Sabtu, 09 November 2013

Makalah Filsafat Ilmu Epistemologi: Induktivisme, problema induksi, ketergantungan, observasi pada teori



EPISTEMOLOGI: INDUKTIVISME, PROBLEMA INDUKSI, KETERGANTUNGAN OBSERVASI PADA TEORI[1]
Sri Purwati

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Filsafat dan ilmu merupakan dua hal yang sangat berhubungan dan berkaitan, sebab kelahiran ilmu tidak dapat dilepaskan dari adanya peranan filsafat. Dengan demikian ilmu yang mengalami perkembangan akan semakin memperkuat keberadaan filsafat. Bacon dalam Achmadi (2012:3) mengungkapkan definisi filsafat sebagai induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.Eksistensi ilmu pengetahuan dalam filsafat berhubungan erat dengan proses mengungkapkan ilmu pengetahuan melalui objek ilmu pengetahuan, metode, sistem, dan kebenaran. Al-Farabi dalam Achmadi (2012:2) mengungkapkan filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada (al ilmu bil maujudat bi ma hiya al maujudat). Filsafat sebagai ilmu pengetahuan sangat berhubungan dengan cara berpikir yang sangat mendalam sampai hakikat atau berpikir secara global (menyeluruh) atau berpikir yang dilihat dari berbagai sudut pandang ilmu pengetahuan.
Adapun pengertian filsafat menurut Bakhtiar (2012:7-8) berkaitan dengan pertama sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas, kedua sebagai upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata, ketiga sebagai upaya menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakikatnya, keabsahanya, dan nilainya, keempat sebagai penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan dan kelima, filsafat sebagai disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.
Menurut Suriasumantri (1996:33) filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).Filsafat ilmu sebagai suatu telaah ilmiah berusaha menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu.Filsafat ilmu berdasarkan landasan epistemologis diperoleh melalui beberapa pertanyaan seperti bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahun? Bagaimana prosedurnya?hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? apayang disebut kebenaran?apakah kreterianya? bagaimanakah cara atau teknik dan sarana apa yang dapat membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?Pendapat ini diperkuat pula oleh pendapat Achmadi (2012:4) yang menyatakan bahwa filsafat sebagai ilmu mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu bagaimanakah? mengapakah? kemanakah? dan apakah?. Sebagai upaya memahami lebih dalam mengenai filsafat ilmu yang berdasarkan landasan epistemologi maka dari itu penulis membuat makalah yang berjudul epistomologi, induktivisme, dan problem Induksi.
Rumusan masalah
·      Bagaimanakah pengertian epistemologi dalam filsafat ilmu?
·      Bagaimanakah sejarah lahirnya epistemologi induktivisme ?
·      Bagaimanakah pengaruh induktivisme dalam epistemologi?
·      Bagaimanakah problema induksi dalam kajian epistemologi?
·      Bagaimanakah ketergantungan observasi pada teori dalam epistemologi?
Tujuan
·      Untuk mengetahui pengertian epistemologi dalam filsafat ilmu.
·      Untuk mengetahui sejarah lahirnya epistemologi induktivisme.
·      Untuk mengetahui pengaruh induktivisme dalam epistemologi.
·      Untuk mengetahui problema induksi dalam kajian epistemologi.
·      Untuk mengetahui ketergantungan observasi pada teori dalam epistemologi.
PEMBAHASAN
Pengertian Epistemologi
            Epistemologi sering disebut sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge).Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme yang artinya pengetahuan, dan logos yang artinya ilmu atau teori.Menurut Achmadi (2012:11) epistemologi disebut sebagai teori pengetahuan yang secara umum membicarakan mengenai sumber-sumber, karakteristik, dan kebenaran pengetahuan.Muzairi dalam Bakhtiar (2012:148) menyebutkan Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasar serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Pendapat lain yang bekaitan dengan epistemologi diungkapkan pula oleh Arifin dalam Susanto (2011:27) mendefinisikan efistemologi sebagai pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh, apakah dari akal pikiran (aliran rasionalisme), dari pengalaman panca indera (aliran empirisme), dari ide-ide (aliran idealism), atau dari Tuhan (aliran teologisme), termasuk juga pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia, artinya sampai di mana kebenaran pengetahuan kita.
Fudyartanto dalam Solihin (2001:33) menjelaskan bahwa epistemologi berarti ilmu filsafat tentang ilmu atau dalam istilah sederhanya adalah filsafat keilmuan. Senada dengan pendapat tersebut, Solihin (2001)  mengartikan epistemiologi sebagai ilmu yang berorientasi untuk mencari hakikat dan kebenaran ilmu; secara metode, berorientasi untuk mengantar manusia dalam memperoleh ilmu; dan secara sistem berusaha menjelaskan realitas ilmu dalam sebuah hirearki yang sistematis.
Sementara itu Bramedl dalam Rakhmat (1997:106) mendefinisikan epistemologi “it is epistemology that gives the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student” artinya epistemologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-murid. Rakhmat (1997:147) mengartikan epistemologi dalam bidang filsafat berusaha menyelidiki  sumber, syarat, proses terjadinya ilmu pengetahuan, batas validitas dan hakikat ilmu pengetahuan. Susanto (2011:27) mempertegas hubungan epistemologi dengan pengetahuan sebagaimana yang ia ungkapkan dalam pengertian epistemologi. Menurutnya epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal usul, susunan, metode-metode, dan status sahnya pengetahuan. Epistemologi membicarakan sumber-sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut sehingga sering disebut sebagai filsafat pengetahuan.
Keberadaan epistemologi sebagai  bagian dari filsafat yang memiliki kaitan erat dengan pengetahuan berhubungan dengan kemampuan mental manusia seperti yang diungkapkan oleh Suriasumantri (1996:104-105) bahwa pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental secara langsung atau tak langsung yang memperkaya kehidupan manusia.Pengetahuan memiliki hakikat untuk mencapai suatu kebenaran atau untuk mengharapkan kebenaran.Sebagai upaya menyusun pengetahuan yang benar maka dibutuhkan metode ilmiah sebagai landasan epistemologi.
            Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut sebagai ilmu. Tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang proses atau cara mendapatkannya harus sesuai dengan syarat-syarat dalam metode ilmiah. Sjamsuddin (2007:13) menjelaskan metode sebagai cara untuk berbuat sesuatu; suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu; keteraturan dalam berbuat, berencana, dan lain-lain seiring dengan pendapat tersebut Suriasumantri (1996:119) menjelaskan metodologi secara filsafat termasuk dalam epistemologi yang pembahasannya mengenai bagaimana mendapatkan pengetahuan? Apakah sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan, dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia memungkinkan mendapatkan pengetahuan. Francis Bacon dalam Mudyahardjo (2010:109) menjelaskan cara memperoleh ilmu pengetahuan harus melalui syaratpelaksanaan metode ilmiah. Pada tahap dilakukan pembersihan diri dari prasangka-prasangka dan kecenderungan-kecenderungan agar kembali menjadi bersih seperti anak yang baru lahir.
Secara sistematis Titus dalam Susanto (2011:103) menjelaskan tiga persoalan pokok dalam bidang epistemologi, yaitu sebagai berikut: (a)apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya? (b)apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya? (c)apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?
Berdasarkan berbagai pengertian epistemologi menurut para ahli tersebut maka epistemologi dapat disimpulkan sebagai teori pengetahuan yang berhubungan dengan bagaimana cara memperoleh pengetahuan berdasarkan syarat-syarat metode ilmiah sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada prinsip kebenaran.

Sejarah Lahirnya Epistemologi Induktivisme
            Asal mula lahirnya filsafat berawal dari adanya upaya mencari kebenaran, menyelidiki hakikat yang sebenarnya mengenai segala sesuatu secara sungguh-sungguh sedangkan istilah epistemologi pertama kali muncul dan digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 M di dalam Institut of Metaphisics (Solihin, 2001:9). Namun sebelum istilah epistemologi ini muncul, tokoh filsafat yang bernama Plato (427-347 SM) telah mengkaji epistemologi melalui pembahasan pada pertanyaan dasar seperti apakah panca indera dapat memberikan pengatahuan, dapatkah akal menyediakan pengetahuan. Dalam the encyclopedia of philosophy mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra anggapan dan dasar-dasarnya serta realitas umum dari tuntutan akan pengetahuan sebenarnya (Rakhmat, 1997:106).
            Menurut Plato pengetahuan yang diperoleh lewat akal sisebut sebagai pengetahuan akal dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman indera disebut sebagai pengetahuan indera atau pengetahuan pengalaman.Pengetahuan indera atau pengetahuan pengalaman bersifat tidak tetap atau berubah-ubah, sedangkan pengetahuan akal bersifat tetap atau tidak berubah-ubah (Achmadi, 2012:51).
Pembahasan mengenai kajian epistemologi selanjutnya dibahas oleh Aristoteles (384-322SM). Menurut Aristoteles yang dikenal sebagai bapak ilmu (Mudyarahardjo, 2010:99), pengetahuan manusia hanya dapat dimunculkan dengan dua cara yaitu induksi dan deduksi. Induksi adalah suatu proses berfikir yang bertolak pada hal-hal yang khusus untuk mencapai kesimpulan yang sifatnya umumSedangkan mengenai berpikir deduksi ialah proses berfikir yang bertolak pada dua kebenaran yang tidak diragukan lagi untuk mencapai kesimpulan sebagai kebenaran yang ketiga. Deduksi ini merupakan jalan yang baik untuk melahirkan pengetahuan baru.Berfikir deduksi yaitu silogisme yang terdiri dari premis mayor, premis minor, dan kesimpulan.Dengan berfikir silogisme maka epistemologi sebagai suatu ajaran dapat dijadikan pedoman dalam mengkaji kebenaran karena membahas dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence).Aristoteles mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan, yaitu: (a) ilmu pengetahua praktis (etika dan politik); (b) ilmu pengetahuan produktif (teknik dan kesenian); dan (3) ilmu pengetahuan teoretis (fisika, matematika, metafisika) (Achmadi, 2012:57-58).
Aliran epistemologi lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perennialisme. Aliran epistemologi memulai dari pola pemikiran yang memahami realita melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita berdasarkan ilmu pengetahuan. Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya dan pemahaman bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada didalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Kajian mengenai kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun untuk mencapai kebenaran yang hakiki (Rakhmat, 1997:99).
            Adapun kata filsafat dikalangan umat Islam diartikan dengan makna hikmah.Kedudukan kata hikmah ini ditempatkan diatas kata filsafat. Menurut Ibnu Sina (980-1037M), tokoh filsafat Islam hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat yang baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia (Susanto, 2011:42).
            Kajian filsafat mengenai epistemologi telah dibahas sebelum istilah epistemologi digunakan J.F. Ferrier oleh tokoh filsafat Islam.Mereka berusaha menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai kejadian.Dalam usaha menemukan penjelasan ini terutama penjelasan yang bersifat mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dari penafsiaran yang bersifat rasional dan metafisis sehingga berkembanglah metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahaun mencapai kulminasi antara abad IX dan XII Masehi. Pada masa tersebut semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani  hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran Romawi dan kemudian semangat ini lahir kembali dalam kebudayaan Islam yang ditandai dengan dibuatnya terjemahan filsafat Yunani oleh sarjana-sarjana muslim (Suriasumantri, 1996:114-115; Rakhmat, 1997:106).
            Pada masa kejayaan kekuasaan Islam, khususnya pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, ilmu berkembang sangat maju dan pesat. Dalam sejarah Islam, pada masa pemerintahan Al-Mansur, Al-Rasyid (786-809), Al-Ma’mun (813-833) dilakukan proses penerjemahan karya-karya filosof Yunani ke dalam bahasa Arab. Seperti Yuhanna (yahya)ibn Masawayh (857) menterjemahkan buku-buku kuno kedokteran, Hunain menterjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles, Galenus, Appolonuis, dan Archimedes. Pada abad ke-10 muncul dua penerjemah terkemuka yaitu Yahya Ibn A’di (974) dan Abu Ali Isa Ibn Ishaq Ibn Zera (1008) yang melakukan perbaikan terjemahan dan menulis komentar mengenai karya Aristoteles.Perkembangan filsafat semakin pesat salah satu buktinya adalah adanya ensiklopedi filsafat Arab yang disebut kitab al-syifa.Kitab ini terdiri dari empat bagian yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (Bachtiar, 2012:40-42).
Tokoh filsafat Islam yang membahas kajian epistemologi adalah Al-Gazali yang lahir pada tahun 1058M. Dalam kitabnya Risalah Al-Laduniyyah, Al- Gazalimenjelaskan bahwa ilmu secara epistemologi terbagi menjadi dua sumber  yaitu sumber insaniyyah dan sumber rabbaniyah.Sumber insaniyyahadalah sumber ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh manusia melalui usaha berdasarkan kekuatan akal pikirannya, sedangkan sumber rabbaniyahadalah sumber ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh manusia melalui wahyu yang diberikan kepada nabi dan rasul Allah ataupun petunjuk langsung melalui ilham yang dibisikkan dalam hati manusia (Solihin, 2011:13).
Dalam kitab Al-duniyyah, Al-Ghazali memandang ilmu sebagai gambaran jiwa yang berpikir penuh ketenangan (an-nafs an-nathiqah al-muthma’innah) dan selalu berfikir tentang akibat segala sesuatu. Selanjtnya ia mengungkapkan pula metode-metode untuk menghasilkan ilmu dalam Mizan Al-Amal. Cara untuk memperoleh ilmu terdiri atas dua macam metode yaitu metode ta’allum insani (pengajaran secara insani) dan ta’allu rabbani (pengajaran dari Tuhan) (Solihin, 2011:39).Epistemologi mengarahkan konsep pemikiran kearah pengetahuan untuk memecahkan masalah melalui penerapan metode yang ditujukan untuk mencapai kebenaran.Menurut pendapat Syam dalam Rakhmat (1997:72), kebenaran adalah kemampuan suatu ide memecahkan masalah.Kebenaran sebagai konsekuensi daripada ide, realitas pengetahuan, dan daya guna dalam hidup.
Sejarah perkembangan ilmu pasca Al-Ghazali mengalami pengaruh cukup signifikan. Bahwa pemikiran ilmu di dunia Islam cenderung kurang rasionalistik dan lebih selaras  dengan Al-Quran. Oleh karena itu banyak para pemikir dan filosof sesudahnya mengembalikan peran nalar pada posisi seimbang. Seperti Quthb al-Din yang memberikan klasifikasi  jenis ilmu secara garis besar menjadi ilmu hikmat (filosofis) dan ghair hikmat (nonfilosofis) (Bakhtiar, 2012:126).
Selanjutnya perkembangan epistemologi dalam sejarah tidak dapat dilepaskan keberadaannya dari adanya metode sebagai upaya mencapai suatu kebenaran ilmu pengetahuan dalam kajian epistemologi dicetuskan oleh Francis Bacon (1561-1626) malalui karanganya Novum Organon yang merupakan bagian dari Instauratio Magna. Menurut Francis Bacon, jiwa rasional mempunyau tiga macam daya, yaitu ingatan,  imajinasi, dan pikiran. Daya ingatan menciptakan sejarah.Daya imajinasi menciptakan puisi, sedangkan daya pikir menghasilkan filsafat. Filsafat terdiri atas tiga bagian,  yaitu (1) Filsafat tentang Tuhan atau teologi alam/rasional, (2) Filasafat tentang alam, dan (3) Filsafat tentang Manusia (Mudyahardjo, 2010:106).
Francis Bacon melakukan kritikan terhadap teori Aristoteles tentang tentang prosedur ilmiah yang dikemukakan oleh Aristotels dan pengikutnya (kaum Aristotelian). Kritikan Francis Bacon terdiri dari:(1) Aristoteles dan pengikutnya mempraktekkan suatu pengumpulan data yang serampangan dan tidak cermat. Fancis Bacon menginginkan pelaksanaan pengumpulan data sebagai penerapan prinsip pokok kedua mengenai ilmu eksperimental dari Roger Bacon (1214-1294), yaitu menggunakan eksperimentasi yang sistematis untuk mendapatkan pengetahuan tentang alam yang memerlukan intrumen-instrumen ilmiah dalam pengumpulan data, (2)cara menggenerelasasikan yang dilakukan kaum Aristotelian adalah terlampau terburu-buru. Berdasarkan sedikit observasi, mereka segera merumuskan  prinsip-prinsip yang sangat umum, kemudian menggunakan prinsip-prinsip tersebut untuk menjabarkan generelesasi yang berlingkup sempit, dan (3) Aristoteles dan pengikutnya mendasarkan induksi pada enumerasi atau penjumlahan sederhana, dengan demikian korelasi-korelasi tentang sifat-sifat yang ditemukan bersandar pada beberapa hal yang khusu dari sebuah tipe yang diajukan, berlaku untuk semua hal yang khusus dari sebuah tipe tersebut (Mudyahardjo, 2010:110; Suriasumantri, 1996:115).
Menurut Russel dalam Bakhtiar (2012:150-151) filsafat Bacon mempunyai peran penting dalam metode induksi dan sistematisasi prosedur ilmiah, menurutnya, dasar filsafat Bacon bersifat praktis, yaitu untuk memberi kekuasaan pada manusia untuk melakukan penyelidikan ilmih.Kritikan Francis Bacon terhadap filsafat Yunani yang lebih menekankan perenungan berakibat tidak mempunyai praktis bagi kehidupan manusia.Ia menyatakan, “the great mistake of greek philosophers was that they spent so much time in theory, so little in observation. Menurut Francis Bacon, alam tidak dapat dikuasai kecuali dengan jalan menaatinya, agar dapat taat pada alam, manusia perlu mengenalnya terlebih dahulu dan untuk menghetahui alam diperlukan observasi, pengukuran, penjelasan, dan pembuktian.
Francis Bacon berhasil meyakinkan  masyarakat ilmuan untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah. Metode eksperimental berpengaruh penting terhadap cara berfikir manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyataan empiris ataukah tidak.Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka terjadi perkembangan pengetahuan yang sangat cepat.Pembahasan Filsafat Bacon yang dalam perkembangan periode berikutnya banyak diikuti oleh ilmuan barat lainnya seperti Boyle, Newton, John Lock dan tokoh empirisme lainnya.Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir induksi(Induktivisme) (Suriasumantri, 1996:116; Mudyahardjo, 2010:113).



Induktivisme dalam epistemologi
            Menurut Francis Bacon, Filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya. Fransic Bacon meletakkan dasar induktif dalam epistemologi filsafat melalui pelaksanaan teori induktif dalam prosedur ilmiah.Faham mengenai teori induktif ini dikenal dengan istilah Induktivismeyang merupakan bagian dari empirisme yang sangat menghargai pengamatan empiris (Achmadi, 2012:3; Suriasumantri, 1996:215).
Teori induktif Bacon lahir sebagai jawaban atas kelemahan dari teori deduksi yang sebelumnya sering dipakai oleh Arisototelian. Francis Bacon, walaupun benar-benar menerima teori prosedur ilmiah Aristoteles, di sisi lain ia mengkritik tajam terhadap cara dari prosedur ini diambil. Teori induktif Bacon dimulai dengan bekerjanya pengindraan, yang menuntut kerjasama dengan pikiran, dan kegiatan pikiran harus dikendalikan oleh observasi.Menurutnya, pengetahuan tidak akan mengalami perkembangan dan tidak akan bermakna kecuali ia mempunyai kekuatan yang dapat membantu manusia meraih kehidupan yang lebih baik (Mudyahardjo, 2010:108; Bachtiar, 2012:150).
Craver (1995) menjelaskan pendapat Francis Bacon yang menyatakan bahwa sains tidak bisa melewati cara deduksi karena sains harus di perhatikan bersama dengan inquiri yang murni dan sederhana (mudah), inquiri tersebut tidak dibebani dengan praduga yang diyakini. Francis Bacon juga memegang teguh prinsip keilmuan bahwa sains harus mulai pada gaya ini, selanjutnya harus mengembangkan metode inquiri yang dapat diandalkan. Francis Bacon menyatakan bahwa persyaratan  pertama dari metode ilmiah adalah bahwa ilmuan hendaknya membersihkan diri dari prasangka-prasangka dan kecenderungan-kecenderungan agar kembali menjadi bersih seperti anak yang baru lahir (Mudyahardjo, 2010:109).
Francis Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir induktif  denganmenyatakan cara untuk mencapai kebenaran melalui metode induksi yang terdiri dari: (1) pikiran mungkin hasil dari pengindraan dan dari persepsi tentang hal-hal yang khusus kearah aksioma-aksioma yang sangat umum, dan dari aksioma-aksioma tersebut dijabarkan proposisi-proposisi yang kurang bersifat umum. (2), pikiran mungkin hasil dari pengeindaraan dan persepsi tentang hal-hal khusus kearah aksioma-aksioma yang dapat dicapai secara langsung dan oleh karena itu, secara berangsur-angsur dan hati-hati menuju memperoleh aksioma-aksioma yang lebih umum (Mudyahardjo, 2010:108).
Dalam rangka mengatasi kekurangan-kekurangan Teori Aristoteles tentang prosedur ilmiah, Francis Bacon dalam Mudyahardjo (2010:110), mengemukakan dua prinsip tentang metode yang diperlukan dalam membangun ilmu. Kedua prinsip tersebut, yaitu (1) metode baru yang menekankan induksi yang bersifat progresif, gradual, dan (2) metode ekslusi.Penyelidikan ilmiah yang dilakukan secara memadai merupakan suatu pendakian bertahap dari dasar sampai ke puncak piramida proposisi.Dengan  metode ekslusi akan dapat menghasilkan korelasi-korelasi pokok yang berbeda dengan korelasi-korelasi aksidental sebab untuk membuang hal-hal yang tak penting dalam korelasi aksidental dapat dilakukan penghilangan atau ekslusi terhadap hal-hal yang tidak penting sebagai proses generalisasi induktif sehingga dapat diperoleh korelasi-korelasi pokok.


Bagan 1.1
Jenjang aksioma Bacon
            Menurut Susanto (2011:104) Induksi (metode induktif) yaitu suatu metode yang menyampaikan pertanyaan-pertanyaan hasil observasi dan disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan iniversal.Senada dengan pendapat tersebut Bachtiar (2012:152) mengungkapkan induksi sebagai metode yanga menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dalam induksi setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga dengan pengetahuan sintetik melalui proses berfikir induktif.
            Adapun maksud dari proses berfikir induktif adalah proses pengujian secara empiris untukmengumpulkan fakta yang releven denganhipotesis yang diajukan. Bila  hipotesis itu didukung oleh fakta-fakta empiris, maka pernyataan hipotesis tersebut  dapat diterima atau disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan maka hipotesis itu di tolak.Pada tahap proses berfikir induktif terjadi penalaran induktif sebab meskipun premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulan adalah sah, maka kesimpulan itu belum tentu benar sehingga yang dapat diungkapan mengenai kesimpulan tersebut adalah kesimpulan itu memungkinkan untuk mempunyai peluang untuk benar. Pada tahap penarikan kesimpulan induktif, kitadihadapkan kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada kesimpulan yang bersifat umum sehingga kita membutuhkanpengetahuan statistika dalam penarikan kesimpulan induktif (Suriasumantri, 1996: 216).
            Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang(teori peluang).Teori peluang merupakan cabang matematika, sedangkan statistika sendiri merupakan disiplin ilmu tersendiri. Kegiatan ilmiah logika induktifini ditandai dengan tindakan menguji hipotesis yang diajukan.Penelitian ini berdasarkan pula pada pengamatan dalam alam empiris dengan meninjau apakah hipotesisi tersebut memang didukung oleh fakta-fakta (Suriasumantri, 1996:220).
            Menurut pendapat Ewing (2002), dalam segala bentuknya yang lebih khusus induksi merupakan persoalan generalisasi empiris, yakni kita berargumen bahwa karena sesuatu telah terbukti benar dalam sejumlah kasus yang diamati, besar kemungkinan yang diperoleh tidak bersifat pasti (kecuali dalam kasus-kasus khusus), tapi bisa menjadi sangat besar kemungkinannya dan seluruh prediksi rasional kita mengenai masa depan tergantung pada referensi ini. Pengambilan kesimpulan dengan induksi sudah pasti tidak sekedar masalah empiris karena kita menggunakannya untuk menyimpulkan apa yang belum kita amati.
     Maka dari itu sebagai upaya untuk menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, Francis Bacon menghindari empat macam idola atau rintangan dalam berpikir, yaitu: (1)idola tribus adalah kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan oleh kecenderungan yang melekat dalam sifat manusia, yang menghalangi untuk mampu mempertimbangkan secara objektif, misalnya manusia cenderung senang dengan hal yang menimbulkan kenikmatan pengindraan. (2)idola specus adalah kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan subjektivitas seseorang yang berkenaan dengan watak, pendidikan, pembacaan dan pengaruh-pengaruh khusus yang tertanam dalam diri seseorang. (3)idola fori adalah kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan karena pengaruh bahasa yang kurang mampu memberikan istilah-istilah yang jelas pengertiannya. (4) idola theatri adalah sistem-sistem filsafat masa lampau yang keliru dalam menggambarkan alam (Mudyahardjo, 2010:109).
Menanggapi upaya yang dilakukan Farncis Bacon dalam menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, maka Craver (1955) menegaskan bahwa  induktivisme Bacon tersebut berakar pada dua pilar; Observation dan induction.Observasi yang dilakukan dalam memperoleh knowledge harus diambil tanpa praduga (prejudice) atau pre-konsepsi (preconception).Dengan demikian dalam prosedur penelitian ilmiah kita diwajibkan untuk mencatat atau merekam hasil-hasil dari data-data pengalaman sensorik. Bentuk apa yang dapat kita lihat, kita dengar dan kita cium, apakah hal tersebut kita bisa dapatkan di dunia, atau pada lingkungan-lingkungan (circumstances) dari percobaan-percobaan. Hasil-hasil dari pengamatan diungkapkan dalam sesuatu yang dinamakan pernyataan observasi (observation statments).Dari sebuah kesimpulan pengamatan tersebut bisa digunakan sebagai landasan bagi hukum-hukum dan teori-teori ilmiah.

Problema Induksi Dalam Kajian Epistemologi
Problema induksi merupakan kajian dalam epistemologi yang didasarkan pada adanya kelemahan dalam induksi Francis Bacon seperti halnya kelemahan yang terjadi pada  konsep deduksi Aristoteles sebelum lahirnya induktivisme epistemologi.
Metode induksi Francis Bacon masih memperlihatkan hal-hal yang bertentangan, misalnya penolakan terhadap prasangka, tetapi di lain waktu ia menggunakan prasangka untuk menemukan pengetahuan. Maka dari itu, dalam bidang filsafat Descartes, tokoh yang terkenal dalam aliran rasionalisme kemudian merumuskan metode berfikir yang menjadi landasan berfikir dalam ilmu pengetahuan modern. Langkah-langkah tersebut yaitu : (1) tidak menerima apa pun sebagai hal yang benar, kecuali kalau itu diyakini sendiri itu memang benar, (2) memiliah-milah masalah menjadi bagian-bagian terkecil untuk mempermudah penyelesaian, dan (3) berfikir runtut dengan mulai dari hal yang sederhana sedikit demi sedikit untuk mencapai ke hal yang paling rumit. Maka dari itu, dapat dikatakan secara sederhana bahwa proses berfikir dimulai dengan ragu-ragu dan diakhiri dengan percaya atau tidak percaya (Bachtiar, 2012:161; Suriasumantri 1996:127; Susanto, 2011:14).
Selain itu, problema yang seringkali dipermasalahkan dalam induksi Francis Bacon (problema induksi)adalah ketidakmampuannya mewujudkan kemajuan ilmu pengetahuan dari metode induksi yang digunakannya, sebab dia hanya tahu tentang apa yang telah dicapai orang pada zamannya saja. Sedangkan ilmu itu mampu berkembang.Kepercayaan bahwa kemajuan yang dicapai oleh pengetahuan manusia khususnya ilmu-ilmu alam, akan membawa pada perkembangan manusia pada masa depan yang semakin gemilang dan makmurpada konsep berfikir induksi sangat berbanding terbalik dengan pendapat Bateson dalam Bachtiar (2012:159) yang menyatakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern akan menimbulkan permasalahan. Permasalahan ini terjadi karena kesalahan epistemologi yang mendasari ilmu pengetahuan dan teknologi modern seperti permasalahan insektisida, polusi, pengaruh radioaktif dan kemungkinan mencairnya es antartika.Dengan demikian, menurutnya ilmu pengetahuan harus bernilai praktis bagi manusia sehingga diperlukan metode deduksi induksi hasil pemikiran positivisme. Lahirnya aliran positivisme ini sebagai usaha menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme dengan cara memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran (Susanto, 2011:141).
Menurut pendapat Luthans dalam Suriasumantri (1996:134), suatu hipotesis yang telah teruji kebenarannya dan kemudian menjadi teori ilmiah akan dapat digunakan sebagai premis dalam mengembangkan hipotesis-hipotesis selanjutnya. Dengan demikian secara kumulatif, teori ilmiah akan berkembang seperti piramida terbalik yang makin lama makin tinggi. Diperkirakan ilmu berkembang dua kali lipat tiap jangka waktu sepuluh tahun.
Di samping itu penalaran induktif yang digunakan pada empirisme dan induktivisme bukan merupakan prediksi yang benar-benar akurat.Induktif bisa dihasilkan karena pengulangan-pengulangan secara terus menerus.Tetapi berapa pun banyaknya observasi/pengamatan, tetap saja generalisasi yang didapat sukar dibuktikan atau salah. Sebagai contohsetiap kali pemilik seekor ayam mendekat kepada ayamnya, ayam tersebut akan diberikan makanan. Sehingga setiap kali pemiliknya mendeka, ayam tahu bahwa saat itulah ia akan diberikan makanan. Dengan demikian ayam (secara instingtif atau behavioristis) memiliki pengetahuan atas pemberian makanan yang akan dimakan lewat kasus pembiasaan yang diulang ulang. Ayam sampai pada kesimpulan bahwa majikan datang sama dengan makanan datang. Ini merupakan kesimpulan umumnya. Namun suatu ketika majikan datang dan sang ayam pun mendekat. Bukan makanan yang di dapat oleh sang ayam tapi ayam tersebut akan disembelih.
Teori-teori yang membentuk pengetahuan ilmiah semestinya disusun berdasarkan keterangan-keterangan (observasi)universal, sedangkan dalam induktivisme naif memandang bahwa ilmu bertolak dari observasi.Berdasarkan kajian tersebut, maka pengamat ilmiah harus memiliki organ-organ dan alat pengindraan  yang normal dan sehat, dan harus pula secara setia dan jujur merekam apa yang ia lihat dan dengar dalam hubungan dengan situasi yang diamatinya, dan iapun harus melakukannya dengan suatu alam pikiran tanpa prasangka sedikit pun. Sehingga  dijadikannya sebagai dasar untuk menjadikan keterangan tunggal/terbatas yeng diperoleh melalui observasi, untuk membentuk teori ilmiah.
Keterbatasan induktivisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuanmelalui metode ilmiah tersebutmendapat kritikan terhadap empirisme dalam induktivisme seperti apayang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) dalam Suriasumantri (1996).
a.       Pengalaman yang merupakan dasar utama induktivisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis.
b.       Dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan induktivisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan.
c.       Dalam induktivisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam induktivisme dan empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dalam Chalmer (1983), dinyatakan bahwa argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen yang valid secara logis. Bisa terjadi penyimpulan argumen yang salah, walaupun premisnya benar.Misalnya, setelah dilakukan observasi terhadap sejumlah besar gagak pada variasi kondisi yang luas, ternyata didapat fakta gagak berwarna hitam.Maka dapat disimpulkan semua gagak adalah hitam.Ini adalah penyimpulan induktif yang valid dan sempurna.Namun disini tidak ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi bisa saja ada yang coklat atau merah jambu.Kalau hal ini terbukti, maka kesimpulan semua gagak hitam adalah salah.

Ketergantungan Observasi pada Teori
Induktivisme bagian dari empirisme yang sangat menghargai pengamatan empiris. Induktivisme naif berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah diatasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Demikian pula cara kita mengenal hukum-hukum alam pada kegiatan sehari-hari, yaitu dengan cara induksi. Contohnya, sejak kecil kita memperhatikan bahwa matahari terbit di timur. Hari berikutnya, masih demikian. Hari berikutnya, masih juga demikian. Sampai hari ini, matahari masih juga terbit di timur. Kenyataan seperti itu merupakan fakta khusus. Berdasarkan pengalaman ini, maka kita menyimpulkan bahwa “setiap hari matahari terbit ditimur”. Perhatikan cara pengambilan kesimpulan ini. Fakta-fakta khusus melahirkan sebuah kesimpulan umum. Ini adalah penarikan kesimpulan secara induktif. Apakah dapat dipastikan bahwa esok matahari juga terbit di timur? Tidak. Kita hanya dapat menganggap bahwa sangat besar kemungkinannya esok hari matahari terbit lagi di timur. Hal ini sesuai dengan sifat induksi yang spekulatif.
Pemikiran empirisme lahir sebagai suatu sanggahan terhadap aliran filsafat rasionalisme yang mengutamakan akal sebagai sumber pengetahuan. Untuk lebih memahami filsafat empirisme kita perlu terlebih dahulu melihat dua ciri pendekatan empirisme, yaitu: pendekatan makna dan pendekatan pengetahuan. Pendekatan makna menekankan pada pengalaman; sedangkan, pendekatan pengetahuan menekankan pada kebenaran yang diperoleh melalui pengamatan (observasi), atau yang diberi istilah dengan kebenaran a posteriori.
Para tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka tidak puas dengan cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh aliran rasionalisme. Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat menjunjung tinggi penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi, yaitu pembuktian dengan menggunakan logika. Sebaliknya, bagi John Locke, berpikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan pengalaman indera dalam pengembangan pengetahuan. Locke sangat menentang pendapat mazhab rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan seseorang sudah dibawa sejak lahir. Menurut Locke, pikiran manusia ketika lahir hanyalah berupa suatu lembaran bersih (tabula rasa), yang padanya pengetahuan dapat ditulis melalui pengalaman-pengalaman inderawi (McCleary, 1998). Lebih lanjut ia berpendapat bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal dari pengamatan atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis inilah, Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan perkembangan pikiran manusia (Brower dan Heryadi, 1986).
Tidak ada kesimpulan yang memiliki nilai kebenaran yang pasti. Yang ada hanyalah kesimpulan dengan probabilitas benar atau peluang kebenaran. Menurut Chalmer (1983), kondisi yang harus dipenuhi agar generalisasi atau kesimpulan dianggap benar dan sah oleh induktivis disebutkan sebagai berikut : makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar induksi, makin besar variasi kondisi dimana observasi dilakukan, dan keterangan observasi yang sudah diterima tidak boleh bertentangan dengan hukum universal yang menjadi simpulannya. Namun kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas (Chalmers, 1983). Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang menunjukkan pengingkaran pada teori.
Ada dua asumsi penting dalam pandangan induktivisme naif tentang observasi, yaitu:
a.       Ilmu bertolak dari observasi.
b.      Observasi menghasilkan landasan yang kukuh dan dari situ pengetahuan dapat ditarik.
Pengamatan ilmiah harus memiliki organ indera dan instrumen yang benar dan baik. Dua hal yang ditekankan pada observasi melalui penglihatan menurut induktivis, yaitu pengamat dapat menangkap langsung sifat dari duia luar selama sifat itu terekam oleh otaknya dari tindakan melihat. Yang kedua, dua pengamat normal memandang objek yang sama dari tempat yang sama akan melihat hal yang sama pula.
Namun ternyata, kenyataannya tidak demikian. Pengalaman dua pengamat ketika memandang satu objek yang sama dari tempat yang sama dalam keadaan fisik yang sama tidak harus mendapatkan pengalaman visual yang sama, walau hakikat gambar yang diterima retina mata sama.
Contoh praktek dalam ilmu mengilustrasikan hal yang sama yaitu apa yang terlihat adalah pengalaman subyektif, tidak ditentukan oleh retina saja, tetapi juga pada pengalaman, pengetahuan dan harapan secara psikologi dari pengamat. Seperti pada membaca gambar hasil sinar X yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan dari pendidikan dan latihan dibidangnya.
Untuk memantapkan validitas suatu keterangan observasi memerlukan pertolongan teori. Makin mantap validitasnya, makin ekstensif pengetahuan teori yang digunakan. Hal ini jelas berlawanan dengan apa yang kita harapkan dari induktivis, yakni untuk mengukuhkan keterangan observasi, perlu keterangan observasi yang terjamin dan mungkin hukum-hukum dapat ditarik secara induksi dari situ, bukan pada teori. Demikian juga saat melakukan suatu eksperimen, kadang kita memerlukan atau dipancing teori yang didapat dari penelitian. Ketergantungan observasi pada teori yang telah dibicarakan ini, menyudutkan para induktivis naif. Namun para induktivis modern mulai mau memodifikasi pandangannya. Jangkauan observasi empiris manusia yang terbatas sifatnya, membuat observasi perlu diperkuat, dilengkapi dan ditunjang dengan penggunaan sarana yang baik, pengandaian teoritis dan kemampuan merumuskan hasil observasi secara logis rasional. Oleh karena itu, kedua metode penalaran deduktif dan induktif, yang seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah, tetapi dalam prakteknya, keduanya berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan teori. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu wujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika.

Simpulan
“Knowledge is Power”, pengetahuan inderawi tidak menguasai segalanya (bersifat fungsional) dan dipergunakan untuk memajukan kehidupan manusia, “kuasa” dipahami sebagai kuasa atas alam (natura non nisi parendo vincitur artinya alam hanya dapat ditaklukkan dengan mematuhinya). Berdasarkan pemikiran ini, dirumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern. Metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai data-data partikular, yang pada tahap selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio natura). Ciri khas induksi adalah menemukan dasar inti (formale) yang melampaui data-data partikular, berapapun besar jumlahnya. Induksi adalah menarik kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat khusus.
Problem Induksi: (a)Pengalaman yang merupakan dasar utama induktivisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif, (b)Dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera (pancaindera manusia memiliki keterbatasan), (c)Dalam induktivisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Chalmer (1983): argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen yang valid secara logis. Penalaran induktif yang digunakan pada empirisme dan induktivisme bukan merupakan prediksi yang benar-benar akurat. Induktif bisa dihasilkan karena pengulangan-pengulangan secara terus menerus. Induktivisme naif berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah diatasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, A. (2012). Fisafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bakhtiar, A. (2004). Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rakhmat J. (1997). Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mudyahardjo, R. (2010). Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya.
Solihin, M. (2001). Epstemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali. Bandung: Pustaka Setia.
Suriasumantri, J. (1996). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Susanto, O. (2011). Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.



[1] Makalah disajikan pada mata kuliah Filsafat Ilmu 25 Oktober 2013
[2] Mahasiswa Magister Teknologi Pendidikan Universitas Sriwijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar