TINJAUAN PEMBELAJARAN
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
Pendahuluan
Dalam konsep pembelajaran memiliki dua makna
yang tidak bisa terpisahkan yaitu belajar dan mengajar. Belajar yang dihayati
oleh seseorang pebelajar (siswa) ada hubunganna dengan usaha pembelajaran, yang
dilakukan oleh pembelajar (guru). Pada satu sisi, belajar yang dialami oleh
pebelajar terkait dengan pertumbuhan jasmani yang siap berkembang. Pada sisi
lain, kegiatan belajar yang juga berupa perkembangan mental tersebut juga
didorong oleh tindak pendidikan atau pembelajaran. Dengan kata lain, belajar
ada kaitannya dengan usaha atau rekayasa pembelajaran.
Menurut Sanjaya (2006:94) secara
deskriptif mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau
pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses penyampaian itu sering juga dianggap
sebagai proses mentransfer ilmu. Kemudian Sanjaya (2006:102) menyatakan bahwa
mengajar adalah suatu aktivitas yang dapat membuat siswa belajar. Keterkaitan
antara mengajar dan belajar diistilahkan Dewey (dalam Sanjaya, 2006:102)
sebagai “menjual dan membeli”-Teaching is to Learning as Selling is to buying.
Artinya seseorang tidak mungkin akan menjual perbuatan mengajar manakala tidak
membuat seseotang belajar. Dengan demikian dalam istilah mengajar juga
terkandung proses belajar siswa. Inilah makna pembelajaran.
Menurut Sanjaya (2006:104) proses
pembelajaran harus diarahkan agar siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan
rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah, melalui sejumlah kompetensi
akademik, kompetensi okupasional, kompetensi kultural, dan kompetensi temporal.
Itulah sebabnya makna belajar bukan hana mendorong anak agar mampu menguasai
sejumlah materi pelajaran, tetapi bagaimana agar anak itu memiliki sejumlah
kompetensi untuk mampu menghadapi rintangan yang muncul sesuai dengan perubahan
pola kehidupan masyarakat.
Berdasarkan kutipan tersebut ada sisi
kultural atau budaya yang menjadi kompetensi dan kajian khusus dalam
pembelajaran. Hal ini memperlihatkan bahwa antara pembelajaran dan budaya
memiliki suatu hubungan dalam aplikasinya.
Hakikat Pembelajaran
Menurut Miarso (2004:547) Istilah
pembelajaran digunakan untuk menunjukkan usaha pendidikan yang dilaksanakan
secara sengaja, dengan tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses
dilaksanakan, serta pelaksanaannya terkendali. Pembelajaran atau pengajaran
menurut Degeng (dalam Uno, 2006: 134) adalah upaya untuk membelajarkan siswa.
Dalam pengertian ini secara implisit dalam pembelajaran terdapat kegiatan
memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Kemudian Uno (1998:20) pembelajaran memiliki hakikat perencanaan
atau perancangan (desain) sebagai upaya untuk membelajarkan siswa.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut,
penulis menyimpulkan bahwa pembelajaran adalah usaha yang dilakukan dengan
sengaja untuk membelajarkan pebelajar dengan menggunakan perencanaan atau
perancangan (desain) untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu
pembelajaran menaruh perhatian pada “bagaimana membelajarkan siswa”, dan bukan
pada “apa uamh dipelajari siswa”.
Pembelajaran memiliki dua konsep yang tidak
bisa dipisahkan satu sama lainnya yaitu belajar dan mengajar.
Hakikat Budaya
Menurut Ashley
Montagu dan Cristper Dawson, kebudayaan diartikan sebagai way of life, yaitu
cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa.
Sementara menurut Koentjoroningrat, budaya adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan segala hasil karya manusia dalam rangka khidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar (dalam Gering Supriyadi :
2003). Pada kesempatan lain Koentjoroningrat menyebut konsep kebudayaan sebagai
sistem ide yang dimiliki bersama oleh masyarakat pendukungnya meliputi : (1)
kepercayaan; (2) pengetahuan; (3) keseluruhan nilai dan norma hubungan antar
individu dalam suatu komunitas yang dihayati, dilakukan, ditaati, dan
dilestarikan; (4) keseluruhan cara mengungkapkan perasaan dengan bahasa lisan,
tulisan, nyanyian, permainan musik, tarian, lukisan atau penggunaan lambang
(Soetarno : 2004).
Dari beberapa pendapat tersebut kebudayaan
dapat diartikan sebagai hasil cipta, rasa, dan karya manusia yang dijunjung
tinggi. Inti pokok kebudayaan itu sendiri merupakan gagasan-gagasan
tradisional yang diperoleh dan dipilih secara historis, khususnya nilai-nilai
yang relevan. Sistem kebudayaan dapat dianggap sebagai hasil tindakan dan
sebagai unsur yang mempengaruhi tindakan selanjutnya .
Tinjauan Pembelajaran dalam Perpektif
Budaya
Menurut Sanjaya (2006:104) proses
pembelajaran harus diarahkan agar siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan
rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah, melalui sejumlah kompetensi
akademik, kompetensi okupasional, kompetensi kultural, dan kompetensi temporal.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah kompetensi kultural yaitu budaya.
Telah diketahui bersama, Indonesia merupakan
negara multikultural. Menurut Komarudin (dalam Sukardjo, 2009: 70) istilah
multikultural tidak hanya merujuk pada kenyataan sosial antropologis adanya pluralitas
kelompok etnis, bahasa, dan agama yang berkembang di Indonesia tetapi juga
mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima
keragaman budaya.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Malik
Fajar (dalam Sukardjo, 2009:70) mengatakan pentingnya pendidikan
multikulturalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan multikulturalisme perlu
ditumbuhkembangkan karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural,
tradisi,dan lingkungan geografi, serta demografis sangat luar biasa.
Sukardjo (2009:71) menyatakan bahwa
berdasarkan observasi, untuk penanaman kecintaan budaya lokal miliknya sendiri
cukup sulit. Telah ada mata pelajaran Muatan Lokal yang memuat cerita-cerita
rakyat daerah setempat, namun dirasakan kurang efektif untuk menanamkan cinta
budaya sendiri. Apalagi jika harus mempelajari dan mencintai budaya luar
daerahnya yang tidak terlalu familiar bagi peserta didik.
Namun, Brooks
& Brooks (dalam Sutarno, 2004) percaya bahwa pendekatan pembelajaran
berbasis budaya dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menciptakan makna dan mencapai pemahaman terpadu atas informasi keilmuan yang
diperolehnya, serta penerapan informasi keilmuan tersebut dalam konteks permasalahan
komunitas budayanya.
Pembelajaran untuk
meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya menekankan pada pembelajaran
bermakna. Fink (2003:6-7) mengenai pembelajaran bermakna mengemukakan bahwa apa
yang dipelajari mempunyai potensi tinggi untuk dimanfaatkan dalam kehidupannya,
baik kehidupan pribadi maupun partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
pembelajaran, budaya menjadi cakupan yang harus diperhatikan lebih jauh karena
akan berimplikasi pada perkembangan si pebelajar.
Sayakti (2003:132) menekankan
pentingnya pembelajaran IPS SD menggunakan konsep lingkungan, khususnya budaya
lokal, sebagai sumber belajar agar lebih bermakna. Pembelajaran bermakna
merupakan pembelajaran yang dikemas sesuai dengan karakteristik siswa.
Karakteristik siswa SD yang masih berpikir konkrit dan realistik memerlukan
pengemasan pembelajaran yang konkrit dan terpadu. Hal ini relevan dengan tujuan
mata pelajaran IPS yang menyeluruh dan diorientasikan pada penguasaan
pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap agar siswa mampu berpartisipasi
dalam berbagai lingkungan (Schuncke, 1988: 232; Barr, Bart dan Shemis,
1978:17-19).
Tujuan ini
menekankan pentingnya pengemasan pembelajaran terpadu yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk belajar berbuat melalui peme cahan masalah yang
muncul dalam kehidupan sehari-hari.Pembelajaran IPS SD terpadu yang
holistik-kontekstual, secara konsepsional diharapkan dapat meningkatkan
apresiasi siswa terhadap budaya lokal apabila fokus pada tema budaya yang
dikembangkan dengan mengintegrasikan budaya dalam prosesnya. Pengintegrasian
budaya dalam proses pembelajaran memerlukan pendekatan pembelajaran berbasis
budaya.
Selain itu,
Pannen (dalam Suprayekti, 2004:4.9) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis
budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan
pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses
pembelajaran. Pembelajaran ini berlandaskan pandangan konstruktivisme yang
mengutamakan penciptaan makna di mana siswa mengkonstruksi pengetahuannya
berdasarkan pengalaman awal budaya yang telah dimilikinya.
Bahkan Lomas (1990) berpendapat pembelajaran
sejarah sosial akan mudah dihayati dan dipelajari jika latar belakang budaya,
etnik dan nilai-nilai bangsa diperincikan ketika pengajaran Hubungan Etnik.
Berasaskan pandangan-pandangan ini, pengajaran dan pembelajaran Hubungan Etnik
tidak boleh lagi berfokus kepada sistem politik, sejarah negara, sejarah
pembangunan negara semata-mata sebaliknya, perbincangan dalam mata pelajaran
Hubungan Etnik perlu mengarah dan melihat aspek sosial kemasyarakatan kerana
isu-isu yang berkaitan masyarakat adalah sesuai dengan konteks masyarakat
Malaysia yang majmuk dan menjadikan bahan pelajaran Hubungan Etnik lebih dekat
dengan pelajar.
Berkaitan dengan Indonesia sebagai negara
Multikultural, pendapat yang lebih lengkap tentang pendidikan
multikultural dikemukakan oleh
Yaqin (2005:25) bahwa pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada
semua jenis mata pelajaran dengan cara
menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada peserta didik, seperti perbedaan etnis, agama,
bahasa, gender, kelas social, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah.
Berdasarkan
pemahaman dasar mengenai budaya, multikultural dan hubungannya dengan
pembelajaran, seorang guru yang mengajar melalui pendekatan multikultural harus
“fleksibel”, karena untuk mengajar dalam multikultur seperti di Indonesia,
pertimbangan “perbedaan budaya” adalah hal penting yang harus menjadi perhatian
guru. Faktor-faktor seperti: membangun paradigma keberagamaan inklusif dan
moderat di sekolah, menghargai keragaman bahasa, membangun sikap sensitive
gender, membangun pemahaman kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status
social, membangun sikap anti diskriminasi etnis, menghargai perbedaan kemampuan
dan menghargai perbedaan umur harus dikemas dalam ranah pembelajaran dan
penyadaran di persekolahan, sehingga tercipta suatu paham untuk memahami dan
menerima segala perbedaan yang ada pada setiap individu peserta didik dan pada
akhirnya peserta didik diharapkan mampu memiliki karakter kuat untuk selalu
bersikap demokratis, pluralis dan humanis.
Proses
pembelajaran yang dikembangkan harus menempatkan peserta didik pada kenyataan sosial
di sekitarnya. Artinya, proses belajar yang mengandalkan peserta didik untuk
belajar secara kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi
kompetitif yang positif. Dengan cara ini, perbedaan antar individu dapat
dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa hidup
dengan berbagai keragaman budaya, social, ekonomi, intelektual dan aspirasi
politik. Proses belajar yang dapat dikembangkan misalnya: cooperative learning,
problem solving, inquiry dan lain sebagainya.
Evaluasi yang
digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta
didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang
digunakan tidak hanya mengukur hasil belajar (achievement), tetapi secara
lengkap memberi informasi yang lebih jelas tentang proses pembelajaran.
Penggunaan asesmen alternative dianggap sebagai upaya untuk mengintegrasikan
kegiatan pengukuran hasil belajar dengan keseluruhan proses pembelajara, bahkan
asesmen itu sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan
proses pembelajaran. Asesmen kinerja, asesmen portofolio, asesmen rubric,
pedoman obsevasi, pedoman wawancara, rating scale, skala sikap, cek-list,
kuesioner dan lain sebagai sebagai alat penilaian yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi pembelajaran yang menggunakan pendekatan multikultural.
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan mengenai hubungan antara budaya dan pembelajaran diatas, penulis
menyimpulkan bahwa budaya menjadi aspek yang berperan penting dalam kegiatan
pembelajaran. Pada prosesnya, perlu digunakan dan dipilih strategi mengajar
oleh guru dan bagaimana kegiatan belajar itu akan dilakukan. Maka perlu di
pertimbangkan model dan metode yang sesuai untuk diaplikasian pada pembelajaran
dengan memahami aspek budaya tersebut. Beberapa diantaranya adalah dengan
menggunakan pendekatan multikultural, pembelajaran bermakna, dan pembelajaran
berbasis budaya itu sendiri.
Daftar Pustaka
Fink, L. 2003.
Creating Significant Learning Eksperinces (An Integrated Approach to Designing
College Courses). San Francisco: Jossey-Bass.
Gering,
S. 2003. Budaya Kerja Pegawai Negeri Sipil, Lembaga Administrasi
Negara, Jakarta.
Lomas, T. 1990. Teaching
and Assesing Historical Understanding. London:
Historical Association.
Miarso, Y.
2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sanjaya, W.
2006. Strategi Pembelajaran Beorientasi Standar Proses Pendidikan. Bandung:
Gagas Media.
Sayakti, L.
2003. Implementasi Konsep Lingkungan Hidup sebagai Sumber Belajar dalam
Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Tesis
S2 PS PIPS SPs UPI, Bandung.
Sukardjo.
2009. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Suprayekti.
2004. Pembaharuan Pembelajaran di SD. Jakarta: Pusat Penerbitan UT.
Soetarno. 2004. Ragam Budaya Indonesia, Direktorat Pembinaan Pendidikan
Tenaga Kependidikan dan
Ketenagaan Perguruan Tinggi - Dirjen Dikti - Depdiknas, Jakarta.
Schuncke. G.
M. 1988. Elementary Social Studies: Knowing, Doing, Caring. New York: Macmillan
Publishing Co Ltd.
Yaqin, M.
2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan
Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar