanistik, para pendidik sebaiknya
melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan kurikulum untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa
manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang, untuk menajdi lebih baik,
dan juga belajar. Secara singkat Sukardjo (2009:57) menyimpulkan bahwa
pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif.
Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan
kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Dalam teori
humanistik, belajar dianggap berhasil jika pembelajar memahami lingkungannya,
dan dirinya sendiri. Terdapat beberapa tokoh teori belajar Humanistik yaitu
sebagai berikut.
1)
Arthur W. Combs
Combs (dalam Sukardjo, 2009:58) menyatakan bahwa banyak guru
membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi
pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal makna yang
diharapkan siswa tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Dalam hal ini yang
penting ialah bagaimana pembawa persepsi siswa untuk memperoleh makna belajar
bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut yang menghubungkan materi
pelajaran dengan kehidupannya sehari-hari.
2)
Abraham Maslow
Menurut Sukardjo (2009:58) Teori Maslow didasarkan pada
asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal (a) suatu usaha yang positif
untuk berkembang, dan (b) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat hierarkis. Pada diri setiap orang terdapat berbagai
perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk
mengambil kesempatan, takut dengan apa yang sudah ia miliki, dan sebagainya.
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi
tujuh hierarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti
kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat memenuhi kebutuhan yang terletak
diatasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Hierarki
kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang
harus diperhatikan oleh guru pada waktu mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian
dan motivasi belajar akan berkembang kalau kebutuhan dasar siswa belum
terpenuhi.
Emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang tampak dari
para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan merasakan saling
beriringanm mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu
potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan
mendapat keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita
peroleh dari pendidikan yang
menitikberatkan kognisi.
Salah satu ciri utama
pendekatan humanistik adalah bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia,
bukan spesies lain. Akan sangat jelas perbedaaan antara motivasi manusia dan
motivasi yang dimiliki binatang. Hierarki kebutuhan motivasi Maslow
menggambarkan motivasi manusia yang berkeinginan untuk bersama manusia lain,
berkompetisi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga menggambarkan motivasi
dalam tingkat yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan.
3)
Carl Rogers
Rogers (dalam Sukardjo, 2009: 61) membedakan dua tipe
belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan esperiental (pengalaman atau
signifikansi). Sukardjo 2009:61) menyatakan bahwa menurut Rogers yang
terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan
prinsip pendidikan dan pembelajaran. Dalam bukunya Freedom to Learn, ia
menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting di antarana
ialah:
a)
Manusia mempunyai kemampuan belajar secara alami
b)
Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran
dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya.
c)
Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai
dirina sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d)
Tugas-tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah
dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin
kecil.
e)
Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat
diperoleh dengan berbagai acara yang berbeda-beda dan terjadilah proses
belajar.
f)
Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g)
Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses
belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h)
Belajar secara inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi
siswa seutuhnya.
i)
Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas,
lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan
mengritik dirinya sendiri.
j)
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia
modern ini adalah belajar mengenai proses belajar.
Definisi
Konsep
Istilah konsep berasal dari
bahasa Latin conceptum, artinya
sesuatu yang dipahami. Aristoteles dalam "The classical theory of concepts" menyatakan bahwa konsep
merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat
pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental,
yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol. Konsep dinyatakan juga sebagai
bagian dari pengetahuan yang dibangun dari berbagai macam kharakteristik
Menurut Soedjadi
(2000:14) pengertian konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk
mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan
suatu istilah atau rangkaian kata. Menurut Bahri (2008:30) pengertian konsep
adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama.
Orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang
dihadapi, sehingga objek-objek ditempatkan dalam golongan tertentu. Objek-objek
dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk representasi mental tak
berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata
(lambang bahasa). Menurut Singarimbun dan Effendi (2009) pengertian konsep
adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai
untuk menggambarkan barbagai fenomena yang sama. Konsep merupakan suatu
kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan. Dalam
merumuskan kita harus dapat menjelaskannya sesuai dengan maksud kita memakainya
Definisi konsep juga
disampaikan oleh Miarso dalam kuliah umum Dasar-dasar Teknologi Pendidikan
program studi Magister Teknologi Pendidikan Universitas Sriwijaya semester satu
pada 2 September 2013, bahwa setiap konsep diwakili oleh suatu istilah agar
mudah dikomunikasikan, istilah itu menjelaskan gagasan tertentu dan mengandung
acuan tertentu, gagasan juga merujuk pada acuan, penjelasan istilah yang
mengandung gagasan dan acuan merupakan definisi. Pada kesempatan tersebut
Miarso juga mengemukakan bahwa definisi konsep meliputi definisi konotatif dan
definisi denotatif. Definisi konotatif menghubungkan/menjelaskan dengan konsep
lain yang kurang abstrak. Definisi denotatif menunjukkah gagasan dan acuan
termasuk kondisi, prosedur, dan lain-lain yang diperlukan.
Konsep menurut Soetriono dan Hanafie (2007:142) adalah istilah atau simbol-simbol yang
mengandung pengertian singkat dari fenomena. Jadi, fenoena-fenomena yang ada
dapat disederhanakan dalam bentuk konsep.
Penulis mengambil kesimpulan
bahwa konsep menunjukkan ide atau gagasan fenomena yang disederhanakan,
meliputi istilah dan defenisi.
Teori Pendidikan dan Konsep Pendidikan
1.
Teori Pendidikan
Teori pendidikan dapat
dilihat dari 3 segi yaitu bentuk, isi, dan asumsi pokok (Mudyahardjo,
2001:91-92). Dari segi bentuk, teori pendidikan adalah sebuah sistem
konsep-konsep yang terpadu, menerangkan, dan prediktif tentang
peristiwa-peristiwa pendidikan. Isi sebuah teori pendidikan adalah sebuah
sistem konsep-konsep tentang peristiwa pendidikan. Konsep ini ada yang berperan
sebagai asumsi atau titik tolak pendidikan dan ada yang berperan sebagai definisi
atau keterangan yang menyatakan makna. Sedang, asumsi pokok pendidikan
meliputi:
a)
pendidikan
adalah aktual, artinya pendidikan bermula dari kondisi-kondisi aktual dari
individu yang belajar dab lingkungan belajarnya;
b)
pendidikan
adalah normatif, artinya pendidikan tertuju pada mencapai hal-hal yan baik atau
norma-norma yang baik, dam
c)
pendidikan
adalah suatu proses pencapaian tujuan, artinya pendidikan berupa serangkaian
kegiatan bermula dari kondisi-kondisi aktual dan individu yang belajar, tertuju
pada pencapaian individu yang diharapkan.
Klasifikasi Teori Pendidikan
Mudyahardjo (2001:100-110)
mengklafikasikan teori pendidikan menjadi teori umum pendidikan dan teori
khusus pendidikan. Berikut penjelasan kedua teori tersebut.
1)
Teori Umum Pendidikan
a)
Teori
Umum Pendidikan Preskriptif
adalah seperangkat konsep-konsep tentang keseluruhan aspek-aspek pendidikan
yang bertujuan menerangkan bagaimana sebaiknya peristiwa-peristiwa pendidikan
diselenggarakan. Teori yang termasuk kelompok ini adalah Filsafat Pendidikan.
b)
Teori
Umum Pendidikan Deskriptif
adalah seperangkat konsep-konsep tentang keseluruhan aspek-aspek pendidikan
yang bertujuan menerangkan bagaimana peristiwa-peristiwa pendidikan telah dan
sedang terjadi dalam masyarakat. Teori pendidikan yang termasuk dalam kelompok
ini yaitu:
a.
Pendidikan
luar negeri atau pendidikan internasional
b.
Pendidikan
perbandingan atau pendidikan komparatif
c.
Pendidikan
historis atau sejarah pendidikan
2) Teori
Khusus Pendidikan
a)
Teori
Khusus Pendidikan Preskriptif
adalah seperangkat konsep-konsep tentang
sesuatu aspek pendidikan yang bertujuan menjelaskan bagaimana seharusnya
sesuatu kegiatan pendidikan dilakukan. Teori yang termasuk kelompok ini adalah Teknologi Pendidikan.
b)
Teori
Khusus Pendidikan Preskriptif
adalah seperangkat konsep-konsep tentang sesuatu
aspek pendidikan yang bertujuan menjelaskan bagaimana peristiwa-peistiwa
pendidikan telah, sedang, dan diperkirakan terjadi di masyarakat. Teori yang
termasuk kelompok ini adalah ilmu-ilmu pendidikan, antara lain:
1)
Pedagogik:
studi ilmiah tentang situasi pendidikan meliputi komponen pendidikan, yakni: tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik, metode
pendidikan, isi pendidikan, lingkungan pendidikan, dan sarana prasarana
pendidikan
2)
Orthopedagogik:
studi ilmiah tentang situasi pendidikan untuk anak dan remaja yang berkebutuhan
khusus, yakni menyandang kelainan fisik, mental, dan atau perilaku.
3)
Psikologi
Pendidikan: studi ilmiah tentang aspek individu dalam pendidikan.
4)
Sosiologi
Pendidikan: studi ilmiah tentang aspek sosial dalam pendidikan.
5)
Ilmu
Pendidikan Demografis/Kependudukan: studi ilmiah tentang aspek demografis dalam
pendidikan atau hubungan penduduk manusia dengan lingkungan.
6)
Andragogi:
studi ilmiah tentang membantu orang dewasa dalam belajar.
7)
Antropologi
Pendidikan dan Etnografi Pendidikan: studi ilmiah tentang aspek budaya dalam
pendidikan.
8)
Ekonomika
Pendidikan: studi ilmiah tentang aspek ekonomi dalam pendidikan
9)
Politika
Pendidikan: studi ilmiah tentang aspek politik atau kebijaksanaan dalam
pendidikan.
10)
Ilmu
Administrasi Pendidikan: studi ilmiah tentang aspek cara mengatur
penyelenggaraan pendidikan.
Konsep Pendidikan
Mudyahardjo (2001:3-16) membagi definisi pendidikan menjadi 3, yaitu definisi luas,
sempit, dan luas terbatas. Hal tersebut dapat dijelaskan sabagai berikut.
1.
Definisi
Luas
Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala
pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang
hidup. Karakteristik konsep ini, yaitu: (a) masa pendidikan seumur hidup selama
ada pengaruh lingkungan; (b) lingkungan pendidikan dapat diciptakan maupun ada
dengan sendirinya; (c) kegiatan dapat berbentuk tak sengaja ataupun yang
terprogram; (d) tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar, tapi terkandung
dalam tiap pengalaman belajar, tidak terbatas, dan sama dengan tujuan hidup;
(e) didukung oleh kaum humanis romantik dan kaum pragmatik.
2.
Definisi
Sempit
Pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah
pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Karakteristik konsep ini, yaitu: (a) masa pendidikan terbatas; (b) lingkungan
pendidikan diciptakan khusus; (c) isi pendidikan tersusun secara terprogram
dalam bentuk kurikulum, kegiatan pendidikan berorientasi kepada guru, dan
kegiatan terjadwal; (d) tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar, terbatas
pada pengembangan kemampuan-kemampuan tertentu, bertujuan untuk mempersiapkan
hidup; (e) didukung oleh kaum behavioris.
3.
Definisi
Luas Terbatas
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh
keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
dan atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang
hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam
berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang. Karakteristik
konsep ini, yaitu: (a) masa pendidikan berlangsung seumur hidup yang
kegiatannya tidak berlangsung sembarang, tapi pada saat tertentu; (b)
berlangsung dalam sebagian lingkungan hidup {lingkungan hidup kultural}; (c)
berbentuk pendidikan formal, informal, dan nonformal; (d) tujuan pendidikan
adalah sebagian dari tujuan hidup yang bersifat menunjang terhadap pencapaian
tujuan hidup; (e) didukung oleh kaum humanis realistik dan realisme kritis.
Menurut Miarso (2004:9-10), ada beberapa konsepsi dasar
pendidikan, yakni:
1.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan kegiatan
yang dilakukan oleh anak didik yang berakibat terjadinya perubahan pada diri
pribadinya.
2.
Pendidikan
adalah proses yang berlangsung seumur hidup.
3.
Pendidikan
dapat berlangsung kapan dan dimana saja, yaitu pada saat dan tempat yang sesuai
dengan keadaan dan kebutuhan anak didik.
4.
Pendidikan
dapat berlangsung secara mandiri dan dapat berlangsung secara efektif dengan
dilakukannya pengawasan dan penilikan berkala.
5.
Pendidikan
dapat berlangsung secara efektif baik di dalam kelompok yang homogen, kelompok
yang heterogen, maupun perseorangan.
6.
Belajar
dapat diperoleh dari siapa dan apa saja, baik yang sengaja dirancang maupun
yang diambil manfaatnya.
Simpulan
Berdasarkan penjelasan di pembahasan,
dapat disimpulkan bahwa terdapat empat teori pendidikan yaitu teori
behaviorisme, kognitivisme, konstruktivisime, dan humanistik. Sedangkan untuk
konsep pendidikan yang penulis simpulkan berdasarkan dari beberapa pendapat
yaitu Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan secara terencana melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di sekolah
dan di luar sekolah untuk mengembangkan seluruh kemampuan (potensi) yang dimiliki
seseorang baik itu pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk digunakan dalam
memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang
akan datang. Dari pemaparan di atas
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.
Teori
pendidikan dapat dilihat dari 3 segi yaitu bentuk, isi, dan asumsi pokok. Dari
segi bentuk, teori pendidikan adalah sebuah sistem konsep-konsep yang terpadu,
menerangkan, dan prediktif tentang peristiwa-peristiwa pendidikan. Isi
sebuah teori pendidikan adalah sebuah sistem konsep-konsep tentang peristiwa
pendidikan. Sedang, asumsi pokok
menyatakan pendidikan adalah aktual, normatif, dan proses.
2.
Konsep
pendidikan meliputi pendidikan adalah kehidupan, pendidikan adalah sekolah, dan
pendidikan sekolah dan luar sekolah.
Daftar
Pustaka
Mudyaharjo, Redja. 2001. Pengantar
Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan
Pendidikan di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Miarso, Yusufhadi. 2007. Menyemai Benih Teknologi
Pendidikan. Jakarta: Kencana
Miarso, Yusufhadi. Kuliah umum Dasar-dasar Teknologi
Pendidikan program studi Magister Teknologi Pendidikan Universitas Sriwijaya
semester satu pada 2 September 2013.
Pidarta,
Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Soetriono dan Rita Hanafie. 2007. Filasafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi.
Sukardjo. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sukmadiata, N.S. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran
Kompetensi. Bandung: Yayasan Kusuma Karya.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Uno,
Hamzah B. Orientasi dalam Psikologi
Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
terima kasih admin, disini ==> www.intanonline.com tersedia buku mengenai pendidikan lho, yuk kunjungi websitenya.. :)
BalasHapus