Sabtu, 09 November 2013

Makalah Landasan dan Problematika Pendidikan Tinjauan Pembelajaran Dalam Persfektif Budaya


TINJAUAN PEMBELAJARAN
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA


Pendahuluan
Dalam konsep pembelajaran memiliki dua makna yang tidak bisa terpisahkan yaitu belajar dan mengajar. Belajar yang dihayati oleh seseorang pebelajar (siswa) ada hubunganna dengan usaha pembelajaran, yang dilakukan oleh pembelajar (guru). Pada satu sisi, belajar yang dialami oleh pebelajar terkait dengan pertumbuhan jasmani yang siap berkembang. Pada sisi lain, kegiatan belajar yang juga berupa perkembangan mental tersebut juga didorong oleh tindak pendidikan atau pembelajaran. Dengan kata lain, belajar ada kaitannya dengan usaha atau rekayasa pembelajaran.
Menurut Sanjaya (2006:94)  secara deskriptif mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses penyampaian itu sering juga dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Kemudian Sanjaya (2006:102) menyatakan bahwa mengajar adalah suatu aktivitas yang dapat membuat siswa belajar. Keterkaitan antara mengajar dan belajar diistilahkan Dewey (dalam Sanjaya, 2006:102) sebagai “menjual dan membeli”-Teaching is to Learning as Selling is to buying. Artinya seseorang tidak mungkin akan menjual perbuatan mengajar manakala tidak membuat seseotang belajar. Dengan demikian dalam istilah mengajar juga terkandung proses belajar siswa. Inilah makna pembelajaran.
Menurut Sanjaya (2006:104) proses pembelajaran harus diarahkan agar siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah, melalui sejumlah kompetensi akademik, kompetensi okupasional, kompetensi kultural, dan kompetensi temporal. Itulah sebabnya makna belajar bukan hana mendorong anak agar mampu menguasai sejumlah materi pelajaran, tetapi bagaimana agar anak itu memiliki sejumlah kompetensi untuk mampu menghadapi rintangan yang muncul sesuai dengan perubahan pola kehidupan masyarakat.
Berdasarkan kutipan tersebut ada sisi kultural atau budaya yang menjadi kompetensi dan kajian khusus dalam pembelajaran. Hal ini memperlihatkan bahwa antara pembelajaran dan budaya memiliki suatu hubungan dalam aplikasinya.
Hakikat Pembelajaran
Menurut Miarso (2004:547) Istilah pembelajaran digunakan untuk menunjukkan usaha pendidikan yang dilaksanakan secara sengaja, dengan tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan, serta pelaksanaannya terkendali. Pembelajaran atau pengajaran menurut Degeng (dalam Uno, 2006: 134) adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Dalam pengertian ini secara implisit dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kemudian Uno (1998:20) pembelajaran memiliki hakikat perencanaan atau perancangan (desain) sebagai upaya untuk membelajarkan siswa.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pembelajaran adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja untuk membelajarkan pebelajar dengan menggunakan perencanaan atau perancangan (desain) untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu pembelajaran menaruh perhatian pada “bagaimana membelajarkan siswa”, dan bukan pada “apa uamh dipelajari siswa”.
Pembelajaran memiliki dua konsep yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya yaitu belajar dan mengajar.
Hakikat Budaya
Menurut Ashley Montagu dan Cristper Dawson, kebudayaan diartikan sebagai way of life, yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa. Sementara menurut Koentjoroningrat, budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan segala hasil karya manusia dalam rangka khidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar (dalam Gering Supriyadi : 2003). Pada kesempatan lain Koentjoroningrat menyebut konsep kebudayaan sebagai sistem ide yang dimiliki bersama oleh masyarakat pendukungnya meliputi : (1) kepercayaan; (2) pengetahuan; (3) keseluruhan nilai dan norma hubungan antar individu dalam suatu komunitas yang dihayati, dilakukan, ditaati, dan dilestarikan; (4) keseluruhan cara mengungkapkan perasaan dengan bahasa lisan, tulisan, nyanyian, permainan musik, tarian, lukisan atau penggunaan lambang (Soetarno : 2004).
Dari beberapa pendapat tersebut kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil cipta, rasa, dan karya manusia yang dijunjung tinggi. Inti pokok kebudayaan itu sendiri merupakan gagasan-gagasan tradisional yang diperoleh dan dipilih secara historis, khususnya nilai-nilai yang relevan. Sistem kebudayaan dapat dianggap sebagai hasil tindakan dan sebagai unsur yang mempengaruhi tindakan selanjutnya .
Tinjauan Pembelajaran dalam Perpektif Budaya
Menurut Sanjaya (2006:104) proses pembelajaran harus diarahkan agar siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah, melalui sejumlah kompetensi akademik, kompetensi okupasional, kompetensi kultural, dan kompetensi temporal. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kompetensi kultural yaitu budaya.
Telah diketahui bersama, Indonesia merupakan negara multikultural. Menurut Komarudin (dalam Sukardjo, 2009: 70) istilah multikultural tidak hanya merujuk pada kenyataan sosial antropologis adanya pluralitas kelompok etnis, bahasa, dan agama yang berkembang di Indonesia tetapi juga mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima keragaman budaya.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar (dalam Sukardjo, 2009:70) mengatakan pentingnya pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan multikulturalisme perlu ditumbuhkembangkan karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi,dan lingkungan geografi, serta demografis sangat luar biasa.
Sukardjo (2009:71) menyatakan bahwa berdasarkan observasi, untuk penanaman kecintaan budaya lokal miliknya sendiri cukup sulit. Telah ada mata pelajaran Muatan Lokal yang memuat cerita-cerita rakyat daerah setempat, namun dirasakan kurang efektif untuk menanamkan cinta budaya sendiri. Apalagi jika harus mempelajari dan mencintai budaya luar daerahnya yang tidak terlalu familiar bagi peserta didik.
Namun, Brooks & Brooks (dalam Sutarno, 2004) percaya bahwa pendekatan pembelajaran berbasis budaya dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menciptakan makna dan mencapai pemahaman terpadu atas informasi keilmuan yang diperolehnya, serta penerapan informasi keilmuan tersebut dalam konteks permasalahan komunitas budayanya.
Pembelajaran untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya menekankan pada pembelajaran bermakna. Fink (2003:6-7) mengenai pembelajaran bermakna mengemukakan bahwa apa yang dipelajari mempunyai potensi tinggi untuk dimanfaatkan dalam kehidupannya, baik kehidupan pribadi maupun partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam pembelajaran, budaya menjadi cakupan yang harus diperhatikan lebih jauh karena akan berimplikasi pada perkembangan si pebelajar.
Sayakti (2003:132) menekankan pentingnya pembelajaran IPS SD menggunakan konsep lingkungan, khususnya budaya lokal, sebagai sumber belajar agar lebih bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan pembelajaran yang dikemas sesuai dengan karakteristik siswa. Karakteristik siswa SD yang masih berpikir konkrit dan realistik memerlukan pengemasan pembelajaran yang konkrit dan terpadu. Hal ini relevan dengan tujuan mata pelajaran IPS yang menyeluruh dan diorientasikan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap agar siswa mampu berpartisipasi dalam berbagai lingkungan (Schuncke, 1988: 232; Barr, Bart dan Shemis, 1978:17-19).
Tujuan ini menekankan pentingnya pengemasan pembelajaran terpadu yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar berbuat melalui peme cahan masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.Pembelajaran IPS SD terpadu yang holistik-kontekstual, secara konsepsional diharapkan dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya lokal apabila fokus pada tema budaya yang dikembangkan dengan mengintegrasikan budaya dalam prosesnya. Pengintegrasian budaya dalam proses pembelajaran memerlukan pendekatan pembelajaran berbasis budaya.
Selain itu, Pannen (dalam Suprayekti, 2004:4.9) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran. Pembelajaran ini berlandaskan pandangan konstruktivisme yang mengutamakan penciptaan makna di mana siswa mengkonstruksi pengetahuannya berdasarkan pengalaman awal budaya yang telah dimilikinya.
Bahkan Lomas (1990) berpendapat pembelajaran sejarah sosial akan mudah dihayati dan dipelajari jika latar belakang budaya, etnik dan nilai-nilai bangsa diperincikan ketika pengajaran Hubungan Etnik. Berasaskan pandangan-pandangan ini, pengajaran dan pembelajaran Hubungan Etnik tidak boleh lagi berfokus kepada sistem politik, sejarah negara, sejarah pembangunan negara semata-mata sebaliknya, perbincangan dalam mata pelajaran Hubungan Etnik perlu mengarah dan melihat aspek sosial kemasyarakatan kerana isu-isu yang berkaitan masyarakat adalah sesuai dengan konteks masyarakat Malaysia yang majmuk dan menjadikan bahan pelajaran Hubungan Etnik lebih dekat dengan pelajar.
Berkaitan dengan Indonesia sebagai negara Multikultural, pendapat yang lebih lengkap tentang pendidikan multikultural dikemukakan oleh Yaqin (2005:25) bahwa pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada peserta didik, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas social, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah.
Berdasarkan pemahaman dasar mengenai budaya, multikultural dan hubungannya dengan pembelajaran, seorang guru yang mengajar melalui pendekatan multikultural harus “fleksibel”, karena untuk mengajar dalam multikultur seperti di Indonesia, pertimbangan “perbedaan budaya” adalah hal penting yang harus menjadi perhatian guru. Faktor-faktor seperti: membangun paradigma keberagamaan inklusif dan moderat di sekolah, menghargai keragaman bahasa, membangun sikap sensitive gender, membangun pemahaman kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status social, membangun sikap anti diskriminasi etnis, menghargai perbedaan kemampuan dan menghargai perbedaan umur harus dikemas dalam ranah pembelajaran dan penyadaran di persekolahan, sehingga tercipta suatu paham untuk memahami dan menerima segala perbedaan yang ada pada setiap individu peserta didik dan pada akhirnya peserta didik diharapkan mampu memiliki karakter kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.
Proses pembelajaran yang dikembangkan harus menempatkan peserta didik pada kenyataan sosial di sekitarnya. Artinya, proses belajar yang mengandalkan peserta didik untuk belajar secara kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi kompetitif yang positif. Dengan cara ini, perbedaan antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, social, ekonomi, intelektual dan aspirasi politik. Proses belajar yang dapat dikembangkan misalnya: cooperative learning, problem solving, inquiry dan lain sebagainya.
Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan tidak hanya mengukur hasil belajar (achievement), tetapi secara lengkap memberi informasi yang lebih jelas tentang proses pembelajaran. Penggunaan asesmen alternative dianggap sebagai upaya untuk mengintegrasikan kegiatan pengukuran hasil belajar dengan keseluruhan proses pembelajara, bahkan asesmen itu sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran. Asesmen kinerja, asesmen portofolio, asesmen rubric, pedoman obsevasi, pedoman wawancara, rating scale, skala sikap, cek-list, kuesioner dan lain sebagai sebagai alat penilaian yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pembelajaran yang menggunakan pendekatan multikultural.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan mengenai hubungan antara budaya dan pembelajaran diatas, penulis menyimpulkan bahwa budaya menjadi aspek yang berperan penting dalam kegiatan pembelajaran. Pada prosesnya, perlu digunakan dan dipilih strategi mengajar oleh guru dan bagaimana kegiatan belajar itu akan dilakukan. Maka perlu di pertimbangkan model dan metode yang sesuai untuk diaplikasian pada pembelajaran dengan memahami aspek budaya tersebut. Beberapa diantaranya adalah dengan menggunakan pendekatan multikultural, pembelajaran bermakna, dan pembelajaran berbasis budaya itu sendiri.

Daftar Pustaka
Fink, L. 2003. Creating Significant Learning Eksperinces (An Integrated Approach to Designing College Courses). San Francisco: Jossey-Bass.
Gering, S. 2003. Budaya Kerja Pegawai Negeri Sipil, Lembaga Administrasi
Negara, Jakarta.
Lomas, T. 1990. Teaching and Assesing Historical Understanding. London: Historical Association.
Miarso, Y. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Beorientasi Standar Proses Pendidikan. Bandung: Gagas Media.
Sayakti, L. 2003. Implementasi Konsep Lingkungan Hidup sebagai Sumber Belajar dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Tesis S2 PS PIPS SPs UPI, Bandung.
Sukardjo. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Suprayekti. 2004. Pembaharuan Pembelajaran di SD. Jakarta: Pusat Penerbitan UT.
Soetarno. 2004. Ragam Budaya Indonesia, Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi - Dirjen Dikti - Depdiknas, Jakarta.
Schuncke. G. M. 1988. Elementary Social Studies: Knowing, Doing, Caring. New York: Macmillan Publishing Co Ltd.
Yaqin, M. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar