EPISTEMOLOGI: INDUKTIVISME, PROBLEMA INDUKSI,
KETERGANTUNGAN OBSERVASI PADA TEORI[1]
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Filsafat
dan ilmu merupakan dua hal yang sangat berhubungan dan berkaitan, sebab kelahiran ilmu tidak dapat
dilepaskan dari adanya peranan filsafat. Dengan demikian ilmu yang mengalami
perkembangan akan semakin memperkuat keberadaan filsafat. Bacon dalam Achmadi (2012:3)
mengungkapkan definisi filsafat sebagai induk agung dari ilmu-ilmu, dan
filsafat menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.Eksistensi ilmu
pengetahuan dalam filsafat berhubungan erat dengan proses mengungkapkan ilmu
pengetahuan melalui objek ilmu pengetahuan, metode, sistem, dan kebenaran. Al-Farabi dalam Achmadi (2012:2)
mengungkapkan filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya
dari segala yang ada (al ilmu bil
maujudat bi ma hiya al maujudat). Filsafat sebagai ilmu pengetahuan sangat
berhubungan dengan cara berpikir yang sangat mendalam sampai hakikat atau
berpikir secara global (menyeluruh) atau berpikir yang dilihat dari berbagai
sudut pandang ilmu pengetahuan.
Adapun
pengertian filsafat menurut Bakhtiar (2012:7-8) berkaitan dengan pertama
sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta
lengkap tentang seluruh realitas, kedua sebagai upaya untuk melukiskan hakikat
realitas akhir dan dasar serta nyata, ketiga sebagai upaya menentukan
batas-batas dan jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakikatnya, keabsahanya, dan
nilainya, keempat sebagai penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan dan
kelima, filsafat sebagai disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda
melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.
Menurut
Suriasumantri (1996:33) filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi
(filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan
ilmiah).Filsafat ilmu sebagai suatu telaah ilmiah berusaha menjawab beberapa
pertanyaan mengenai hakikat ilmu.Filsafat ilmu berdasarkan landasan
epistemologis diperoleh melalui beberapa pertanyaan seperti bagaimana proses
mendapatkan ilmu pengetahun? Bagaimana prosedurnya?hal-hal apa yang harus
diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? apayang disebut
kebenaran?apakah kreterianya? bagaimanakah cara atau teknik dan sarana apa yang
dapat membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?Pendapat ini
diperkuat pula oleh pendapat Achmadi (2012:4) yang menyatakan bahwa filsafat
sebagai ilmu mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu bagaimanakah? mengapakah? kemanakah? dan apakah?. Sebagai upaya memahami lebih dalam
mengenai filsafat ilmu yang berdasarkan landasan epistemologi maka dari itu
penulis membuat makalah yang berjudul epistomologi, induktivisme, dan problem
Induksi.
Rumusan
masalah
· Bagaimanakah
pengertian epistemologi dalam filsafat ilmu?
· Bagaimanakah
sejarah lahirnya epistemologi induktivisme ?
· Bagaimanakah
pengaruh induktivisme dalam epistemologi?
· Bagaimanakah
problema induksi dalam kajian epistemologi?
· Bagaimanakah ketergantungan observasi pada teori dalam
epistemologi?
Tujuan
· Untuk
mengetahui pengertian epistemologi dalam filsafat ilmu.
· Untuk
mengetahui sejarah lahirnya epistemologi induktivisme.
· Untuk
mengetahui pengaruh induktivisme dalam epistemologi.
· Untuk
mengetahui problema induksi dalam kajian epistemologi.
· Untuk mengetahui ketergantungan observasi pada teori
dalam epistemologi.
PEMBAHASAN
Pengertian
Epistemologi
Epistemologi
sering disebut sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge).Secara etimologi,
istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme yang artinya pengetahuan, dan logos yang artinya ilmu atau teori.Menurut Achmadi (2012:11)
epistemologi disebut sebagai teori pengetahuan yang secara umum membicarakan
mengenai sumber-sumber, karakteristik, dan kebenaran pengetahuan.Muzairi dalam
Bakhtiar (2012:148) menyebutkan Epistemologi atau teori pengetahuan ialah
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasar serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Pendapat
lain yang bekaitan dengan epistemologi diungkapkan pula oleh Arifin dalam
Susanto (2011:27) mendefinisikan efistemologi sebagai pemikiran tentang apa dan
bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh, apakah dari akal pikiran
(aliran rasionalisme), dari pengalaman panca indera (aliran empirisme), dari
ide-ide (aliran idealism), atau dari Tuhan (aliran teologisme), termasuk juga
pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia, artinya sampai di mana
kebenaran pengetahuan kita.
Fudyartanto
dalam Solihin (2001:33) menjelaskan bahwa epistemologi berarti ilmu filsafat
tentang ilmu atau dalam istilah sederhanya adalah filsafat keilmuan. Senada
dengan pendapat tersebut, Solihin (2001)
mengartikan epistemiologi sebagai ilmu yang berorientasi untuk mencari
hakikat dan kebenaran ilmu; secara metode, berorientasi untuk mengantar manusia
dalam memperoleh ilmu; dan secara sistem berusaha menjelaskan realitas ilmu
dalam sebuah hirearki yang sistematis.
Sementara
itu Bramedl dalam Rakhmat (1997:106) mendefinisikan epistemologi “it is epistemology that gives the teacher
the assurance that he is conveying the truth to his student” artinya
epistemologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan
kebenaran kepada murid-murid. Rakhmat (1997:147) mengartikan epistemologi dalam
bidang filsafat berusaha menyelidiki
sumber, syarat, proses terjadinya ilmu pengetahuan, batas validitas dan
hakikat ilmu pengetahuan. Susanto (2011:27) mempertegas hubungan epistemologi
dengan pengetahuan sebagaimana yang ia ungkapkan dalam pengertian epistemologi.
Menurutnya epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal usul,
susunan, metode-metode, dan status sahnya pengetahuan. Epistemologi
membicarakan sumber-sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh
pengetahuan tersebut sehingga sering disebut sebagai filsafat pengetahuan.
Keberadaan
epistemologi sebagai bagian dari
filsafat yang memiliki kaitan erat dengan pengetahuan berhubungan dengan
kemampuan mental manusia seperti yang diungkapkan oleh Suriasumantri
(1996:104-105) bahwa pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental secara
langsung atau tak langsung yang memperkaya kehidupan manusia.Pengetahuan memiliki
hakikat untuk mencapai suatu kebenaran atau untuk mengharapkan
kebenaran.Sebagai upaya menyusun pengetahuan yang benar maka dibutuhkan metode
ilmiah sebagai landasan epistemologi.
Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut sebagai ilmu. Tidak semua
pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang
proses atau cara mendapatkannya harus sesuai dengan syarat-syarat dalam metode
ilmiah. Sjamsuddin (2007:13) menjelaskan metode sebagai cara untuk berbuat
sesuatu; suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu; keteraturan dalam berbuat,
berencana, dan lain-lain seiring dengan pendapat tersebut Suriasumantri
(1996:119) menjelaskan metodologi secara filsafat termasuk dalam epistemologi
yang pembahasannya mengenai bagaimana mendapatkan pengetahuan? Apakah
sumber-sumber pengetahuan? Apakah
hakikat, jangkauan, dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia memungkinkan mendapatkan
pengetahuan. Francis Bacon dalam Mudyahardjo (2010:109) menjelaskan cara
memperoleh ilmu pengetahuan harus melalui syaratpelaksanaan metode ilmiah. Pada
tahap dilakukan pembersihan diri dari prasangka-prasangka dan
kecenderungan-kecenderungan agar kembali menjadi bersih seperti anak yang baru
lahir.
Secara
sistematis Titus dalam Susanto (2011:103) menjelaskan tiga persoalan pokok
dalam bidang epistemologi, yaitu sebagai berikut: (a)apakah sumber pengetahuan
itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan bagaimana cara
mengetahuinya? (b)apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang
benar-benar di luar pikiran kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa
mengetahuinya? (c)apakah
pengetahuan itu benar (valid)? Bagimana kita dapat membedakan yang benar dari
yang salah?
Berdasarkan
berbagai pengertian epistemologi menurut para ahli tersebut maka epistemologi
dapat disimpulkan sebagai teori pengetahuan yang berhubungan dengan bagaimana
cara memperoleh pengetahuan berdasarkan syarat-syarat metode ilmiah sehingga
menjadi ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada prinsip kebenaran.
Sejarah
Lahirnya Epistemologi Induktivisme
Asal mula lahirnya filsafat berawal
dari adanya upaya mencari kebenaran, menyelidiki hakikat yang sebenarnya
mengenai segala sesuatu secara sungguh-sungguh sedangkan istilah epistemologi
pertama kali muncul dan digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 M di dalam
Institut of Metaphisics (Solihin, 2001:9). Namun sebelum istilah epistemologi
ini muncul, tokoh filsafat yang bernama Plato (427-347 SM) telah mengkaji
epistemologi melalui pembahasan pada pertanyaan dasar seperti apakah panca
indera dapat memberikan pengatahuan, dapatkah akal menyediakan pengetahuan.
Dalam the encyclopedia of philosophy
mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan
sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra anggapan dan dasar-dasarnya
serta realitas umum dari tuntutan akan pengetahuan sebenarnya (Rakhmat,
1997:106).
Menurut Plato pengetahuan yang
diperoleh lewat akal sisebut sebagai pengetahuan akal dan pengetahuan yang
diperoleh dari pengalaman indera disebut sebagai pengetahuan indera atau pengetahuan
pengalaman.Pengetahuan indera atau pengetahuan pengalaman bersifat tidak tetap
atau berubah-ubah, sedangkan pengetahuan akal bersifat tetap atau tidak
berubah-ubah (Achmadi, 2012:51).
Pembahasan
mengenai kajian epistemologi selanjutnya dibahas oleh Aristoteles (384-322SM).
Menurut Aristoteles yang dikenal sebagai bapak ilmu (Mudyarahardjo, 2010:99),
pengetahuan manusia hanya dapat dimunculkan dengan dua cara yaitu induksi dan
deduksi. Induksi adalah suatu proses berfikir yang bertolak pada hal-hal yang
khusus untuk mencapai kesimpulan yang sifatnya umumSedangkan mengenai berpikir
deduksi ialah proses berfikir yang bertolak pada dua kebenaran yang tidak
diragukan lagi untuk mencapai kesimpulan sebagai kebenaran yang ketiga. Deduksi
ini merupakan jalan yang baik untuk melahirkan pengetahuan baru.Berfikir
deduksi yaitu silogisme yang terdiri dari premis mayor, premis minor, dan
kesimpulan.Dengan berfikir silogisme maka epistemologi sebagai suatu ajaran
dapat dijadikan pedoman dalam mengkaji kebenaran karena membahas dua hal pokok,
yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence).Aristoteles mengelompokkan
ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan, yaitu: (a) ilmu pengetahua praktis
(etika dan politik); (b) ilmu pengetahuan produktif (teknik dan kesenian); dan
(3) ilmu pengetahuan teoretis (fisika, matematika, metafisika) (Achmadi,
2012:57-58).
Aliran
epistemologi lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perennialisme.
Aliran epistemologi memulai dari pola pemikiran yang memahami realita melalui
proses pengalaman dan hubungan dengan realita berdasarkan ilmu pengetahuan.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan
dengan self evidence, yakni bukti
yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya dan pemahaman bahwa
pengetahuan yang benar buktinya ada didalam pengetahuan ilmu itu sendiri.
Kajian mengenai kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang
diperlukan guna menuntun untuk mencapai kebenaran yang hakiki (Rakhmat,
1997:99).
Adapun kata filsafat dikalangan umat
Islam diartikan dengan makna hikmah.Kedudukan kata hikmah ini ditempatkan
diatas kata filsafat. Menurut Ibnu Sina (980-1037M), tokoh filsafat Islam hikmah adalah
mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan
membenarkan segala hakikat yang baik yang bersifat teori maupun praktik menurut
kadar kemampuan manusia (Susanto, 2011:42).
Kajian filsafat mengenai
epistemologi telah dibahas sebelum istilah epistemologi digunakan J.F. Ferrier
oleh tokoh filsafat Islam.Mereka berusaha menafsirkan gejala alam dengan
mencoba mencari penjelasan tentang berbagai kejadian.Dalam usaha menemukan
penjelasan ini terutama penjelasan yang bersifat mendasar dan postulasional,
maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dari penafsiaran yang bersifat rasional
dan metafisis sehingga berkembanglah metode eksperimen yang merupakan jembatan
antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang
dilakukan secara empiris. Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana
muslim pada abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahaun mencapai kulminasi
antara abad IX dan XII Masehi. Pada masa tersebut semangat mencari kebenaran
yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani
hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran Romawi dan kemudian semangat ini
lahir kembali dalam kebudayaan Islam yang ditandai dengan dibuatnya terjemahan
filsafat Yunani oleh sarjana-sarjana muslim (Suriasumantri, 1996:114-115; Rakhmat,
1997:106).
Pada masa kejayaan kekuasaan Islam,
khususnya pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, ilmu
berkembang sangat maju dan pesat. Dalam sejarah Islam, pada masa pemerintahan
Al-Mansur, Al-Rasyid (786-809), Al-Ma’mun (813-833) dilakukan proses
penerjemahan karya-karya filosof Yunani ke dalam bahasa Arab. Seperti Yuhanna
(yahya)ibn Masawayh (857) menterjemahkan buku-buku kuno kedokteran, Hunain
menterjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles, Galenus, Appolonuis, dan
Archimedes. Pada abad ke-10 muncul dua penerjemah terkemuka yaitu Yahya Ibn
A’di (974) dan Abu Ali Isa Ibn Ishaq Ibn Zera (1008) yang melakukan perbaikan
terjemahan dan menulis komentar mengenai karya Aristoteles.Perkembangan
filsafat semakin pesat salah satu buktinya adalah adanya ensiklopedi filsafat
Arab yang disebut kitab al-syifa.Kitab ini terdiri dari empat bagian yaitu
logika, fisika, matematika, dan metafisika (Bachtiar, 2012:40-42).
Tokoh
filsafat Islam yang membahas kajian epistemologi adalah Al-Gazali yang lahir
pada tahun 1058M. Dalam kitabnya Risalah
Al-Laduniyyah, Al- Gazalimenjelaskan bahwa ilmu secara epistemologi terbagi
menjadi dua sumber yaitu sumber insaniyyah dan sumber rabbaniyah.Sumber insaniyyahadalah sumber ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh
manusia melalui usaha berdasarkan kekuatan akal pikirannya, sedangkan sumber rabbaniyahadalah sumber ilmu pengetahuan
yang dapat diperoleh manusia melalui wahyu yang diberikan kepada nabi dan rasul
Allah ataupun petunjuk langsung melalui ilham yang dibisikkan dalam hati
manusia (Solihin, 2011:13).
Dalam
kitab Al-duniyyah, Al-Ghazali memandang
ilmu sebagai gambaran jiwa yang berpikir penuh ketenangan (an-nafs an-nathiqah al-muthma’innah) dan selalu berfikir tentang
akibat segala sesuatu. Selanjtnya ia mengungkapkan pula metode-metode untuk
menghasilkan ilmu dalam Mizan Al-Amal.
Cara untuk memperoleh ilmu terdiri atas dua macam metode yaitu metode ta’allum insani (pengajaran secara
insani) dan ta’allu rabbani
(pengajaran dari Tuhan) (Solihin, 2011:39).Epistemologi mengarahkan konsep
pemikiran kearah pengetahuan untuk memecahkan masalah melalui penerapan metode
yang ditujukan untuk mencapai kebenaran.Menurut pendapat Syam dalam Rakhmat
(1997:72), kebenaran adalah kemampuan suatu ide memecahkan masalah.Kebenaran
sebagai konsekuensi daripada ide, realitas pengetahuan, dan daya guna dalam
hidup.
Sejarah
perkembangan ilmu pasca Al-Ghazali mengalami pengaruh cukup signifikan. Bahwa
pemikiran ilmu di dunia Islam cenderung kurang rasionalistik dan lebih
selaras dengan Al-Quran. Oleh karena itu
banyak para pemikir dan filosof sesudahnya mengembalikan peran nalar pada
posisi seimbang. Seperti Quthb al-Din yang memberikan klasifikasi jenis ilmu secara garis besar menjadi ilmu
hikmat (filosofis) dan ghair hikmat (nonfilosofis)
(Bakhtiar, 2012:126).
Selanjutnya
perkembangan epistemologi dalam sejarah tidak dapat dilepaskan keberadaannya
dari adanya metode sebagai upaya mencapai suatu kebenaran ilmu pengetahuan
dalam kajian epistemologi dicetuskan oleh Francis Bacon (1561-1626) malalui
karanganya Novum Organon yang
merupakan bagian dari Instauratio Magna.
Menurut Francis Bacon, jiwa rasional mempunyau tiga macam daya, yaitu
ingatan, imajinasi, dan pikiran. Daya
ingatan menciptakan sejarah.Daya imajinasi menciptakan puisi, sedangkan daya
pikir menghasilkan filsafat. Filsafat terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) Filsafat tentang Tuhan atau teologi
alam/rasional, (2) Filasafat tentang alam, dan (3) Filsafat tentang Manusia
(Mudyahardjo, 2010:106).
Francis
Bacon melakukan kritikan terhadap teori Aristoteles tentang tentang prosedur
ilmiah yang dikemukakan oleh Aristotels dan pengikutnya (kaum Aristotelian). Kritikan Francis Bacon
terdiri dari:(1) Aristoteles dan pengikutnya mempraktekkan suatu pengumpulan
data yang serampangan dan tidak cermat. Fancis Bacon menginginkan pelaksanaan
pengumpulan data sebagai penerapan prinsip pokok kedua mengenai ilmu
eksperimental dari Roger Bacon (1214-1294), yaitu menggunakan eksperimentasi
yang sistematis untuk mendapatkan pengetahuan tentang alam yang memerlukan
intrumen-instrumen ilmiah dalam pengumpulan data, (2)cara menggenerelasasikan
yang dilakukan kaum Aristotelian adalah terlampau terburu-buru. Berdasarkan
sedikit observasi, mereka segera merumuskan
prinsip-prinsip yang sangat umum, kemudian menggunakan prinsip-prinsip
tersebut untuk menjabarkan generelesasi yang berlingkup sempit, dan (3)
Aristoteles dan pengikutnya mendasarkan induksi pada enumerasi atau penjumlahan sederhana, dengan demikian
korelasi-korelasi tentang sifat-sifat yang ditemukan bersandar pada beberapa
hal yang khusu dari sebuah tipe yang diajukan, berlaku untuk semua hal yang
khusus dari sebuah
tipe tersebut (Mudyahardjo, 2010:110; Suriasumantri, 1996:115).
Menurut
Russel dalam Bakhtiar (2012:150-151) filsafat Bacon mempunyai peran penting
dalam metode induksi dan sistematisasi prosedur ilmiah, menurutnya, dasar
filsafat Bacon bersifat praktis, yaitu untuk memberi kekuasaan pada manusia
untuk melakukan penyelidikan ilmih.Kritikan Francis Bacon terhadap filsafat
Yunani yang lebih menekankan perenungan berakibat tidak mempunyai praktis bagi
kehidupan manusia.Ia menyatakan, “the
great mistake of greek philosophers was that they spent so much time in theory,
so little in observation. Menurut Francis Bacon, alam tidak dapat dikuasai
kecuali dengan jalan menaatinya, agar dapat taat pada alam, manusia perlu mengenalnya
terlebih dahulu dan untuk menghetahui alam diperlukan observasi, pengukuran,
penjelasan, dan pembuktian.
Francis
Bacon berhasil meyakinkan masyarakat
ilmuan untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah. Metode
eksperimental berpengaruh penting terhadap cara berfikir manusia sebab dengan
demikian maka dapat diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan
kenyataan empiris ataukah tidak.Dengan berkembangnya metode ilmiah dan
diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka terjadi
perkembangan pengetahuan yang sangat cepat.Pembahasan Filsafat Bacon yang dalam perkembangan periode
berikutnya banyak diikuti oleh ilmuan barat lainnya seperti Boyle, Newton, John
Lock dan tokoh empirisme lainnya.Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian
melahirkan metode berpikir induksi(Induktivisme)
(Suriasumantri, 1996:116; Mudyahardjo, 2010:113).
Induktivisme
dalam epistemologi
Menurut Francis
Bacon, Filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat menangani
semua pengetahuan sebagai bidangnya. Fransic Bacon meletakkan dasar induktif
dalam epistemologi filsafat melalui pelaksanaan teori induktif dalam prosedur
ilmiah.Faham mengenai teori induktif ini dikenal dengan istilah Induktivismeyang merupakan bagian
dari empirisme yang sangat menghargai pengamatan empiris (Achmadi,
2012:3; Suriasumantri, 1996:215).
Teori induktif Bacon lahir sebagai jawaban atas kelemahan
dari teori deduksi yang sebelumnya sering dipakai oleh Arisototelian. Francis
Bacon, walaupun benar-benar menerima teori prosedur ilmiah Aristoteles, di sisi
lain ia mengkritik tajam terhadap cara dari prosedur ini diambil. Teori
induktif Bacon dimulai dengan bekerjanya pengindraan, yang menuntut kerjasama
dengan pikiran, dan kegiatan pikiran harus dikendalikan oleh
observasi.Menurutnya, pengetahuan tidak akan mengalami perkembangan dan tidak
akan bermakna kecuali ia mempunyai kekuatan yang dapat membantu manusia meraih
kehidupan yang lebih baik (Mudyahardjo, 2010:108; Bachtiar, 2012:150).
Craver (1995) menjelaskan pendapat Francis Bacon yang
menyatakan bahwa sains tidak bisa
melewati cara deduksi karena sains
harus di perhatikan bersama dengan inquiri yang murni dan sederhana (mudah),
inquiri tersebut tidak dibebani dengan praduga yang diyakini. Francis Bacon
juga memegang teguh prinsip keilmuan bahwa sains
harus mulai pada gaya ini, selanjutnya harus mengembangkan metode inquiri yang
dapat diandalkan. Francis
Bacon menyatakan bahwa persyaratan
pertama dari metode ilmiah adalah bahwa ilmuan hendaknya membersihkan
diri dari prasangka-prasangka dan kecenderungan-kecenderungan agar kembali
menjadi bersih seperti anak yang baru lahir (Mudyahardjo, 2010:109).
Francis Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir
induktif
denganmenyatakan cara untuk mencapai kebenaran melalui metode induksi
yang terdiri dari: (1) pikiran mungkin hasil dari pengindraan dan dari persepsi
tentang hal-hal yang khusus kearah aksioma-aksioma yang sangat umum, dan dari
aksioma-aksioma tersebut dijabarkan proposisi-proposisi yang kurang bersifat
umum. (2), pikiran mungkin hasil dari pengeindaraan dan persepsi tentang
hal-hal khusus kearah aksioma-aksioma yang dapat dicapai secara langsung dan
oleh karena itu, secara berangsur-angsur dan hati-hati menuju memperoleh
aksioma-aksioma yang lebih umum (Mudyahardjo, 2010:108).
Dalam rangka
mengatasi kekurangan-kekurangan Teori Aristoteles tentang prosedur ilmiah,
Francis Bacon dalam Mudyahardjo (2010:110), mengemukakan dua prinsip tentang
metode yang diperlukan dalam membangun ilmu. Kedua prinsip tersebut, yaitu (1)
metode baru yang menekankan induksi yang bersifat progresif, gradual, dan (2)
metode ekslusi.Penyelidikan ilmiah yang dilakukan secara memadai merupakan
suatu pendakian bertahap dari dasar sampai ke puncak piramida
proposisi.Dengan metode ekslusi akan
dapat menghasilkan korelasi-korelasi pokok yang berbeda dengan
korelasi-korelasi aksidental sebab untuk membuang hal-hal yang tak penting
dalam korelasi aksidental dapat dilakukan penghilangan atau ekslusi terhadap
hal-hal yang tidak penting sebagai proses generalisasi induktif sehingga dapat
diperoleh korelasi-korelasi pokok.
Bagan 1.1
Jenjang aksioma Bacon
Menurut Susanto (2011:104) Induksi (metode induktif) yaitu suatu metode yang
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan hasil observasi dan disimpulkan dalam suatu
pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal
sampai pada pernyataan-pernyataan iniversal.Senada dengan pendapat tersebut
Bachtiar (2012:152) mengungkapkan induksi sebagai metode yanga menyimpulkan
pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang
lebih umum. Dalam induksi setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan
hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia
mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau
dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi
tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga dengan pengetahuan
sintetik melalui proses berfikir induktif.
Adapun maksud dari proses berfikir induktif adalah proses pengujian secara empiris untukmengumpulkan fakta yang
releven denganhipotesis yang diajukan. Bila
hipotesis itu didukung oleh fakta-fakta empiris, maka pernyataan
hipotesis tersebut dapat diterima atau
disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan
kenyataan maka hipotesis itu di tolak.Pada tahap proses berfikir induktif
terjadi penalaran induktif sebab meskipun premis-premisnya adalah benar dan
prosedur penarikan kesimpulan adalah sah, maka kesimpulan itu belum tentu benar
sehingga yang dapat diungkapan mengenai kesimpulan tersebut adalah kesimpulan
itu memungkinkan untuk mempunyai peluang untuk benar. Pada tahap penarikan
kesimpulan induktif, kitadihadapkan kepada sebuah permasalahan mengenai
banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada kesimpulan yang bersifat
umum sehingga kita membutuhkanpengetahuan statistika dalam penarikan kesimpulan
induktif (Suriasumantri, 1996: 216).
Statistika merupakan pengetahuan
yang memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan
peluang(teori peluang).Teori peluang merupakan cabang matematika, sedangkan
statistika sendiri merupakan disiplin ilmu tersendiri. Kegiatan ilmiah logika induktifini
ditandai dengan tindakan menguji hipotesis yang diajukan.Penelitian ini
berdasarkan pula pada pengamatan dalam alam empiris dengan meninjau apakah
hipotesisi tersebut memang didukung oleh fakta-fakta (Suriasumantri, 1996:220).
Menurut pendapat Ewing (2002), dalam
segala bentuknya yang lebih khusus induksi merupakan persoalan generalisasi
empiris, yakni kita berargumen bahwa karena sesuatu telah terbukti benar dalam
sejumlah kasus yang diamati, besar kemungkinan yang diperoleh tidak bersifat
pasti (kecuali dalam kasus-kasus khusus), tapi bisa menjadi sangat besar
kemungkinannya dan seluruh prediksi rasional kita mengenai masa depan
tergantung pada referensi ini. Pengambilan kesimpulan dengan induksi sudah
pasti tidak sekedar masalah empiris karena kita menggunakannya untuk
menyimpulkan apa yang belum kita amati.
Maka dari itu
sebagai upaya untuk menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, Francis Bacon menghindari
empat macam idola atau rintangan dalam berpikir, yaitu: (1)idola tribus adalah kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan oleh
kecenderungan yang melekat dalam sifat manusia, yang menghalangi untuk mampu
mempertimbangkan secara objektif, misalnya manusia cenderung senang dengan hal
yang menimbulkan kenikmatan pengindraan. (2)idola
specus adalah kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan subjektivitas seseorang
yang berkenaan dengan watak, pendidikan, pembacaan dan pengaruh-pengaruh khusus
yang tertanam dalam diri seseorang. (3)idola
fori adalah kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan karena pengaruh bahasa
yang kurang mampu memberikan istilah-istilah yang jelas pengertiannya. (4) idola theatri adalah sistem-sistem
filsafat masa lampau yang keliru dalam menggambarkan alam (Mudyahardjo,
2010:109).
Menanggapi upaya yang dilakukan Farncis Bacon dalam
menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, maka Craver (1955)
menegaskan bahwa induktivisme Bacon
tersebut berakar pada dua pilar; Observation dan induction.Observasi
yang dilakukan dalam memperoleh knowledge harus diambil tanpa praduga (prejudice)
atau pre-konsepsi (preconception).Dengan demikian dalam prosedur
penelitian ilmiah kita diwajibkan untuk mencatat atau merekam hasil-hasil dari
data-data pengalaman sensorik. Bentuk apa yang dapat kita lihat, kita dengar
dan kita cium, apakah hal tersebut kita bisa dapatkan di dunia, atau pada
lingkungan-lingkungan (circumstances) dari percobaan-percobaan.
Hasil-hasil dari pengamatan diungkapkan dalam sesuatu yang dinamakan pernyataan
observasi (observation statments).Dari sebuah
kesimpulan pengamatan tersebut bisa digunakan sebagai landasan bagi hukum-hukum
dan teori-teori ilmiah.
Problema
Induksi Dalam Kajian Epistemologi
Problema induksi merupakan kajian dalam epistemologi yang
didasarkan pada adanya kelemahan dalam induksi Francis Bacon seperti halnya
kelemahan yang terjadi pada konsep
deduksi Aristoteles sebelum lahirnya induktivisme epistemologi.
Metode
induksi Francis Bacon masih memperlihatkan hal-hal yang bertentangan, misalnya
penolakan terhadap prasangka, tetapi di lain waktu ia menggunakan prasangka
untuk menemukan pengetahuan. Maka dari itu, dalam bidang filsafat Descartes,
tokoh yang terkenal dalam aliran rasionalisme kemudian merumuskan metode
berfikir yang menjadi landasan berfikir dalam ilmu pengetahuan modern.
Langkah-langkah tersebut yaitu : (1) tidak menerima apa pun sebagai hal yang
benar, kecuali kalau itu diyakini sendiri itu memang benar, (2) memiliah-milah
masalah menjadi bagian-bagian terkecil untuk mempermudah penyelesaian, dan (3)
berfikir runtut dengan mulai dari hal yang sederhana sedikit demi sedikit untuk
mencapai ke hal yang paling rumit. Maka dari itu, dapat dikatakan secara
sederhana bahwa proses berfikir dimulai dengan ragu-ragu dan diakhiri dengan
percaya atau tidak percaya (Bachtiar, 2012:161; Suriasumantri 1996:127; Susanto, 2011:14).
Selain itu, problema yang seringkali dipermasalahkan dalam
induksi Francis Bacon (problema induksi)adalah
ketidakmampuannya mewujudkan kemajuan ilmu pengetahuan dari metode induksi yang
digunakannya, sebab dia hanya tahu tentang apa yang telah dicapai orang pada
zamannya saja. Sedangkan ilmu itu mampu berkembang.Kepercayaan bahwa kemajuan
yang dicapai oleh pengetahuan manusia khususnya ilmu-ilmu alam, akan membawa
pada perkembangan manusia pada masa depan yang semakin gemilang dan makmurpada
konsep berfikir induksi sangat berbanding terbalik dengan pendapat Bateson
dalam Bachtiar (2012:159) yang menyatakan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern akan menimbulkan permasalahan. Permasalahan ini terjadi karena
kesalahan epistemologi yang mendasari ilmu pengetahuan dan teknologi modern
seperti permasalahan insektisida, polusi, pengaruh radioaktif dan kemungkinan
mencairnya es antartika.Dengan demikian, menurutnya ilmu pengetahuan harus
bernilai praktis bagi manusia sehingga diperlukan metode deduksi induksi hasil
pemikiran positivisme. Lahirnya aliran positivisme ini sebagai usaha
menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme dengan cara memasukkan
perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran (Susanto, 2011:141).
Menurut pendapat Luthans dalam Suriasumantri (1996:134),
suatu hipotesis yang telah teruji kebenarannya dan kemudian menjadi teori
ilmiah akan dapat digunakan sebagai premis dalam mengembangkan
hipotesis-hipotesis selanjutnya. Dengan demikian secara kumulatif, teori ilmiah
akan berkembang seperti piramida terbalik yang makin lama makin tinggi.
Diperkirakan ilmu berkembang dua kali lipat tiap jangka waktu sepuluh tahun.
Di samping itu penalaran induktif yang digunakan pada
empirisme dan induktivisme bukan merupakan prediksi yang benar-benar
akurat.Induktif bisa dihasilkan karena pengulangan-pengulangan secara terus
menerus.Tetapi berapa pun banyaknya observasi/pengamatan, tetap saja
generalisasi yang didapat sukar dibuktikan atau salah. Sebagai contohsetiap
kali pemilik seekor ayam mendekat kepada ayamnya, ayam tersebut akan diberikan
makanan. Sehingga setiap kali pemiliknya mendeka, ayam tahu bahwa saat itulah
ia akan diberikan makanan. Dengan demikian ayam (secara instingtif atau behavioristis) memiliki pengetahuan atas pemberian
makanan yang akan dimakan lewat kasus pembiasaan yang diulang ulang. Ayam
sampai pada kesimpulan bahwa majikan datang sama dengan makanan datang. Ini
merupakan kesimpulan umumnya. Namun suatu ketika majikan datang dan sang ayam pun mendekat. Bukan makanan yang di
dapat oleh sang ayam tapi ayam tersebut akan disembelih.
Teori-teori yang
membentuk pengetahuan ilmiah semestinya disusun berdasarkan
keterangan-keterangan (observasi)universal, sedangkan dalam induktivisme naif
memandang bahwa ilmu bertolak dari observasi.Berdasarkan kajian tersebut, maka
pengamat ilmiah harus memiliki organ-organ dan alat pengindraan yang normal dan sehat, dan harus pula secara
setia dan jujur merekam apa yang ia lihat dan dengar dalam hubungan dengan
situasi yang diamatinya, dan iapun harus melakukannya dengan suatu alam pikiran
tanpa prasangka sedikit pun. Sehingga
dijadikannya sebagai dasar untuk menjadikan keterangan tunggal/terbatas
yeng diperoleh melalui observasi, untuk membentuk teori ilmiah.
Keterbatasan induktivisme
dalam perannya menyumbangkan pengetahuanmelalui metode ilmiah tersebutmendapat
kritikan terhadap empirisme dalam induktivisme seperti apayang diungkapkan oleh
Honer dan Hunt (1968) dalam Suriasumantri (1996).
a. Pengalaman
yang merupakan dasar utama induktivisme seringkali tidak berhubungan langsung
dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai
tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang
disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh
bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan
sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis.
b. Dalam
mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung
pada persepsi pancaindera. Pegangan induktivisme yang demikian menimbulkan
bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan.
c. Dalam
induktivisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti.
Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam
induktivisme dan empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun
sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab
keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dalam Chalmer (1983),
dinyatakan bahwa argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen yang valid
secara logis. Bisa terjadi penyimpulan argumen yang salah, walaupun premisnya
benar.Misalnya, setelah dilakukan observasi terhadap sejumlah besar gagak pada
variasi kondisi yang luas, ternyata didapat fakta gagak berwarna hitam.Maka
dapat disimpulkan semua gagak adalah hitam.Ini adalah penyimpulan induktif yang
valid dan sempurna.Namun disini tidak ada jaminan logis bahwa gagak yang
diobservasi bisa saja ada yang coklat atau merah jambu.Kalau hal ini terbukti,
maka kesimpulan semua gagak hitam adalah salah.
Ketergantungan
Observasi pada Teori
Induktivisme bagian dari
empirisme yang sangat menghargai pengamatan empiris. Induktivisme naif
berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi dan observasi
memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah diatasnya,
sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi
yang diperoleh melalui induksi. Demikian pula cara kita mengenal hukum-hukum
alam pada kegiatan sehari-hari, yaitu dengan cara induksi. Contohnya, sejak
kecil kita memperhatikan bahwa matahari terbit di timur. Hari berikutnya, masih
demikian. Hari berikutnya, masih juga demikian. Sampai hari ini, matahari masih
juga terbit di timur. Kenyataan seperti itu merupakan fakta khusus. Berdasarkan
pengalaman ini, maka kita menyimpulkan bahwa “setiap hari matahari terbit
ditimur”. Perhatikan cara pengambilan kesimpulan ini. Fakta-fakta khusus
melahirkan sebuah kesimpulan umum. Ini adalah penarikan kesimpulan secara
induktif. Apakah dapat dipastikan bahwa esok matahari juga terbit di timur?
Tidak. Kita hanya dapat menganggap bahwa sangat besar kemungkinannya esok hari
matahari terbit lagi di timur. Hal ini sesuai dengan sifat induksi yang
spekulatif.
Pemikiran empirisme lahir
sebagai suatu sanggahan terhadap aliran filsafat rasionalisme yang mengutamakan
akal sebagai sumber pengetahuan. Untuk lebih memahami filsafat empirisme kita
perlu terlebih dahulu melihat dua ciri pendekatan empirisme, yaitu: pendekatan
makna dan pendekatan pengetahuan. Pendekatan makna menekankan pada pengalaman;
sedangkan, pendekatan pengetahuan menekankan pada kebenaran yang diperoleh
melalui pengamatan (observasi), atau yang diberi istilah dengan kebenaran a
posteriori.
Para tokoh filsafat
mengembangkan pemikiran empiris karena mereka tidak puas dengan cara
mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh aliran rasionalisme.
Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat menjunjung tinggi
penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi, yaitu pembuktian
dengan menggunakan logika. Sebaliknya, bagi John Locke, berpikir deduksi
relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan pengalaman indera
dalam pengembangan pengetahuan. Locke sangat menentang pendapat mazhab
rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan seseorang sudah dibawa sejak
lahir. Menurut Locke, pikiran manusia ketika lahir hanyalah berupa suatu
lembaran bersih (tabula rasa), yang padanya pengetahuan dapat ditulis melalui
pengalaman-pengalaman inderawi (McCleary, 1998). Lebih lanjut ia berpendapat
bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal dari pengamatan
atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis inilah, Locke
mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan perkembangan pikiran
manusia (Brower dan Heryadi, 1986).
Tidak ada kesimpulan yang
memiliki nilai kebenaran yang pasti. Yang ada hanyalah kesimpulan dengan
probabilitas benar atau peluang kebenaran. Menurut Chalmer (1983), kondisi yang
harus dipenuhi agar generalisasi atau kesimpulan dianggap benar dan sah oleh
induktivis disebutkan sebagai berikut : makin besar jumlah observasi yang
membentuk dasar induksi, makin besar variasi kondisi dimana observasi
dilakukan, dan keterangan observasi yang sudah diterima tidak boleh
bertentangan dengan hukum universal yang menjadi simpulannya. Namun kebenaran
ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas (Chalmers, 1983). Kebenaran yang
bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata lain
produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang menunjukkan
pengingkaran pada teori.
Ada dua asumsi penting dalam
pandangan induktivisme naif tentang observasi, yaitu:
a. Ilmu
bertolak dari observasi.
b. Observasi
menghasilkan landasan yang kukuh dan dari situ pengetahuan dapat ditarik.
Pengamatan ilmiah harus
memiliki organ indera dan instrumen yang benar dan baik. Dua hal yang
ditekankan pada observasi melalui penglihatan menurut induktivis, yaitu
pengamat dapat menangkap langsung sifat dari duia luar selama sifat itu terekam
oleh otaknya dari tindakan melihat. Yang kedua, dua pengamat normal memandang
objek yang sama dari tempat yang sama akan melihat hal yang sama pula.
Namun ternyata, kenyataannya
tidak demikian. Pengalaman dua pengamat ketika memandang satu objek yang sama
dari tempat yang sama dalam keadaan fisik yang sama tidak harus mendapatkan
pengalaman visual yang sama, walau hakikat gambar yang diterima retina mata
sama.
Contoh praktek dalam ilmu
mengilustrasikan hal yang sama yaitu apa yang terlihat adalah pengalaman
subyektif, tidak ditentukan oleh retina saja, tetapi juga pada pengalaman,
pengetahuan dan harapan secara psikologi dari pengamat. Seperti pada membaca
gambar hasil sinar X yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang memiliki
pengetahuan dari pendidikan dan latihan dibidangnya.
Untuk memantapkan validitas
suatu keterangan observasi memerlukan pertolongan teori. Makin mantap
validitasnya, makin ekstensif pengetahuan teori yang digunakan. Hal ini jelas
berlawanan dengan apa yang kita harapkan dari induktivis, yakni untuk
mengukuhkan keterangan observasi, perlu keterangan observasi yang terjamin dan
mungkin hukum-hukum dapat ditarik secara induksi dari situ, bukan pada teori.
Demikian juga saat melakukan suatu eksperimen, kadang kita memerlukan atau
dipancing teori yang didapat dari penelitian. Ketergantungan observasi pada
teori yang telah dibicarakan ini, menyudutkan para induktivis naif. Namun para
induktivis modern mulai mau memodifikasi pandangannya. Jangkauan observasi
empiris manusia yang terbatas sifatnya, membuat observasi perlu diperkuat,
dilengkapi dan ditunjang dengan penggunaan sarana yang baik, pengandaian
teoritis dan kemampuan merumuskan hasil observasi secara logis rasional. Oleh
karena itu, kedua metode penalaran deduktif dan induktif, yang seolah-olah
merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah, tetapi dalam prakteknya,
keduanya berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan
lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita
sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan
teori. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran
tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan
dilaksanakan dalam suatu wujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah
dan taat pada hukum-hukum logika.
Simpulan
“Knowledge is Power”, pengetahuan inderawi tidak menguasai segalanya (bersifat fungsional) dan dipergunakan untuk memajukan
kehidupan manusia, “kuasa”
dipahami sebagai kuasa atas alam (natura non nisi parendo vincitur artinya alam hanya dapat
ditaklukkan dengan mematuhinya). Berdasarkan pemikiran ini, dirumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern.
Metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada pemeriksaan
yang diteliti dan telaten mengenai data-data partikular, yang pada tahap
selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio natura). Ciri khas induksi adalah menemukan dasar inti (formale) yang melampaui data-data partikular, berapapun besar
jumlahnya. Induksi
adalah menarik kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat
khusus.
Problem
Induksi: (a)Pengalaman yang merupakan dasar utama induktivisme seringkali tidak
berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif, (b)Dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada
alam nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera (pancaindera manusia memiliki keterbatasan), (c)Dalam induktivisme pada prinsipnya pengetahuan
yang diperoleh bersifat tidak pasti. Chalmer (1983): argumen-argumen induktif tidak merupakan
argumen yang valid secara logis. Penalaran induktif yang digunakan pada
empirisme dan induktivisme bukan merupakan prediksi yang benar-benar akurat.
Induktif bisa dihasilkan karena pengulangan-pengulangan secara terus menerus.
Induktivisme naif berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi
dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah
diatasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan
observasi yang diperoleh melalui induksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi,
A. (2012). Fisafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Bakhtiar,
A. (2004). Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Rakhmat J. (1997). Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mudyahardjo, R. (2010). Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung:
Rosdakarya.
Solihin, M. (2001). Epstemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang
Al-Ghazali. Bandung: Pustaka Setia.
Suriasumantri, J. (1996). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Susanto, O. (2011). Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi
Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar