Sabtu, 09 November 2013

Jawaban Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Dasar-Dasar Teknologi Pendidikan



Ujian Mid Semester

Mata Kuliah  : Dasar-Dasar Teknologi Pendidikan
Nama             : Sri Purwati
NIM               : 06032681318031

Soal 
     1. Coba anda jelaskan keterkaitan/hubungan dan perbedaan antara
a.       Pendidikan dan teknologi pendidikan
b.      Teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran
c.       Teknolog pendidikan dan teknologi dalam pembelajaran
   2. Coba anda jelaskan tentang:
a.       Sejarah perkembangan teknologi pendidikan
b.      Landasan falsafah teknologi pendidikan
c.       Kawasan dan bidang garapan teknologi pendidikan
  3. Coba anda tuliskan tiga judul dan masalah penelitan yang berkaitan dengan teknologi pendidikan
 4.  Coba anda cari dari internet satu artikel/tulisan yang membahas tentang
a.       Landasan kebijakan pendidikan
b.      Landasan Ilmiah teknologi pendidikan
c.       Landasan teori dan konsep system
Jawaban
1(a).Keterkaitan hubungan dan perbedaan antara pendidikan dan teknologi pendidikan
Menurut Mudyahardjo (2010:46) pendidikan adalah keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya.Adapun menurut Jalaluddin (1997:15) pendidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan dasar dan kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual dan makhluk sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitarnya agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab.Pengertian pendidikan dipertegas lagi oleh Sa’ud (2009:6) yang menyatakan pendidikan sebagai upaya yang dapat mempercepat pengembangan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena hanya manusia yang dapat didik dan mendidik.Pendidikan dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental, emosional, moral, serta keimanan, dan ketakwaan manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan hakekatnya adalah merupakan suatu proses pengalaman belajar dan usaha mengembangkan kemampuan dan potensi pada diri individu.
Sedangkan pengertian teknologi pendidikan menurut Miarso (2004:6), teknologi pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks  danterintegrasi meliputi manusia, alat, dan sistem termasuk diantaranya gagasan, prosedur dan organisasi. Selanjutnya menurut Nasution (2011:2) teknologi pendidikan adalah suatu pendekatan yang sistematis dan kritis tentang pendidikan.Adapun pengertian teknologi pendidikan menurut Munir (2010:39) merupakan pendekatan sistematis dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajaran. Dengan demikian dapat disimpulkan teknologi pendidikan merupakan proses pendekatan sistematis dalam  pelaksanaan pendidikan  yang terorganisir dan terintegrasi yang memanfaatkan dan mengembangkan teknologi bagi pendidikan.
Berdasarkan tinjauan hakekat pendidikan dan teknologi pendidikan maka hubungan antara pendidikan dan teknologi pendidikan adalah teknologi pendidikan berperan dalam pengembangan, penerapan, dan penilaian sistem-sistem, teknik-teknik serta alat-alat baru yang berkaitan erat dengan penggunaan dan pengembangan  pemanfaatan teknologi dalam usaha memperbaiki dan meningkatkan proses pendidikan.Teknologi pendidikan tidak hanya berkaitan dengan alat-alat atau mesin, namun juga berkaitan dengan kegiatan menerapkan ilmu atau pengetahuan dan usaha untuk memecahkan masalah pendidikan.Dengan demikian, pendidikan berperan menyediakan kondisi untuk peningkatan mutu kehidupan manusia, yang untuk mencapainya memerlukan peran dari teknologi pendidikan.teknologi sengaja diciptakan untuk pendidikan, dengan adanya teknologi dalam pendidikan maka rancangan pendidikan akan terprogram sehingga proses pendidikan dapat teratur dan terperinci termasuk didalamnya suatu model teknologi yang sengaja diciptakan untuk memudahkan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.(Miarso, 2004:6); (Munir, 2010:39); (Prawiradilaga, 2012:40).
Adapunperbedaan antara pendidikan dan teknologi pendidikan adalah pendidikan terletak pada bentuknya, jika pendidikan adalah wadah untuk suatu proses pencapaian keberhasilan pembelajaran, maka teknologi pendidikan adalah alat (disiplin ilmu) dari proses tersebut.

1(b). Keterkaitan hubungan dan perbedaan antara Teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya teknologi pendidikan merupakan proses pendekatan sistematis dalam  pelaksanaan pendidikan  yang terorganisir dan terintegrasi yang memanfaatkan dan mengembangkan teknologi bagi pendidikan, adapun pengertian teknologi pendidikan  menurut AECT dalam Miarso (2004) adalah studi dan praktek etis dalam upaya memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan cara menciptakan, menggunakan/memanfaatkan, dan mengelola proses dan sumber-sumber teknologi yang tepat. Dalam pengertian ini tujuan teknologi pendidikan dijelaskan sebagai cara untuk memfasilitasi pembelajaran (agar efektif, efisien dan menarik).
Sedangkan teknologi pembelajaran menurut Snelbecker dalam Miarso (2004:112), teknologi pembelajaran merupakan pendekatan sistematis `dan ilmiah dari psikologi terhadap masalah pendidikan.Seels (1994:4) mengungkapkan teknologi pembelajaran sebagai  bagian (sub set) dari teknologi pendidikan. Adapun menurut Russell dalam Seels (1994:10), teknologi pembelajaranadalah teori dan praktek dalam desain pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian proses dan sumber untuk belajar. Dengan demikian dapat disimpulkan teknologi pembelajaran adalah pendekatan sistematis yang dimanfaatkan untuk pengembangan dan mengelola proses pembelajaran yang digunakan pula untukmemcahkan  masalah belajar dengan berlandaskan pada serangkaian prinsip dan menggunakan berbagai macam pendekatan pembelajaran.
Hubungan antara teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran adalah teknologi pembelajaran merupakan bagian dari teknologi pendidikan, dalam pengertian bahwa teknologi pembelajaran merupakan bentuk operasional dari teknologi pendidikan.Hubungan keduanya tampak pula pada aspek kajian  belajar atau learning, dimana teknologi pembelajaran maupun teknologi pendidikan memiliki kajian yang sama dalam proses belajar (Prawiradilaga, 2012:43). Adapun menurut Miarso (2011:64), secara konseptual teknologi pendidikan  didefinisikan sebagai teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan penelitian proses, sumber dan sistem untuk belajar. Dalam definisi tergambar dengan jelas adanya hubungan teknologi pendidikan dengan teknologi pembelajaran. Berdasarkan definisi tersebut mengandung pengertian adanya empat komponen dalam teknologi pembelajaran yaitu (1) teori dan praktik; (2) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan penelitian; (3) proses, sumber, dan sistem; (4) untuk belajar.
Sedangkan perbedaan antarateknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran dapat ditinjau dari hakekat dan kawasannya.Ditinjau hakekat teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran dapat diungapkan bahwateknologi pendidikan lebih luas cakupannya dibandingkan dengan teknologi pembelajaran.Selain itu, teknologi pendidikan menunjukkan kerangka yang luas tentang terkait kebijakan sedangkan teknologi pembelajarn berkaitan langsung dengan proses belajar.
Pandangan ini sangat berkaitan dengan adanya konsep kawasan dalam teknologi pendidikan maupun teknologi pengajaran.Kawasan teknologi pendidikan menyangkut penyelenggaraan seluruh aspek belajar manusia termasuk di dalam dan diluar sistem persekolahan. Selain itu, kawasan manajemen dalam pendidikan diarahkan pada upaya mengelola dan mengatur seluruh fungsi yang ada didalam kawasan pengembangan serta memanfaatkan sumber belajar, sebab teknologi pendidikan memberikan perhatian yang besar pada peran seluruh kategori sumber belajar dalam rentang yang luas, bukan hanya tersedia di kelas atau sekolah akan tetapi mencakup pula lokasi khusus yang tersedia di masyarakat seperti museum atau observatiorium (Prawiradilaga, 2012:44).
Teknologi Pendidikan sebagai suatu disiplin ilmu berkembang karena adanya kebutuhan agar belajar-mengajar lebih efektif, lebih efisien, lebih banyak, lebih luas dan sebagainya.Seiring dengan perubahan zaman, paradigma teknologi pendidikan pun mengalami perkembangan yang ditandai dengan adanya sintesa dari konsep-konsep yang berasal dari orientasi sebelumnya serta memperkenalkan konsep baru. Jika semula teknologi pendidikan (dalam arti yang sangat terbatas) dipandang hanya berperan pada taraf pelaksanaan kurikulum di kelas, maka konsepsi baru yang muncul  menghendaki teknologi pendidikan sebagai masukan (input) bahkan sejak tahap perencanaan kurikulum.Sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir (2010:40), Teknologi pendidikan berfungsi memperkuat pengembangan kurikulum.Teknologi pendidikan mencakup sistem lain yang digunakan dalam proses mengembangkan kemampuan manusia.
Sebaliknya,teknologi pembelajaran merupakan suatu bidang kajian khusus ilmu pendidikan dengan objek formal “belajar” pada manusia secara individu maupun kelompok.Berbeda dengan rumusan kawasan teknologi pendidikan yang telah dikaji pada bagian sebelumnya.Maka rumusan kawasan teknologi pembelajaran memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dalam dunia pendidikan dibandingkan dengan kawasan teknologi pendidikan. Menurut, Prawiradilaga (2010:46), teknologi pembelajaran  tetap merujuk pada learning is purpose and controlled.Pernyataan ini menjelaskan kedudukan kawasan  teknologi  pembelajaran  adalah di kelas. Dengan demikian sumber belajar berperan langsung  sebagai komponen sistem pembelajaran yang sengaja diancang  dan disiapkan  sesuai dengan kompetensi serta kebutuhan belajar di sekolah.
1(c). Keterkaitan hubungan dan perbedaan antara Teknolog pendidikan dan teknologi dalam pembelajaran
Kata teknologi berasal dari bahasa Yunani technología yang berasal dari kata techne yang berarti kerajinan dan logia, yang berarti studi tentang sesuatu, atau cabang pengetahuan dari suatu disiplin.Teknologi juga dapat diartikan bendabenda yang berguna bagi manusia, seperti mesin, tetapi dapat juga mencakup hal yang lebih luas, termasuk sistem, metode organisasi, dan teknik.Ellul dalam Miarso (2011:75) mendefinisikan teknologi sebagai keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan manusia.Adapun menurut Miarso (2011:132) teknologi merupakan sistem yang diciptakan oleh manusia untuk sesuatu tujuan tertentu.sebagai perpanjangan dari kemampuan manusia, yang dipakai untuk menambah kemampuan menyajikan pesan, memproduksi barang lebih cepat dan lebih banyak, memproses data lebih banyak, memberikan berbagai macam kemudahan, serta untuk mengelola proses maupun orang.
Menurut Miarso (2011:64), secara konseptual teknologi pendidikan  didefinisikan sebagai teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan penelitian proses, sumber dan sistem untuk belajar.Teknologi dapat digunakan sebagai produk untuk membantu penyelenggaraan pendidikan.Sedangkan maksud dari istilah teknologi dalam pembelajaran adalah diarahkan pada suatu pengertian pemanfaatan atau penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran serta mengatasi berbagai permasalahan yang timbul selama proses pembelajaran berlangsung dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran. Sama halya seperti yang diungkapkan oleh Hamreus dalam Siregar (2008:373) bahwa teknologi dalam pembelajaran sangat berkaitan dengan proses yang yang sistematis untuk meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran.
Hubungan teknologi pendidikan dan teknologi dalam pembelajaran sangat erat, dimana teknologi pendidikan dan teknlogi dalam pembelajaran memiliki tujuan yang sama untuk dapat membantu in putyang mengalami proses pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pendidikan agar kelak menjadi out put yang diharapkan berkualitas dan unggul serta mampu bersaing dalam kehidupannya. Selain itu hubungan kedua istilah ini tidak terlepas dari adanya penggunaan  atau pemanfaatan teknologi sebagai suatu sistem yang saling berhubungan dalam proses pendidikan. Menurut Prawiradilaga (2012:40), berbagai teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam pendidikan akan mampu membantu menciptakan konsep belajar yang terprogram  (programmed learing) yang memuat langkah belajar teratur dan terperinci, termasuk model teknologi yang sengaja diciptakan untuk kemudahan proses belajar. Contohnya penggunaan perangkat lunak dengan authoring tools seperti platform khusus untuk pembelajaran.
Adapun perbedaan konseptual antara teknologi pendidikan dan teknologi dalam pembelajaran ialah berkaitan dengan cakupan atau jangkauan penggunaan teknologi, maksudnya adalah teknologi pendidikan memiliki jangkauan yang lebih luas pemanfaatan teknologi dalam pendidikan yang tidak hanya terbatas pada konsep pembelajaran seperti pada penggunaan teknologi dalam pembelajaran yang diarahkan pada penggunaan model pembelajaran serta strategi pembelajara, namun lebih jauh dari itu teknologi pendidikan diarahkan pula pada upaya peningkatan kinerja dan potensi manusia dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dengan kata lain, menurut Prawiradilaga (2012:40-41) teknologi dalam pendidikan berhubungan dengan teknologi kinerja yang merupakan terobosan suatu lembaga terhadap pengembangan sumber daya manusia.Selain itu perbedaan teknologi pendidikan dan teknologi dalam pembelajaran tampak pula pada aspek kajian penggunaan teknologi pendidikan lebih luas dari pada teknologi pembelajaran. Bila teknologi dalam pembelajaran memiliki fokus kajian dalam pemanfaatan penggunaan teknologi dalam media pembelajaran dan sumber belajar yang dirancang dan dimanfaatkan untuk proses pembelajaran  yang berlandaskan kompetensi dan materi ajar yang ada di sekolah  dengan tujuan untuk memacu  dan memicu proses belajar, maka teknologi pendidikan lebih luas lagi jangkauanpengembangannya karena pengaruhnya tidak hanya terbatas pada media belajar, tetapi kepada rancangan program pendidikan yang didalamnya mengkaji perencanaan pendidikan termasuk kurikulum, berbagai upaya mengatasi masalah pendidika dengan memanfaatkan pendayagunaan teknologi dalam pendidikan yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.

2(a).Sejarah Perkembangan Teknologi Pendidikan
            Awal perkembangan teknologi pendidikan dapat dikatakan telah ada sejak awal peradaban, dimana orang tua mendidik anaknya dengan cara memberikan pengalaman langsung serta dengan memanfaatkan lingkungan. Dalam perkembangan selanjutnya menurut Seattler dalam Miarso (2004:133), secara eksplisit ia menganggap bahwa Komensky merupakan pionir teknologi pendidikan sebab Komensky berpendapat perlunya visualisasi dalam pengajaran yang tertuang dalam bukunya orbis sensalium pictus. Selain, Komensky tokoh yang mempengaruhi sejarah perkembangan teknologi pendidikan diantaranya adalah Reusseau, Pestalozzi, dan Froebel yang menekankan perlunya rangsangan indra untuk meningkatkan efektifitas belajar.Serta Herbart yang mengungkapkan mengenai prosedur pengajaran yang kemudian sekarang dikenal sebagai desain pembelajaran.
            Dalam tinjauan historis, teknologi pendidikan pertama kali dikembangkan melalaui gerakan pengembangan teknologi pendidikan seperti bidang kajian pengembangan teknologi pendidikan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh James D.Finn (1915-1969), seorang Guru Besar Tetap dalam bidang pendidikan di University of Southern California (USC)  dan Guru Besar Tamu di Michigan State dan Syracuse University.James D.Finn kemudian dikenal sebagai “Bapak” teknologi pendidikan. Karyanya sejak tahun 1949 hingga 1969 dihimpun oleh Ronald J. McBeath dalam buku extending Education Through Technology (Miarso, 2011:134).
            Menurut James D.Finn awal perkembangan teknologi pendidikan terjadi pada tahun 1920-an. Pada saat itu istilah teknologi pendidikan belum digunakan, namun kajiannya saat itu berhubungan dengan pengajaran visual yaitu kegiatan mengajar dengan menggunakan alat bantu visual yang terdiri dari gambar, model, objek atau alat-alat yang dipakai untuk menyajikan pengalaman konkret melalui visualisasi siswa.
Setelah itu, sekitar tahun 1950-an aliran pengajaran visual mulai diperluas dengan menambahkan suara, sehingga berkembang menjadi pengajaran audiovisual yang merujuk pada beberapa macam pernagkat keras yang dipakai guru untuk menyampaikan gagasan dan pengalaman. Konsep aliran pengajaran visual ini berpengaruh pula di Indonesia yang dibuktikan dengan diselenggarakannya school broadcasting yang diketuai oleh Sadarjoen Siswomartojo di Jakarta, Bandung, Bogor, dan Cirebon.Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi dalam pengajaran pun mengalami perkembangansetelah adanya pengaruh dariEdgar Dale pada tahun 1954 yang mengarahkan konsep teknologi pembelajaran  kedalam cone of experince (kerucut pengalaman).
Pada akhir Perang Dunia II, teknologi dalam pengajaran mengalami perkembangan konsep audiovisual yang berdasarkan teori komunikasi dan konsep sistem awal maksudnya adalah perkembangan teknologi dalam pengajaran tidak lagi dipusatkan kepada benda-benda, melainkan kepada seluruh proses komunikasi informasi mulai dari sumber benda (dari guru hingga maupun bahan) sampai ke penerima atau sasaran (orang yang belajar)(Miarso, 2011:135).
            Kemudian pada tahun 1960 mulai dilaksanakan  pengembangan definisi teknologi dalam pengajaran. Pengembangan definisi pertama dilakukan oleh the Technological Development Projet dari The National Education Association yang diketuai oleh Prof. Dr. Donald P. Ely. Definisi pertama dalam pengajaran masih menggunkan istilah komunikasi audiovisual  disahkan pada tahun 1963 yang. Dalam definisi tersebut dijelaskan komunikasi audiovisual ialah cabang teori dan praktek pendidikan, khususnya yang berkepentingan dengan rancangan dan pemanfaatan pesan yang mengendalikan proses belajar. Kegiatan yang terkandung dalam konsep komunikasi audiovisual terdiri dari perencanaan, produksi, seleksi, pengelolaan dengan tujuan untuk efisiensi pemanfaatan setiap metode dan media komunikasi  bagi pengembangan potensi orang yang belajar (Seels, 1994:17)
            Dalam perkembangan teknologi pendidikan sangat dipengaruhi oleh keberadaan Association for Educational Communication and Technology (AECT).Menurut Reiser dalam Prawiradilaga (2012:26), AECT sebelumnya dikenal dengan sebagai Departement of Audiovisual Instruction. Sebelum diubah menjadi AECT, Departement of Audiovisual Instruction menyatakan bahwa pesan atau materi ajar yang disampaikan dikelas harus dirancang terlebih dahulu kemudian dimanfaatkan  dengan tepat dalam proses belajar.
            Selanjutnya definisi komunikasi audiovisual  mengalami lagi perkembangan dengan menggunakan acuan pendekatan sistem dan pengembangan instruksional. Definisi ini dirumuskan oleh the Commission on Instructional Technology yang dipimpin oleh Sidney Tickton pada tahun 1970. Namun, dalam perkembanganya definisi ini banyak mendapat kritikan karena dianggap belum lengkap sebagai kajian teknologi dalam pengajaran sebabdefinisi ini menyebutkan teknologi instruksional adalah suatu cara yang sistematik untuk merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi keseluruhan peoses belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan khusu komunikasi dan belajar pada mnausia serta mempergunakan kombinasi sumber belajar insani dan non insani, agar terjadi pembelajaran yang efektif.
            Sebagai upaya menindaklanjuti kritikan tersebut, maka Komisi Definisi dan Terminologi AECT mengeluarkan definisi baru yang ketiga pada tahun 1972. Definisi ini mulai menggunakan istilah teknologi pendidikan sebagai suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia, melalui usaha sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasian, dan pemanfaatan berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas keseluruhan proses tersebut. AECT menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah bidang garapan atau suatu profesi berkaitan dengan penyenggaraan  yang sistematis dari suatu proses belajar, pada jenjang apa pun juga. Definisi ini mengalami kemajuan yang terkait dengan teknologi pendidikan. Wujud kemajuan tersebut terdiri dari adanya konsep mengenai (1) teknologi pendidikan tidak hanya terkait dengan merancang, memanfaatkan pesan untuk mengendalikan proses belajar; (2) teknologi pendidikan sudah menjadi bidang garapan atau suatu profesi terkait dengan penyelenggaraan pendidikan; (3) pengelolaan  proses belajar dapat dilaksanakan dengan baik karena adanya pemanfaatan sumber belajar.
Dalam rangka meningkatkan peranan teknologi pendidikan dan memperbaiki segala kekurangan yang telah ada sebelumnya mengenai konseptual teknologi pendidikan, maka pada tahun 1975 AECT membentuk Komisi Definisi dan Terminologi yang dipimpin oleh Dr. Kenneth H.Silber  yang kemudian menghasilkan definisi keempat pada tahun 1977. Hasil kajian berdasarkan definisi ke empat ini menunjukkan bahwa teknologi pendidikan bukan hanya sebagai bidang garapan saja, namun juga sebagai suatu ilmu. Teknologi pendidikan menunjukkan kerangka yang luas tentang terkait kebijakan sedangkan teknologi pembelajarn berkaitan langsung  dengan proses belajar.
Namun, definisi teknologi ini mendapat kritikan yang berawal dari adanya kelemahan karena tidak adanya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan proses kompleks dan terpadu dalam definisi teknologi pendidikan dan tidak adanya ketentuan bahwa semua komponen harus dikelola dan diawasi agar sistem itu beroperasi secara efektif dan efisisen.Keadaan ini mempersulit pengakuan dan komunikasi degan bidang kajian atau disiplin keilmuan lain (Miarso, 2011:142).Walaupun mendapatkankritikan namun, teknologi pendidikan terus mengalami perkembangan.Keadaan seperti ini ditandai dengan munculnya berbagai pendidikan keaahlian termasuk salah satunya yang terdapat di Indonesia. Seperti yang terjadi pada tahun 1976 di Indonesia didirkan pendidikan keahlian teknologi pendidikan pada jenjang S1 dan kemudian didirikan jenjang S2 dan S3 pada tahun 1978 dengan mendatangkan dosen dari Amerika Serikat melalui bantuan teknis dari USAID.
Pada tahun 1990, AECT membentuk suatu Komisi dan Terminologi yang dipimpin oleh Barbara B.Seels. Tiga tahun kemudian, komisi ini berhasil merumuskan  definisi dan terminologi baru yang  merupakan definisi ke empat. Laporan komisi ini diterbitkan dalam buku Instruksional Technology: The Definition and Domains of the Field. Setelah itu pada tahun 1994, definisi ini kembali mengalami pembaharuan yang menyatakan teknologi pembelajaran adalah teori dan praktik dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta penilaian proses dan sumber untu belajar. Adapun komponen dalam definisi ini adalah (1) teori dan praktik; (2) kawasan desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian; (3) proses dan sumber; (4) untuk keperlun belajar.
            Berbagai upaya dilaksanakan guna menghasilkan rumusan yang ideal bagi teknologi pendidikan dengan tetap memegang pada konsep perkembangan kemajuan teknologi bagi pendidikan, maka pada tahun 2004, AECT kembali mengungkapkan definisi teknologi pendidikan. Secara ringkas  definisi 2004 mengandung keistimewaan sebagai berikut: (1) belajar dan kinerja istilah ini merujuk pada upaya peningkatan mutu kemampuan seseorang (human development) melalui jalur pendiidkan formal; (2) proses teknologi dan sumber (technological process and resources); mengindahkan etika dan estetika (Prawiradilaga, 2012:32).
            Berdasarkan perkembangan pengaruh penerapan konsep teknologi pendidikan tersebut terhadap proses belajar yang berlandaskan teknologi pendidikan maka, teknologi pendidikan berperan dalam memfasilitasi segala sumber belajar agar proses belajar berlangsung lancar dan sebagai penerapan konsep teknologi kinerja yang bermanfaat bagi berbagai karakter organisasi. Definisi teknologi pendidikan tahun 2004, mengembalikan rumusan teknologi pendidikan bukan terbatas pada teknologi pembelajaran.Namun, termasuk didalamnya pembelajaran itu sendiri merupakan bagian dari rumusan teknlogi pendidikan. Adapun mengenai sumber belajar disebut sebagai media yang digunakan untuk mendukung proses belajar mulai dari media yang sederhana sampai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Dengan demikian proses belajar dapat dilakukan tidak hanya untuk bertatap muka saja di kelas konvensional melainkan melalui model belajar onlie learning.
           
2(b). Landasan falsafah teknologi pendidikan
            Menurut Miarso (2011:102), yang dimaksd dengan falsafahadalah  rangkaian pernyataan yang didasarkan pada keyakinan, konsepsi, dan sikap seseorang yang menunjukkan arah atau tujuan yang diambilnya.Berdasarkan tinjauan dari falsafah ilmu, setiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang terdiri dari ontologi (apa), epistemologi (bagaimana), dan aksiologi (untuk apa). Ketiga komponen tersebut adalah : (1)  ontologi (apa). Merupakan asas dalam menetapkan ruang lingkup ujud yang menjadi objek penelaahan, serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek tersebut, (2)  Epistemologi (bagaimana). Merupakan asas mengenai cara bagaiman materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan, dan (3) Aksiologi (untuk apa). Merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Dengan ketiga komponen tersebut di atas, maka akan terdapatlah rumusan yang dapat menjawabnya. Rumusan tersebut menurut Sir Eric Ashby (dalam, Miarso, 2004: 104), tergambar dalam revolusi-revolusi sebagai berikut:
1.      Revolusi Pertama. Terjadi pada saat orang tua atau keluarga menyerahkan sebagian tanggung-jawab pendidikannya kepada orang lain yang secara khusus diberikan tanggung-jawab untuk itu. Revolusi ini tidak diketahui dengan pasti awal terjadinya. Misalnya seperti yang dikemukakan oleh Seattler melalui menelusuri secara historic perkembangan revolusi, menurutnya kaum Sufi pada sekitar 500 SM menjadikan dirinya sebagai “penjual ilmu pengetahuan”, yaitu memberikan pelajaran kepada siapa saja yang bersedia memberikannya upah atau imbalan.
2.      Revolusi Kedua. Terjadi pada saat guru sebagai orang dilimpahkan tanggung-jawab untuk mendidik. Pengajarn saat itu diberikan secara verbal/lisan, dan sementara itu kegiatan pendidikan dilembagakan dengan berbagai ketentuan yang dibakukan. Revolusi kedua ini jugatidak diketahui permulaannya, namun dapat diterima bahwa hal itu telah dan bahkan masih terjadi.
3.      Revolusi Ketiga. Muncul dengan ditemukannya mesin cetak, yaitu memungkinkan tersebarnya informasi iconic dan numeric dalam bentuk buku atau media cetak lain. Dalam sejarahnya revolusi ketiga ini meskipun dalam literatur Barat banyak menganggap bahwa Gutenberg adalah orang yangmenemukaan mesin cetak, namun jauh sebelumnya teknik pencetakan telah berkembang lebih dulu di Cina. Selain itu, pada revolusi ketiga dan hingga kini buku dianggap sebagai media utama disamping guru untuk keperluan pendidikan. Revolusi ini masih berlangsung, bahkan sedang digalakkan. Bahkan beberapa pandangan falsafati berpendapat bahwa masyarakat belajar adalah masyarakat membaca.
4.      Revolusi Keempat. Pada revolusi ini berlangsung dengan perkembangan yang pesat dibidang elektronik. Yang paling menonjol adalah media komunikasi (radio, televisi, tape, dan lain-lainnya). Perkembangan media komunikasi telah mampu menembus bata geografis, social, dan politis secara lebih luas dan cepat dibandingkan media cetak. Dengan pesatnya perkembangan elektronik, maka, falsafah pendidikan mulai difokuskan pada mengajar anak didik tentang bagaimana belajar. Ajaran selanjutanya akan diperoleh di pembelajar sepanjang usia hidupnya melalui sumber dan saluran melalui pemanfaatan media pendidikan yang lebih cepat, lebih bervariasi, serta berpotensi untuk lebih berdaya guna.

2(c). Kawasan dan bidang garapan teknologi pendidikan
            Kawasan  teknologi pendidikan merupakan suatu realisasi dari definisi dari bidang teknologi pendidikan. Kawasan mewujudkan apa yang dapat dilakukan oleh suatu disiplin ilmu agar disiplin tersebut mampu memberikan sumbangan langsung dalam bentuk rumusan prakti yang dapat dilakukan oleh para praktisi. Dengan demikian, kawasan memberi penjelsan bagi para professional dan praktisi mengenai apa yang harus atau boleh dilakukan atau apa yan menjadi batasan perilaku dan ruang lingkup pekerjaan dan layanan yang harus diselesaikan.
Kawasan dan bidang garapan teknologi pendidikan berdasarkan rumusan AECT
            Kawasan dan bidang garapan teknologi pendidikan berdasarkan kawasan teknologi pendidikan AECT 1977 adalah rumusan kawasan menyangkut penyelenggaraan seluruh aspek belajar manusia termasuk di dalam dan di luar sistem persekolahan.Kawasan manajeman kependidikan mengelola dan mengatur seluruh fungsi yang ada didalam kawasan pengembangan serta memanfaatkan sumber belajar. Tinjauan kawasan teknologi pendidikan menekankan peran seluruh sumber belajar dalam rentang yang luas, sebab sumber belajar bukan hanya yang tersedia di kelas atau sekolah, akan tetapi sumber belajar juga mencakup lokasi khusus yang tersedia di masyarakat seerti museum atau observatorium.
            Adapun kawasan teknologi pendidikan berdasarkan rumusan AECT 1994 sangat berhungungan dengan kerangka teori dan praktik;  proses dan sumber; dan  belajar. Kawasan teknologi pendidikan berdasarkan rumusan AECT 1994 mencakup: (1) Kawasan Desain Kawasan desain merupakan proses untuk menetukan kondisi belajar, meliputi desain sistem pembelajaran, desain pesan, strategi pembelajaran, karakteristik pesaerta didik dan lain-lainya; (2) kawasan pengembangan merupakan proses penerjemahan spesifikasi desain dalam bentuk fisik. Mencakup banyak variasi teknologi seperti teknologi cetak, teknologi audiovisual, teknologi berbasis computer dan teknologi terpadu yang merupakan perpaduan dari berbagai jenis media yang dikendalikan oleh computer;(3) kawasan pemanfaatan merupakan aktivitas menggunakan proses dan sumber untuk belajar. Meliputi pemanfaatan media, difusi inovasi, implementasi dan institusional, kebijakan dan regulasi;(4) kawasan pengelolaan merupakan kawasan pengelolan teknologi pendidikan melalui tahapan perencanaan, pengorganisasian, pengoordinasian, dan supervisi; dan (5) kawasan penilaian merupakan proses penentuan memadai tidaknya pembelajaran dengan mengkaji  serta memperbaiki suatu produk atau program yang didasarkan pada masukan atau informasi yang diterima.
            Sedangkan kawasan berdasarkan rumusan AECT 2004, kawasan teknologi pendidikan meliputi (1) learning (belajar), dalam kawasan teknologi pendidikan  belajar  melingkupi kerja dan karya para teknolog pendidikan dan pembelajaran; (2) performance (kinerja), makna kinerja dalam teknologi pendidikan ialah menciptakan lingkungan atau perangkat kerja serta gagasan bagi peserta didik, guru,atau desainer untuk berkarya atau membuktikan jenjang kemampuan penguasaan pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar.

Kawasan dan bidang garapan teknologi pendidikan menurut Raiser dan Dempsey
            Menurut Raiser dan Demspsey rumusan teknologi pendididikan meliputi (1) kawasan teknologi pembelajaran, sebab kemajuan teknologi serta inovasi akan berdampak langsung terhadap kawasan pembelajaran selain itu dalam teknologi pendidikan terdapat gerakan teknologi kinerja yang muncul karena para praktisi memiliki latar belakang keilmuan teknologi pembelajaran dalam menghadapi masalah kinerja; (2) kawasan desain pembelajaran, salah satu prinsip yang mempengaruhi desain pembelajaran adalah prinsip ADDIE (analysis, desin, development, implementation, and evaluation).

Kawasan dan bidang garapan teknologi pendidikan menurut Davies
            Davies merumuskan tiga pendekatansehubungan dengan bidang garapan atau kawasan teknologi pendidikan. Rumusan tersebut meliputi: (1) pendekatan perangkat keras (hardware)dengan maksud agar terjadi proses otomatisasi atau proses mekanistik dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan pemanfaatan perangkat keras  dapat menyebarkan materi belajar, mereproduksi materi, efisiensi  proses belajar serta efektivitas pembiyaan; (2) Pendekatan perangkat lunak(software), pendekatan ini membahas cara memperbaiki, memperbarui, atau merancang situasi yang betul-betul dibutuhkan oleh siswa; (3) pendekatan perpaduan perangkat keras dan perangkat lunak merupakan pendekatan  perpadua yang menerapkan konsep sistem analisis dalam kegiatan pendidikan dan kegiatan instruksional.




3. Tiga macam judul penelitian yang berkaitan dengan teknologi pendidikan
1.  Pengembangan E-Modul pada Mata Pelajaran Sejarah di SMA Negeri 1 Sungai Pinang Tahun 2012/2013
2.  Pengembangan bahan ajar dengan menggunakan program macromedia flash pada mata pelajaran sejarah di SMA Negeri 1 Kandis Tahun 2010/2011
3. Pengembangan media video pembelajaran dengan program ulead studio 8 pada mata pelajaran sejarah di SMA Negeri 1 Rambang Kuang Tahun 2011/2012

4(a). Artikel mengenai landasan kebijakan pendidikan
Eksplorasi Landasan Pemikiran dan Kebijakan Pendidikan:
(Sebuah Tinjauan dari Perspektif Pemikir Mikro).

Oleh : Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si
(Widyaiswara Madya BDK Surabaya)

Dalam rangka membangun landasan pemikiran dan menyusun kebijakan pendidikan, para pengambil kebijakan maupun para praktisi pendidikan dapat mencari inspirasi dari berbagai teori sosial.Harus dicatat bahwa teori sosial begitu beragam.Sekurang-kurangnya ada perspektif teori yang mendasarkan pada asumsi dan pendekatan makro dengan melihat aspek struktur, institusi, organisasi, masyarakat atau populasi tertentu. Di sisi lain, d alam teori sosial dikenal beberapa pemikir yang lebih suka memperhatikan aspek mikro, daripada aspek makro. Aspek mikro yang dimaksud adalah dunia kesadaran individu.Apa yang dirasakan, dialami, difikirkan, diharapkan, dicita-citakan individu menjadi titik tolak memahami tindakan seseorang membangun dan menjalin realitas kehidupannya.
Pemikiran mikro ini menghantarkan kita untuk memahami dunia orang per orang.Karena harus memahami dunia individual maka kajiannya menjadi berwatak subyektif dan bukan obyektif. Justru dunia obyektif hanya bisa difahami jika dikenali dunia kesadaran individu terlebih dahulu , karena menurut pemikir mikro, dunia obyektif adalah produk dari kesadaran subyektif individu. Istilah “ganti Menteri ganti kebijakan,” memperkuat argumen para pemikir mikro, bahwa sebuah kebijakan yang
diikuti secara kolektif adalah hasil dari mind set, stock of knowledge, arus pengalaman (stream of experience) dan kesadaran individu. Oleh karena itu, tidak bisa lain, termasuk dunia pendidikan dalam mengemas berbagai kebijakan , mengembangkan kurikulum, merancang strategi pembelajaran, menetapkan model evaluasi, mengembangkan capacity building pendidik dan tenaga kependidikan, selain harus menaruh perhatian terhadap aspek mikro-subyektif ini.
Para pemikir yang mengembangkan tradisi mikro ini antara lain dapat disebutkan nama-nama seperti Max Weber, Herbert Blumer, Edmund Husserl dan Alfred Schutz yang dikenal sebagai pencetus lahirnya perspektif fenomenologi. Pemikiran-pemikiran mikro mereka, dikemudian hari memberikan inspirasi langsung maupun tidak langsung dalam mengembangkan prinsip -prinsip dan kebijakan pendidikan.
Salah satu pemikir terkemuka yang mencermati dunia mikro ini adalah MaxWeber.Memang Weber tidak banyak langsung berbicara tentang pendidikan. Namun,Weber memberi sumbangan yang cukup berarti terhadap sosiologi pendidikan, terutama dalam memberi inspirasi untuk melihat pendidikan tidak dari aspek struktural, institusi, atau sistem, melainkan dari sudut pemahaman dan pemaknaan individu tentang pendidikan. Dalam hal ini memang Weber tidak mengajak untuk menghabiskan energy dalam membahas aspek mikro indiv idual, melainkan tetap mengingatkan untuk memberi perhatian yang seksama terhadap aspek struktural makro.Itulah sebabnya, Weber masih mengenalkan juga kajian yang bersifat lintas budaya (cross-culture) yang lebih bersifat makro, dengan membandingkan sejumlah praktek pendidikan di beberapa negara, juga pendidikan di masa lalu dengan pendidikan di era yang lebih modern.
Teori yang ditawarkan Weber tentang organisasi birokrasi rasional juga menginspirasi bagaimana dunia pendidikan seharusnya mengorganisir diri. Salah satu proposisi dalam birokrasi yang ia tawarkan adalah bahwa birokrasi modern ditandai dengan kepemimpinan yang didasarkan kepada legitimasi legal -rasional. Pemimpin harus dipilih berdasarkan kualifikasi tertentu, dan pilihan diberikan kepada me reka yang memiliki kualifikasi terbaik untuk menduduki jabatan itu.Mereka yang menjadi pemimpin tidak didasarkan pada keahlian dan kompetensi, melainkan didasarkan kepada sumber legitimasi tradisional dan kharismatik, tidak dianjurkan untuk dipilih memimpin insitusi, khususnya institusi pendidikan.
Pendidikan di mata Weber memiliki posisi khusus dalam kaitan dengan birokrasi
dan konsep hubungan kelompok status. Pendidikan di sekolah menurut dia harus mengajarkan “budaya status” tertentu. Hubungan kekuasa an dan konflik kepentingan
individu dan kelompok selalu muncul di masyarakat, dan hal ini mempengaruhi kondisi
yang terjadi di sekolah. Pada umumnya yang terjadi kemudian adalah kelompok budaya
dominan juga yang membentuk bu daya yang berlaku di sekolah. Apa yang dipikirkan, dipilih, disukai siswa di sekolah misalnya tentang musik, pakaian, pilihan merk dan gaya hidup (life style) lainnya merujuk kepada gaya hidup kelompok dominan. Sekolah acapkali tidak mampu menempatkan diri sebagai alternatif dari pembent ukan model budaya atau lebih tepatnya gaya hidup siswanya sendiri.
Sampai di sini, pemikiran Weber bertemu dengan Marx, oleh karena Marx juga berfikiran hal yang sama, bahwa klas dominan, klas yang menguasai ekonomi dan politik selalu berada dalam posisi konflik dan mendominasi mereka yang tidak menguasai ekonomi politik. Weber memang juga dikenal sebagai perintis teori konflik, namun dalam perkembangannya teori konflik Weber tidak mendasarkan kepada aspek ekonomi seperti yang dilakukan oleh Marx dengan di alektika materialistiknya.Tidak seperti Marx, Weber memilih jalan keluar yang lebih bersifat kultural daripada revolusi atau resistensi seperti yang digagas Marx.
Max Weber pernah menulis The Rationalization of Education and Training,yang di dalamnya ia menyatakan bahwa pendidikan yang rasional melahirkan type“manusia spesialis” (specialist type of man) berbeda dengan type “manusia terlatih”(cultivated type of man) seperti yang ia lukiskan tentang sistem pendidikan di Chinapada masa awal pertumbuhan negeri itu. Pembahasan yang ia lakukan hingga hari inimemiliki relevansi kuat terutama tentang institusi pendidikan tinggi. Weber dalam halini memperdebatkan nilai pendidikan yang berorientasi vocational yang melahirkancultivated type of man dengan pendidikan yang menghasilkan manusia berkualitas danberkeahlian tinggi yang melahirkan specialist type of man. Birokrasi yang rasional yangia tawarkan, membutuhkan manusia -manusia yang ekspert dan terspesialisasi. Olehkarena itu perkembangan birokrasi mode rn membutuhkan uluran tangan duniapendidikan untuk melahirkan specialist type of man --tipe manusia ekspert (Gerth, H.and C. Wright Mills, 1948).
Di masyarakat pra industri , pendidikan menjadi faktor penting , dalam hal inidiperlukan untuk menyiapkan agen perubahan. Agen-agen perubahan yang terdidik itu menduduki posisi penting dalam mendorong pertumbuhan masyarakat. Sementara itu di
masyarakat industri, pendidikan memperoleh pressure dari klas menengah yang bekerja
keras menghadapi persaingan merebut posisi dalam sistem ekonomi yang terus berubah.
Dengan demikian posisi pendi dikan semakin penting dalam mempersiapkan manusiamanusia yang menginginkan keberhasilan dalam memasuki persaingan merebut peran - peran menentukan di masyarakat.
Di mata Weber ada dua type manusia yang ada di sekolah. Pertama, adalahmereka yang disebut dengan “insider” yaitu mereka yang memiliki status budaya yang diperoleh dari tata nilai dan berbagai proses pengalaman di sekolah itu sendiri. Kedua, adalah mereka yang disebut dengan “outsider” yakni mereka yang memiliki banyak kendala untuk bisa menjadi manusia berhasil di sekolah.
Selain Max Weber, ada pemikiran lain yang mencoba menghubungkan antaraindividu dan struktur ini. Pemikiran yang didasari oleh filsafat aliran Fenomenologi ini di latarbelakangi oleh pemikiran Edmund Husserl dan Alfred Schutz. Menurut Husserl, pengetahuan ilmiah terutama yang dibangun para penganut perspektif positivism sebenarnya telah memisahkan ilmu dari pengalaman sehari-hari. Pengetahuan ilmiah terpisah dari kegiatan-kegiatan di mana pengalaman dan pengetahuan berakar. Menjadi
tugas fenomenologi untuk memulihkan hubungan tersebut. Fenomenologi sebagai suatu
bentuk dari idealisme yang semata -mata tertarik pada cara-cara bekerjanya kesadaran
manusia serta dasar-dasarnya. Dunia yang kita diami menurut perspektif ini diciptakan
oleh kesadaran-kesadaran yang ada di kepala kita masing -masing, namun tidak berarti
dunia yang eksternal itu tidak ada. Dunia eksternal itu ada, dan hanya dapat dimengerti
melalui kesadaran kita tentang dunia itu (lihat Craib, 1992, hal. 126 -127).
Proses bagaimana manusia membangun dunianya dijelaskan oleh Alfred Schutz,
murid dari Edmund Husserl, melalui proses pemaknaan. Proses pemaknaan itu berawaldari arus pengalaman (stream of experience) yang berkesinambungan yang dimilikin individu. Arus utama dari pengalaman inderawi ini sebenarnya tidak punya arti -mereka hanya ada begitu sa ja; obyek-obyeklah yang bermakna -mereka memiliki kegunaan-kegunaan, nama-nama, bagian-bagian yang berbeda dan mereka memberi
anda tertentu. Pengidentifikasian dari dunia pengalaman inderawi yang bermakna inilah
yang terjadi dalam kesadaran individu secar a terpisah dan kemudian berkembang secara
kolektif (lihat Craib, 1992, hal. 128 -130).
Schutz menganggap cara berpikir Weber sudah benar, akan tetapi ada beberapaaspek yang problematik, yakni konsepnya tentang tindakan sebagai sebuah perilaku yanginibermakna secara subyektif yang masih memerlukan penjelasan lebih jauh. Pertama, ia mempersoalkan ide Weber yang menyatakan bahwa makna tindakan adalah identik dengan motive tindakan. Dalam hal ini semua tindakan memiliki makna, jadi bukan hanya tindakan yang rasio nal saja, melainkan semua tindakan. Lebih dari itu makna tindakan orang lain dalam pengertian motive tidak bisa kita peroleh. Pemikiran inilah yang membawa Suchtz untuk mengkoreksi konsep Weber tentang Verstehen.Dalam erklarendes Verstehen (penjelasan mengenai pemahaman) seorang sosiolog harus mengandaikan motive aktor ke dalam kompleksitas makna yang tipikal sebagai dasar yang cukup memadai untuk bertindak. Menurut Schutz, tidak ada makna yang
bersifat aktual dalam kehidupan.
Dari pemikiran seperti tergambar di muka lalu muncul tradisi InteraksionismeSimbolik.Tradisi ini, menurut salah satu pelopornya, Herbert Blumer (1969:2), bertumpu pada tiga premis utama, yaitu (1) manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.Sesuatu yang dimaksud di sini bermakna obyek fisik, orang lain, institusi sosial dan ide atau nilai -nilai yang bersifat abstrak. (2) Makna tersebut berasal dan hasil interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan (3) Makna-makna tersebut disempurna-kan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Implikasi dari ketiga premis terse but, maka tindakan manusia bukan disebabkan
oleh “kekuatan luar.” Jadi katakanlah siswa belajar, bukan hasil dari tekanan ada ujian,
guru atau orang tua sebagai bentuk “kekuatan dari luar” tetapi juga bukan lantaran “kekuatan dalam” sebagaimana yang diperc aya oleh kalangan reduksionis psikologis.  Individu atau aktor dalam hal ini yang benar adalah membentuk obyek -obyek. Individu
senantiasa dalam keadaan merancang obyek -obyek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut.
Dalam pandangan Blumer, tindakan seseorang, seorang siswa didik belajar, bukan karena desakan “kekuatan luar” misalnya paksaan atau orang tua. Namun Blumer tidak begitu saja menyatakan bahwa ak tifitas siswa belajar bukan sepenuhnya dorongan “kekuatan dari dalam” dirinya. Seorang siswa melakukan tindakan belajar sebagai hasil dari upaya merancang tindakan dengan senantiasa memperhatikan apa yang terjadi di luar dirinya lalu memadukan dengansuara yang muncul dari dalam dirinya.
Oleh siapa pemaknaan dan kemudian menjelma menjadi tindakan seseorang adalah hasil darim’ proses self indication seseorang itu sendiri. Self indication itu dilakukan dalam prosesinteraksi dengan orang lain. Dalam proses itu individu senantiasa berupaya mengantisipasi tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan orang lain (lihat Morrione, 2004).
Para praktisi pendidikan yang mengikuti perspektif ini dalam menjalankan tugasnya harus membangun interaksi dengan caramemahami siswa sebagai individuaktif yang memiliki kesadaran, selalu merancang tindaka nnya dan selalu melakukan refleksi. Siswa tidak bisa diposisikann sebagai sosok individu yang pasive, dan tidak memiliki kesadaran apa-apa menghadapi lingkungan di sekitarnya.Sebaliknya siswa selalu melakukan refleksi dan self-indication terhadap realitas yang ada di sekitarnya.
Mereka fahami dan melakukan internalisasi terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, berdasarkan pengalaman, pengharapan, berbagai sentimen dan rasionalitas yang dimilikinya. Siswa berinteraksi dengan teman, guru, orang tua dan siapapun, bersikap di kelas, termasuk ketika belajar mendasarkan pada pengalaman budaya mereka.Masalahnya seperti dikatakan oleh Mead dan Cooley, setiap individu memiliki berbagai pengalaman budaya. Mereka gunakan pengalaman itu, juga pengharapan, sentimen dan rasionalitas
yang dimilikinya tersebut guna menafsirkan dan mendefinisikan berbagai situasi sosial.
Oleh karena itu bisa jadi norma-norma bersama menjadi dasar dan pedoman tindakan.
Namun di lain pihak perbedaan juga terjadi, karena pengalaman budaya, status sosial
dan klas sosial individu satu sama lain tidak sama.
Atas dasar asumsi tersebut maka jika guru dan para praktisi pendidikan inginmembangun interaksi yang efektif dengan siswanya, harus memberi perhatian kepada cara siswanya menjalin self indication terhadap dunia di sekitarnya . Dengan carademikian pendidikan akan mengembangkan siswa didik sebagai subyek, karena ketika siswa didik melakukan self-indication pada hakekatnya mereka membangun stimulus dari dalam diri sendiri. Blumer menegaskan: “in the process of self-indication, individuals point out certain stimuli to themselves and then interpret the appearance of
the stimuli to themselves” (Wallace & Wolf, 1995:199).
Dalam pemikiran penganut perspektif interaksionis simbolik pemahaman perilakumanusia harus dilakukan dengan cara memahami kondisi subyektif masing –masing individu dalam menghadapi realitas kehidupan di sekitarnya. Oleh karena itu, para pendidikan harus bisa membaca kondisi subyektif individu.Misalnya, ketika seorang guru melihat prestasi siswanya merosot. Masing-masing siswa memiliki kondisi
penyebab yang berbeda satu sama lain. Guru tidak bisa mengambil kesimpulan yang sama, karena arus pengalaman (stream of experience) dan kondisi subyektif masing-masing  siswa berbeda.
Memang di mata para penganut interaksi simbolik -kenyataan eksternal, sepertiberbagai perlakuan yang diberikan guru terhadap siswa, di lihat sebagai faktor yang memberi pengaruh dan stimulus bagi individu. Namun, semua faktor eksternal dan stimulus dari guru sebagai bagian dari dunia obyektif yang dihadapi siswa itu tetap diberi makna oleh individu siswa, dan masing-masing individu siswa memiliki caramemberi makna sesuai pengalaman (stream of experience) mereka. Landasan kebijakan Pendidikan KonstruksionisPemikiran yang mengedepankan perspektif mikro tersebut lalu melahirkan kebijakan pendidikan yang menggunakan paradigma konstruktivistik. Paradigma ini memandang kebijakan pendidikan harus dimulai da ri beberapa asumsi:

1. Dimulai dari Makna dan Self-Concept
Pendidikan dalam arti proses maupun produk harus dikelola berangkat dari makna, self-indication dan self-concept yang dibangun oleh siswa, guru, staff maupun pemangku kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Asumsinya adalah bahwa kehidupan sehari-hari yang ada di sekolah maupun di masyarakat, merupakan konstruk individu yang berada di dalamnya. Konstruk atau cara individu mempersepsikan, memaknai dan mendefinisikan kehidupan sehari -hari itulah yang akan menentukan format kehidupan nyata.
Proses pendidikan hanya akan dapat difahami dengan cara menelusuri duniasubyektif, dunia makna dan self concept individu yang berada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Dengan demikian dunia subyektif guru, kepala sekolah, staf, siswa, orang tua, dewan pendidikan dan praktisi pendidikan lainnya diyakini sebagai sumber yang penting untuk bisa memahami dan menganalisis kelangsungan pendidikan.
 Bagaimana individu yang bergerak dalam dunia pendidikan itu memahami, mengkonstruk,memaknai dan mengkonsepsi realitas di sekitarnya itulah yang harus dikaji, dan bukan faktor struktural yang berada di luar individu. Konsep siswa tentang apa saja yang terjadi dalam proses pendidikan yang diikutinya, merupakan hasil pemaknaan dia terhadap dunia pendidikan, terha dap guru, apa yang terjadi di kelas, kebijakan yang diterapkan oleh institusi sekolah, pemerintah, dewan pendidikan dan lain -lain di mana ia melakukan interaksi.
Salah satu contoh bisa dilihat ketika individu memahami sistem evaluasi pendidikan yang mengutamakan test kognitif seperti ujian nasional. Kita bias menemukan berbagai cara yang beragam dalam memaknai masalah ini. Ada individu yang mengartikan bahwa tes kognitif adalah sangat penting, karena dengan cara yang paling praktis dan efisien untuk menguk ur tingkat kecerdasan siswa dalam jumlah yang banyak. Siswa yang tersebar di berbagai daerah akansegera dapat diketahui prestasi belajar mereka dengan cepat. Namun, ada pula praktisi pendidikan yang menilai sistem tes seperti itu tidak akan mampu mengukur seluruh kecerdasan siswa. Sistem test itu banya mengukur kecerdasan kognitif semata. Berbeda jika metode evaluasi menggunakan model portofolio, yang menggunakan berbagai media, alat perekam, apa
saja yang telah dilakukan dalam proses siswa mengikuti pembe lajaran. Perbedaan konstruk, self concept dan pemaknaan terhadap dunia para praktisi pendidikan tersebut, bisa ditelusuri dari latar belakang masing-masing individu.
Perbedaan latar belakang mereka menentukan cara memahami, mengkonstruk,mengkonsep dan memaknai sistem suatu kebijakan pendidikan tertentu . Pemaknaan itu
ditentukan oleh pengalaman-pengalaman subyektif mereka masing-masing. Pemaknaan itu berkaitan erat dengan latar belakang gender, etnis, sosial ekonomi, budaya dan termasuk agama.
Dalam kehidupan masyarakat begitu banyak faktor seperti institusi sosial,ekonomi, politik, budaya dan juga agama yang terkait dengan pendidikan. Namun kesemua itu akan sangat tergantung bagaimana indi vidu mengkonstruk, mengkonsepsikan dan memaknainya. Dalam perspektif mikro, seperti yang
Para pemuda dikembangkan para teoritisi interaksi simbolik, konstruk, konsepsi dan pemaknaan itu dilakukan dalam proses interaksi. Ketika siswa berinteraksi dengan dunia di sekitarnya ,
Mereka secara terus menerus memonitor apa yang terjadi , lalu ,mendefinisikan,memaknai dan merasionalisasikannya. Cara dia bertindak dan berinteraksi dengan dunianya bukan atas dasar tekanan, stimulus atau intervensi dari luar, melainkan lebih didasarkan pada konsepsi, pemaknaan dan tafsir yang dia berikan terhadap d unia yang ada di sekitarnya. Jadi, konsep siswa tentang apa saja yang terjadi dalam proses pendidikan yang diikutinya, merupakan hasil pemaknaan dia terhadap dunia pendidikan,
terhadap guru, apa yang terjadi di kelas, kebijakan yang diterapkan oleh institu si sekolah, pemerintah, dewan pendidikan dan lain -lain di mana ia melakukan interaksi.
Dari sinilah terlihat bahwa setiap individu adalah subyek yang sadar akan dunianya.
Dengan demikian, pembelajaran dalam perspektif konstruksionis harus di lakukanberdasarkan self-concept, atau pemaknaan yang diberikan oleh masing -masing actor yang ada di dalam proses pendidikan. Guru yang berhasil hanyalah mereka yang berhasil memahami bangunan pengalaman, model pengetahuan, pengharapan, bayangan-bayangan dan konsep-konsep ideal yang mereka miliki. Tugas pendidik dan denaga kependidikan adalah memahami dan menelusuri sub kultur, bangunan
pengalaman, model pengetahuan, pengharapan, bayangan -bayangan dan konsep-konsep
ideal yang mereka idealkan itu.
2. Dibangun Melalui Hubungan Intersubyektif
Dalam perspektif konstruktivisme, pengetahuan siswa adalah produk interaksimereka dengan dunianya.Salah satu -nya adalah hasil interaksi dengan guru. Guru dala menjalankan interaksinya dengan siswa selalu berangkat daru cara mereka melabeli siswanya. Label itu diberikan berdasarkan konstruk, konsep dan pemaknaannya terhadap perilaku dan sifat -sifat siswanya. Dengan label itu guru menentukan tindakan tertentu dalam proses pembelajaran. Namun harus dicatat bahwa, tindakan guru dan siswa, selalu bersifat intersubyektif. Artinya, guru maupun siswa, masing -masing saling memonitor cara –cara masing-masing mempersepsikan situasi di ruang dan waktu mana interaksi mereka lakukan.
Dalam proses interaksi itulah masin g-masing mendefinisikan dunianya, yang  dari hasil definisinya itu lalu masing -masing menentukan tindakannya. Menurut Anthony Giddens, monitoring individu terhadap dunia di sekelilingnya dimulai dari self-monitoring terhadap dunianya. Setelah melakukan moni toring, katakanlah misalnya siswa memonitor cara guru mendefinisikan atau memberinya labelrajin, maka tahap berikutnya siswa itu melakukan rasionalisasi. Dalam proses rasionalisasi itu dipertimbangkan keinginan, ide, perasaan, model pengetahuan dan suasana yang dialami secara subyektif. Keinginan subyektif itu didialogkan dengan penafsirannya terhadap dunia sekeliling, dalam hal ini perilaku dan tindakan guru terhadap dirinya. Hasil rasionalisasi ini lalu dijadikan sebagai dasar menentukan tindakan apa yang akan dilakukan dalam proses interaksi dengan gurunya.
Seperti dikemukakan Vygotsky, masyarakat dianggap sebagai sebuah realitashasil negosiasi dan definisi para aktor yang ada di dalamnya. Para aktor itu mendefinisikan dunianya berdasarkan schemata (menggunakan istilahnya Edmund Husserl dan Alfred Schutz) yaitu model internal berupa pengetahuan, pengalaman dan cara individu mereaksi di masa lalu, dan selalu diperbaiki dalam menghadapi realitas yang dihadapinya. Atau dalam istilah Bourdeau, individu menggunakan habitus dalam melakukan tindakan. Oleh karena itu, maka pendidikan lalu dikonsep berdasarkan pada
pendefinisian realitas’
 Dengan demikian proses pembelajaran di sekolah atau dalaminstitusi pendidikan manapun harus dijaga di dalamnya kelangsungan interaksi siswa dengan guru, peer group, dan orang lain di lingkungannya, karena memang interaksi adalah merupakan inti proses  pendidikan. Pendidikan dalam tataran makro, sekolah atau kelas dalam tataran mikro dengan demikian merupakan sebuah arena pengembangan dan transformasi diri (self transformation and concept).Oleh karena interaksi dan negosiasi adalah kata kunci, maka p endekatan konstruktivistik lebih banyak mendorong para pengambil kebijakan dalam pendidikan, para pemangku kepentingan, kepada para guru untuk memberi kesempatan siswa belajardan melakukan aktifitas bersama. Oleh karena itu dalam tataran proses, pendekatan
Pembelajaran cooperative learning, col laborative learning dan peer-assisted learningmerupakan pendekatan yang dianjurkan.Dalam pendekatan kooperatif, siswa dan gurubersama-sama mengorganisir kegiatan pembelajaran.Pembelajaran terjadi dalam situasireciprocal.Pendekatan reciprocal learning mengkombinasikan pembelajarankolaboratif dengan petunjuk guru dan model belajar secara otonom. Oleh karena ituinteraksi positif antara berbagai pemangku kepentingan, apalagi antara guru dan siswaharus terjalin dalam satu hubungan partnership yang bai k untuk menghasilkan
pendidikan yang efektif .
Daftar Pustaka
Blumer, Herbert, edited by Thomas J. Morrione, George Herbert Mead and
Human Conduct, Walnut Creek, CA: Alta Mira Press, 2004
Bourdieu, Piere dan Jean-Claude Passeron, 1996, kutip H.A.R. Tilaar,
Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, sebuah tinjauan dari
perspektif Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007
Craib, Ian, Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons Sampai Habermas, Jakarta:
Rajawali Press, 1992,
Cuzzort, PR and E.W King, 20th Century Social Thought, NY-Sydney, 1980.
Gerth, H. and C. Wright Mills, From Max Weber: Essays in Sociology, London:
Routledge, 1948
Giddens, Anthony, The Constitution of Society: Outline of the Theory of
Structuration, East Sussex: Polity Press, 1984.
Gumport, Patricia, Sociology opf Higher Education: Contributions and their
contexts, Baltimore-Maryland: The Johns Hopkins University Press, 1973
Ross, Daniel, “Anthony Giddens,” dalam Peter Beilharz, A Guide to Central Thinkers: Social Theory, Australia: Alien & Unwin Pty. Ltd., 1991.
Wallace, Ruth A. and Alison Wolf. 1999. Contemporary Sociological Theory:
Expanding the Classical Tradition , fourth edition. Upper Saddle River, N. J.: PrenticeHall.
4(b) Artikel mengenai landasan Ilmiah teknologi pendidikan
Oleh: Prof. Dr. Mustaji, M.Pd
A. Pendahuluan
Gelar akademik dan ijazah diterima oleh seseorang sebagai tanda telah selesainya masa pendidikan tinggi formal dalam strata tertentu. Untuk memperoleh gelar dan ijazah menurut ketentuan dalam sistem pendidikan, seseorang harus terlebih mengikuti serangkaian kegiatan akademik dalam bentuk perkuliahan tatap muka, menyelesaikan tugas secara terstruktur baik secara individual maupun kelompok, melakukan kegiatan praktikum serta menyusun-mempertahankan dalam ujian dan dinyatakan lulus ujian skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3).
Pengejaran gelar akademik yang berorientasi legitimasi simbolik dengan kedok lembaga pendidikan, menurut hemat penulis sudah cukup lama beroperasi. Padahal dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 secara tegas dinyatakan bahwa mereka dapat dikenai sangsi 1 milyar dan atau penjara 10 tahun bagi perseorangan, organisasi atau penyelenggara yang memberikan ijazah dan gelar akademik tanpa hak (pasal 67) dan jika dilakukan suatu perguruan tinggi dinyatakan ditutup.
Sementara setiap orang yang membantu memberikan ijazah dan gelar akademik yang tidak memenuhi persyaratan dipidana maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal 5 ratus juta rupiah (pasal 68:1). Sedangkan orang yang menggunakan gelar dan ijazah yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling banyak 5 ratus juta rupiah (pasal 68:2)
B. Tinjauan Sosiologis
Secara sosiologis, praktek jual beli gelar dan ijazah menunjukkan masih kuatnya dampak penjajahan dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Hal ini setidaknya berkaitan dengan status sosial yang akan dimiliki orang-orang yang bergelar tersebut, dan ekspektasi sosial yang diharapkan mereka akan diberikan oleh masyarakat. Orang yang memiliki gelar akademik atau lulusan perguruan tinggi biasanya secara langsung maupun tidak langsung akan menduduki “status sosial” tertentu di masyarakat.
Dalam kamus Bahasa Indonesia (Riwayadi, 2005), status diartikan sebagai tingkatan atau kedudukan orang dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya. Dalam Max Waber (1978) tipikal status didasarkan pada (1) gaya hidup, (2) pendidikan formal, (3) warisan turun-temurun atau prestize pekerjaan. Dalam pandangan sosiologis ini terlihat bahwa status di dalammnya inheren terdapat pengakuan atau keinginan untuk diakui oleh orang lain atau masyarakat sehingga bisa memperoleh privileges (hak istimewa). Bentuk-bentuk hak istimewa atau perlakuan khusus dan fasilitas kemudahan dalam akses sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Berdasar perspektif ini bisa dipahami, mengapa sebagian orang “silau” bahkan ambisius untuk memiliki gelar akademik, meski kadang-kadang tidak melalui jalur pendidikan sebagaimana resminya. Orang-orang yang silau dengan gelar ini mempunyai persepsi bahwa gelar akademik yang dimiliki secara illegal itu akan menjadi tiket bagi peningkatan status sosial atau kenaikan pangkat dan jabatan di tempat kerja.
Menghadapi fenomena ini, kita sebagai ilmuwan pendidikan harus mengembalikan fungsi pendidikan, bahwa gelar akademik harus diraih oleh seseorang secara legal dan prosedural. Demikian juga “status” harus diusahahakan atau diperoleh melalaui melalui upaya dan proses pendidikan formal secara prosedural. Maksud disini bahwa status dan gelar bukanlah sesuatu yang bersifat warisan atau karena faktor keturunan, bukan diperoleh melalui praktek jual beli dengan membayar sekian juta, dan seterusnya.Gelar yang diperoleh secara illegal ibarat topeng kepalsuan dan kebanggaan semu belaka, tanpa nalar, nilai, dan etika. Dimyati (2005) menyebutnya pengejaran gelar akademik berorientasi legitimasi simbolik
Masyarakat Indonesia dapat melakukan akulturasi sistem pendidikan, tanpa terjebak pada ketergantungan intelektual yang berdampak pengejaran gelar akademik beririentasi legitimasi simbolik.Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan jalan mengembalikan fungsi-fungsi pendidikan lembaga keilmuan secara rasional-prosedural. Rasional-prosedural perolehan sebuah gelar akademik, setidaknya dapat dilakukan melalui 4 alternatif:
Pertama, gelar akademik yang diperoleh seseorang, misalnya doktor Teknologi Pembelajaran, seseorang harus memperolehnya dengan cara mengikuti kuliah, praktikum, mengerjakan tugas-tugas terstruktur dan mandiri serta menulis disertasi serta mempertahankannya di dewan penguji.Kedua, penyandang gelar tersebut dipandang memiliki kompetensi dan wawasam keilmuan dibidang teknologi pembelajaran yang dikenal dengan sebutan Ilmuwan pembelajaran.Dalam hal ini mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dan meneliti dalam bidang pembelajaran, yakni mampu mengembangkan teori-teori dan konsep-konsep pembelajaran untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dalam rangka memecahkan masalah-masalah belajar.Ketiga, penyandang gelar akademik tadi mempunyai hak dan kewajiban yang melekat, baik untuk peningkatan kualitas hidupnya maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pengabdian pada masyarakat.
Keempat, pada gelar akademik yang disandang oleh seorang sarjana terdapat nilai-nilai moral dan komitmen yang berhubungan langsung dengan Tuhan, sebagaimana tersurat dalam ikrar prasetya sarjana atau lebih dikenal dengan panca prasetya wisuda.
Panca prasetya wisuda dimaksud adalah: Dengan Rakhmad Tuhan Yang Maha Esa kami para wisudawan secara sadar dan bertanggung jawab mengikrarkan panca prasetya (1) kami wisudawan adalah tenaga kependidikan yang taat dan setia sepenuhnya serta bersedia tetap membela negara dan bangsa Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (2) senantiasa menjujung tinggi profesi kependidikan, bersifat terbuka dalam mengembangkan dan mengamalkan ilomu pendidikan selaras dengan pembangunan bangsa dan negara Republik Indonesia ; (3) senantiasa mengembangkan usaha kependidikan secara demokratis bagi pembangunan manusia seutuhnya dengan memperhatikan potensi anak didik dengan penuh cinta kasih; (4) dalam melaksanakan tugas sanggup bekerja dengan jujur, disiplin, penuh tanggung jawab dan pengabdian, (5) senantiasa menujujung tinggi nama baik almamater. Semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan meridhoi kami dalam upaya mengamalkan Panca Prasetya ini
Berdasarkan paparan di atas, jelaslah bahwa gelar yang dibeli dan ditebus dengan uang, adalah gelar yang tidak diperoleh secara etik keilmuan sekaligus tidak memililiki makna.Yang ada di dalamnya hanyalah transaksi ekonomi antara penjual gelar dan pembelinya. Karena rasionalistas ekonomi yang dijadikan pertimbangan, maka lembaga pendidikan tinggi tak ubahnya sebagai pasar dengan menjadikan gelar dan ijazah sebagai komoditasnya
Pemikiran keilmuan telah direduksi menjadi sebuah rasionalitas instrumental, yakni sesuatu sarana, insstrumen, dan alat yang dipakai untuk mencapai tujuan secara efisien, dengan mengabaikan nilai-nilai dan makna serta tidak peduli dengan proses dan ketentuan-ketentuan akademik yang prosedural. Pengejaran gelar akademik berorientasi legitimasi simbolik, jelas melecehkan nilai-nilai kejujuran ilmu pengetahuan, pemikiran keilmuan, moral serta komitmen Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Mereka pengguna gelar akademik simbolik, menurut hemat penulis telah membohongi diri sendiri, juga riskan menyalahgunakan untuk menipu orang lain. Diakui atau tidak orang-orang yang menyandar gelar akademik dan memiliki ijazah dengan cara-cara yang tidak terpuji dan tidak patut itu telah melakukan kebohongan publik dan penipuan terhadap masyarakat luas.Selama orang-orang seperti itu pamer dan bangga dengan gelar-gelar illegal dan ijazah palsu itu, maka selama itu pula mereka sedang berbohong dan menipu diri sendiri di tengah khlayah.Inilah yang oleh Bactiar (2005) disebut dengan tragedi gelar tanpa nalar dan ijazah tanpa kuliah.
C. Mengurangi Ketergantungan Intelektual
1. Mengembangkan pembelajaran pemikiran keilmuan
Menurut Dimyati (1996) salah satu ungsur ilmu pengetahuan adalah items, yakni ilmu pengetahuan yang berwujud berpikir rasional. Realisasi berpikir rasional tampak pada penggunaan kata, kalimat, alenea, rumus pemecahan masalah, ataupun symbol-simbol. Prasyarat untuk mewujudkan items tersebut adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, memikir dan melakukan observasi (3M+O).
Ilmu pengetahuan adalah sistem berpikir tentang dunia empiris.Dengan demikian pendidikan keilmuan adalah pendidikan berpikir rasional tentang dunia empiris.Dari sisi taksonomi berpikir, maka pendidikan keilmuan berarti mendidik berpikir pada tingkat kognitif tertentu.Dengan taksonomi Bloom misalnya, didikan berpikir keilmuan terletak pada tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi, tidak pada tingkat dibawahnya.
Fakta pembelajaran saat ini menunjukkan rendahnya tingkat kecakapan berpikir tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi anak-anak Indonesia. Para pakar pendidikan mengatakan bahwa proses pembelajaran yang dominan di sekolah-sekolah masih membelajarkan tingkat rendah yakni mengetahui, memahami, dan menggunakan belum mampu menumbuhkan kebiasaan berpikir evaluasi-kreatif yakni suatu yang paling esensi dari dimensi belajar. Sebagian besar pendidik belum merancang pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Sebenarnya para pendidik telah menyadari bahwa pembelajaran berpikir agar anak menjadi cerdas, kritis, dan kreatif serta maampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari adalah penting.Kesadaran ini juga telah mendasari pengembangan kurikulum kita lebih lebih mengedepankan pembelajaran yang konstekstual dengan lingkungan kehidupan sehari-hari anak.Akan tetapi sebaagian besar pendidik kita belum berbuat, belum merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis proses belajar (Drost, 1998, Mangunwijaya, 1998, Kamdi, 2002).Kita masih berkutat dengan cara-cara mengajar yang lama, yang cenderung mematikan kreativitas anak.
Proses “pembelajaran” saat ini masih diimplementasikan sebagai proses menjadikan anak tidak bisa, menjadi bisa. Kegiatan belajar berupa kegiatan menambah pengetahuan, kegiatan menghadiri, mendengar dan mencatat penjelasan guru, serta menjawab secara tertulis soal-soal yang diberikan saat berlangsungnya ujian. Pembelajaran adalah proses menyampaikan, memberikan, memindahkan/mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa.
Dalam tataran ini siswa yang sedang belajar bersifat pasif , menerima apa saja yang diberikan guru, tanpa diberikan kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuan yang dibutuhkan dan diminatinya. Siswa sebagai manusia ciptaan Tuhan yang paling sempurna di dunia karena diberi otak, dibelenggu oleh guru.Siswa yang jelas-jelas dikaruniai otak seharusnya diberdayagunakan, difasilitasi, dimotivasi, dan diberi kesempatan, untuk berpikir, bernalar, berkolaborasi, untuk mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan minat dan kebutuhannya serta diberi kebebasan untuk belajar.
Mari kita runtuhkan pemahaman yang keliru bahkan telah menjadi “mitos” bahwa belajar adalah proses menerima, mengingat, mereproduksi kembali pengetahuan yang selama ini diyakini banyak tenaga kependidikan. Jalaluddin Rakhmad (2005) dalam buku Belajar Cerdas, menyatakan bahwa belajar itu harus berbasis otak . Dengan kata lain revolusi belajar dimulai dari otak. Otak adalah organ paling vital manusia yang selama ini kurang dipedulikan oleh dosen dalam pembelajaran.Pakar komunikasi mengungkapkan kalau kita ingin cerdas maka kita harus terlebih dahulu menumbangkan mitos-mitos tentang kecerdasan.
Menurut pandangan Slavin (1997)) dalam proses pembelajaran dosen tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuannnya sendiri dalam dengan mendayagunakan otaknya untuk berpikir. Guru dapat membantu proses ini, dengan cara-cara membelajarkan, mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan lebih relevan bagi kebutuhan siswa. Caranya antara lain dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak mereka agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Menurut Nur (1999), dosen sebaiknya hanya memberi “tangga” yang dapat membantu mahasiswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa (Brooks, 1990, Slavin, 1997), antara lain (1) siswa perlu didorong secara individual menemukan dan mengubah informasi yang kompleks menjadi lebih sederhana, bermakna, agar menjadi miliknya sendiri, (2) siswa perlu selalu membandingkan informasi yang satu dengan informasi yang lain, jika tidak cocok, ia harus berupaya untuk mengubahnya agar sesuai dengan skematanya. Dengan demikian maka belajar harus bersifat konstruktif, artinya dapat digambarkan sebagai proses berpikir pada saat terjadinya penemuan ilmiah, pemecahan masalah, menciptakan sesuatu. Kegiatan tersebut bisa dalam bentuk eksplorasi, eksperimentasi, kreativitas, ketekunan, kesabaran, rasa ingin tahu, dan kerja sama atau kolaboratif.
Perubahan paradigma pembelajaran di atas mempunyai implikasi yang sangat besar, karena akan menumbuhkan kebiasaan mental untuk dapat berpikir secara produktif. Indikasi-indikasi berpikir produktif ( Marzano dalam Kamdi, 2002) demikian antara lain: (1) self-regulated thinking and learning, yakni kompetensi mengetahui apa yang sedang dipikirkannya, tindakan yang terencana, mengetahui sumber-sumber yang penting, sensitive terhadap umpan balik, dan evaluatif terhadap keefektifan tindakan; (2) critical thinking and learning, yang dicirikan oleh tindakan yang ceermat, jelas, terbuka, bisa mengendalikan diri, sensitive terhadap tingkat pengetahuan,; dan (3) creative thinking and learning yang ditandai dengan semangat tinggi, berusaha sebatas kemampuan, percaya diri, teguh, dan menciptakan hal-hal atau cara baru.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan ketiga indikator di atas adalah dengan mengintegrasikan ke dalam tugas-tugas di kelas dan menggunakan contoh-contoh khusus dari kehidupan orang yang memiliki kompetensi unggul, misalnya kegigihan orang mempelajari perilaku air sehingga menjadi ahli konstruksi bangunan seperti Ir. Sutami yang merancang bendungan Karangkates.
2. Pengembangan belajar berpikir kritis dan kreatif
Sering kita mendengar ungkapan mengenai banyaknya mahasiswa yang ‘tidak berpikir’. Mereka pergi ke kampus tetapi cara belajar mereka terbatas mendengarkan keterangan dosen, kemudian tidak mencoba memahami ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh dosen mereka. Selanjutnya, diruang ujian, mereka mengungkapkan kembali ilmu pengetahuan yang telah mereka hafalkan itu. Cara seperti ini, dalam pengertian yang khusus, bukanlah suatu keberhasilan, dan merupakan cara belajar yang tidak kita inginkan. Mengenai nilai dan ujian, harus diakui bahwa mahasiswa tersebut bisa menjawab pertanyaan.
Sayang sekali, dalam sistem pendidikan dewasa ini, ada mahasiswa yang gagal memahami perkuliahan, sebab mereka hanya sekedar menghafal tanpa mengerti apa yang mereka pelajari. Pada akhirnya, kedua jenis mahasiswa (mereka yang gagal memahami dan mereka yang menghafal) mampu menjawab ujian dengan baik.Sebagian dari mereka mungkin mendapat nilai yang tinggi dan dianggap mahasiswa yang sukses oleh masyarakat (Hassoubah, 2002). Meskipun belum ada hasil penelitian yang kongkret, bahwa seandainya para mahasiswa tersebut ditanya-setelah ujian selesai-apakah mereka masih ingat ilmu pengetahuan yang telah mereka pelajari, maka tidak heran kalau mereka sudah lupa apa yang telah mereka pelajari.
Para mahasiswa pasif akan menimbulkan masalah. Dengan pengertian lain, mahasiswa yang ‘tidak berpikir’ hanya akan memenuhi tempat yang semestinya dipersiapkan untuk menghasilkan para ilmuan yang akan memainkan peranan mereka sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi. Akibat yang paling buruk adalah tugas dan tanggung jawab pendidikan tidak tercapai, sementara para mahasiswa dapat tamat dan mendapatkan gelar.
Pada saat yang sama, seharusnya para mahasiswa mengevaluasi diri mereka dan berusaha. Mereka tidak boleh berdiam diri saja. Karena, para pemuda ini kelak akan menjadi orang dewasa, akan menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan dan permasalahan. Mahasiswa ini yang akan menjadi pemimpin di masa depan, mesti dipersiapkan untuk menghadapi tantangan dan permasalahan hidup. Tantangan dan permasalahan inilah yang akan dihadapi oleh ‘pemikir’(.Tthe Liang Gie, 2003)
Berpikir dalam pendidikan formal sebagian besar menekankan pada :(1) kemampuan menganalisis, (2) membelajarkan siswa bagaimana memahami pernyataan, (3) mengikuti dan menciptakan argumen logis, (4) mengiliminir jalur yang salah dan fokus pada jalur yang benar (Harris, 1998). Berpikir adalah kegiatan memfokuskan pada eksplorasi gagasan, memberikan berbagai kemungkinan-kemungkinan dan mencari jawaban-jawaban yang lebih benar.Dua jenis berpikir dapat dibedakan yakni berpikir kritis dan berpikir kreatif.
No
Berpikir kritis
Berpikir Kreatif
1
Analitis
Mencipta
2
Mengumpulkan
Meluaskan
3
Hirarkis
Bercabang
4
Peluang
Kemungkinan
5
Memutuskan
Menggunakan keputusan
6
Memusat
Menyebar
7
Obyektif
Subyektif
8
Menjawab
Sebuah jawaban
9
Otak kiri
Otak kanan
10
Kata-kata
Gambaran
11
Sejajar
Hubungan
12
Masuk akal
Kekayaan, kebaruan
13
Ya, akan tetapi......
Ya, dan......

a. Berpikir Kritis
Berpikir kristis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan . Perkin (1992) berpikir kritis : (1) bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan logis, (2) memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dan membuat keputusan, (3) menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan stndar, (4) mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian.
Sedangkan Beyer (1985) mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan: (1) menentukan kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan. Menurut Harris, Robert (1998) beberapa kata kunci dalam indikasi kemampuan berpikir kristis meliputi: (1) analytic, (2) convergent, (3) vertical, (4) probability, (5) judgment, (6) focused, (7) Objective, (8) answer, (9) Left brain, (10) verbal, (11) linear, (12) reasoning, (13) yes but.
Berpikir kritis menurut Schafersman, S.D.(1991) adalah berpikir yang benar dalam rangka mengetahui secara relevan dan reliable tentang dunia. Berpikir kritis adalah berpikir beralasan, mencerminkan, bertanggungjawab, kemampuan berpikir, yang difokuskan pada pengambilan keputusan terhadap apa yang diyakini atau yang harus dilakukan. Berpikir kritis adalah berpik mengajukan pertanyaan yang sesuai, mengumpulkan informasi yang relevan, mengurutkan informasi secara efisien dan kreatif, menalar secara logis, hingga sampai pada kesimpulan yang reliable dan terpercaya.
Karakteristik berpikir kritis: (1) Menggunakan bukti secara baik dan seimbang, (2) Mengorganisasikan pemikiran dan mengungkapkannya secara singkat dan koheren, (3) membedakan antara kesimpulan yang secara logis sah dengan kesimpulan yang cacat, (4) menunda kesimpulan terhadap bukti yang cukup untuk mendukung sebuah keputusan, (5) memahami perbedaan antara berpikir dan menalar, (6) menghindari akibat yang mungkin timbul dari tindakan-tindakan, (7) memahami tingkat kepercayaan, (8) melihat persamaan dan analogi secara mendalam, (9) mampu belajar dan melakukan apa yang diinginkan secara mandiri, (10) menerapkan teknik pemecahan masalah dalam berbagai bidang, (11) mampu menstrukturkan masalah dengan teknik formal, seperti mate-matika, dan menggunakannya untuk memecahkan masalah, (12) dapat mematahkan pendapat yang tidak relevan serta merumuskan intisari, (13) terbiasa menanyakan sudut pandang orang lain untuk memahami asumsi serta implikasi dari sudut pandang tersebut, (14)peka terhadap perbedaan antara validitas kepercayaan dan intensitasnya, (15) menghindari kenyataan bahwa pengertian seseorang itu terbatas, bahkan terhadap orang yang tidak bertindak inkuiri sekalipun, dan (16) mengenali kemungkinan kesalahan opini seseorang, kemungkinan bias opini, dan bahaya bila berpihak pada pendapat pribadi
Metode ilmiah merupakan metode paling ampuh yang pernah ditemukan manusia dalam rangka mengumpulkan pengetahuan yang relevan dan reliabel tentang alam.Metode non ilmiah lebih mengarah pada emosi dan harapn umat manusia dan lebih mudah dipelajari dan dipraktekkan daripada metode ilmiah.Meningkatkan pengajaran metode ilmiah dan manifestasinya yang terkenal yaitu berpikir kritis.
Berpikir kritis dapat diajarkan melalui: (1) perkuliahan, (2) laboratorium, (3) tugas rumah, (4) Sejumlah latihan, (5) Makalah, dan (6) ujian. Dengan demikian berpikir kritis dapat dimasukkan dalam kurikulum dengan mempertimbangkan: (1) siapa yang mengajarkan, (2) apa yang diajarkan, (3) kapan mengajarkan, (4) bagaimana mengajarkan, (5)bagaimana mengevaluasi, dan (6) menyimpulkan
Sejumlah tujuan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis diantaranya adalah: (1) memberikan pendidikan umum tentang konsep dalam rangka mencapai tujuan melalui petunjuk yang membantu, (2) merancang pembelajaran dengan menggunakan web dan isu yang bermanfaat, (3) memadukan berbagai hasil pendidikan, (4) mendorong komunitas belajar di dalam kelas, (5) menciptakan kesempatan berpikir kritis yang menyenangkan dan relevan bagi siswa.
Sedangkan strategi yang dapat digunakan pendidik dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa antara lain adalah: (1) mengadakan alat penilaian untuk memberikan nilai siswa. Menciptakan masalah merupakan 20% dari keseluruhan nilai, (2) mendeskripsikan syarat pelajaran secara mendetail sesuai silabus dengan menambah area online (alamat website) yang dapat menyediakan akses informasi secara mudah, (3) memberikan orientasi pelajaran, (4) .instruktur memberi pendapat untuk siswa dalam pemberian masalah lewat e mail untuk memberi penguatan yang positif, dan (5) beberapa hasil pelajaran dipadukan setelah pembelajaran usai.
b. Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif adalah berpikir secara konsisten dan terus menerus menghasilkan sesuatu yang kreatif/orisinil sesuai dengan keperluan. Penelitian Brookfield (1987) menunjukkan bahwa orang yang kreatif biasanya (1) sering menolak teknik yang standar dalam menyelesaikan masalah, (2) mempunyai ketertarikan yang luas dalam masalah yang berkaiatan maupun tidak berkaitan dengan dirinya, (3) mampu memandang suatu masalah daari berbagai perspektif, (4) cenderung menatap dunia secara realtif dan kontekstual, bukannya secara universal atu absolut, (5) biasanya melakukan pendekatan trial and error dalam menyelesaikan permasalahan yang memberikan alternatif, (6) berorientasi ke depan dan bersikap optimis dalam menghadapi perubahan demi suatu kemajuan. Marzano (1988) mengatakan bahwa untuk menjadi kratif seseorang harus: (1) bekerja di ujung kompetensi bukan ditengahnya, (2) tinjau ulang ide, (3) melakukan sesuatu karena dorongan internela dan bukan karena dorongan eksternal, (4) pola pikir divergen/menyebar, (5) pola pikir lateral/imajinatif.
Sedangkan Haris (1998) dalam artikelnya tentang pengantar berpikir kreatif menyatakan bahwa indikator orang berpikir kreatif itu meliputi:(1) Ingin tahu, (2) mencari masalah, (3) menikmati tantangan, (4) optimis, (5) mampu membedakan penilaian, (6) nyaman dengan imajinasi, (7) melihat masalah sebagai peluang, (8) melihat masalah sebagai hal yang menarik, (8) masalah dapat diterima secara emosional, (9) menantang anggapan/praduga, dan (10) tidak mudah menyerah, berusaha keras.
Dikatakanya bahwa kreativitas dapat dilihat dari 3 aspek yakni sebuah kemampuan, perilaku, dan proses. Pertama, Sebuah kemampuan, artinya kreativitas adalah sebuah kemampuan untuk memikirkan dan menemukan sesuatu yang baru, menciptakan gagasan-gagasan baru baru dengan cara mengkombinasikan, mengubah atau menerapkan kembali ide-ide yang telah ada. Kedua, Sebuah perilaku, artinya kreativitas adalah sebuah perilaku menerima perubahan dan kebaruan, kemampuan bermain-main dengan berbagai gagasan dan berbagai kemungkinan, cara pandang yang fleksibel, dan kebiasaan menikmati sesuatu. Ketiga, sebuah proses, artinya kreativitas adalah proses kerja keras dan berkesimbungan dalam menghasilkan gagasan dan pemecahan masalah yang lebih baik, serta selalu berusaha untuk menjadikan segala sesuatu lebih baik
Selanjutnya Harris juga menyatakan bahwa untuk dapat berpikir kreatif seseorang perlu memiliki metode berpikir kreatif. Berbagai metode yang dapat dilakukan antara lain: (1) evolusi, yakni gagasan-gagasan baru berakar dari gagasan lain, solusi-solusi baru berasal dari solusi sebelumnya, hal-hal baru diperbaiki/ditingkatkan dari hal-hal lama, setiap permasalahan yang pernah terpecahkan dapat dipecahkan kembali dengan cara yang lebih baik , (2) sintesis, yakni adanya dua atau lebih gagasan-gagasan yang ada dipadukan ke dalam gagasan yang baru, (3) revolusi, yakni gagasan baru yang terbaik merupakan hal yang benar-benar baru, sebuah perubahan dari hal yang pernah ada, (4) penerapan ulang, yakni melihat lebih jauh terhadap penerapan gagasan, solusi, atau sesuatu yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat dilihat penerapan lain yang mungkin dapat dilakukan, dan (5) mengubah arah, yakni perhatian terhadap suatu masalah dialihkan dari satu sudut pandang tertentu ke sudut pandang yang lain. Hal ini dimaksudkan untuk memecahkan suatu masalah, bukan untuk menerapkan sebuah pemecahan masalah.
3. Pengembangan Universitas bervisi ilmiah dan riset
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia adalah kecilnya jumlah dan rendahnya mutu karya ilmiah yang diterbitkan orang tiap tahun. Pengkajian terhadap mutu jurnal ilmiah yang dipublikasikan perguruan tinggi di Indonesia memperlihatkan bahwa hingga tahun 1998 sebanyak 157 majalah terakreditasi Dirjen Dikti, dari 500 judul majalah bercorak ilmiah dari 4500 terbitan berkala di Indonesia (Kurniawan 1998).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kemampuan Universitas di Indonesia, dalam hal memproduksi karya ilmiah yang berkualitas, belum termasuk menunjukkan tingkat yang diharapkan karena pertumbuhannya yang cukup lambat apabila dibandingkan dengan perubahan-perubahan sosio-kultural yang sangat cepat.Produktivitas buku atau majalah ilmiah di negara kita tidak sepadan dengan julah ilmuwan yang adaaa dan sangat tidak seimbang dengan jumlah pendiduk Indonesia (200 juta lebih) secara keseluruhan.
Dalam kaitanya dengan visi ilmiah universitas, setiap akademisi perlu dipacu dengan diberikan insentif yang cukup untuk berkarya, berkreasi, dan menelorkan gagasan-gagasan baru yang fungsional dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang berguna, disamping menciptakan iklim keberaksaraan (literacy) masyarakat ilmiah.Suburnya tradisi kelisanan (orality) hendaknya dikurangi dan sudah saatnya diganti dengan tradisi keberaksaraan melalui karya tulis ilmiah.Mereka inilah yang berkepentingan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam menyelesaikan berbaagai masalah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Idealnya, setiap karya ilmiah yang dihasilkan oleh akademisi dapat dipublikasikan melalui majalah, jurnal, surat kabar, dan lain-lain sehingga akan menggunggah para akademisi untuk selalu berkreasi dan berkarya. Dengan demikian karya ilmiah yang dihasilkan oleh universitas tidak menjadi dukumen mati atau arsip yang tersimpan rapi di rak-rak pustaka.
            Rendahnya produktivitas riset di Indonesia juga tercermin dari rendahnya publikasi ilmiah dalam berkala internasional.Berdasarkan statistik publikasi ilmiah di tingkat Internasional, publikasi dari Indonesia hanya menyumbang sebanyak 0,012 % dari total publikasi ilmiah dari seluruh dunia (Santosa, 1997; Kamdi, 1998).Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita seperti Thailand (0,086%), Malaysia (0,064%), Singapura (0,179%), dan Philipina (0,035%). Kontribusi terbesar diberikan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat (30,8%), Jepang (8,2%), Inggris (7,9%), Jerman (7,2%), dan Prancis (5,6%).
Sumber Situasi produktivitas riset di Indonesia pada umumnya tidak menggembirakan meskipun telah banyak upaya untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia dan sumber daya investasi, misalnya dengan kegiatan pelatihan-pelatihan penulisan karya ilmiah. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan yang berasal dari individu peneliti, misalnya adanya fenomena isolasi intelektual, insentif yang terlalu rendah, promosi karier yang tidak mendorong untuk melakukan penelitian, keterbatasan kemampuan dan ketidakmampuan untuk mengikuti kemajuan-kemajuan penelitian di dunia global di bidang masing-masing. Kelemahan lain yang mucul dapat berasal dari lingkungan kerja peneliti, misalnya keterbatasan sumber daya dan sarana peenelitian, keterbatasan informasi, institusi yang tidak stabil, kekurangan tenaga pendukung, ketiadaan tuntutan untuk melakukan penelitian, kekakuan sistem birokrasi yang ada dalam institusi, ketidakmemadaian investasi untuk penelitian, dan hambatan-hambatan yang berasal dari sumber kebijakan dan politik. Ini merupakan ciri yang banyak dijumpai di negara-negara berkembang pada umumnya.
Oleh karena itu, agar berjaya melalukan fungsi sosialnya dalam masyarakat, para akademisi Universitas harus bekerja keras, tidak takut terhadap kesulitan, dan selalu jujur dalam segala tindak-tanduknya.Para akademisi dituntut berpandai diri dalam membenai moral dan merapikan bekal serta menyusun strategi untuk menunaikan tugas kademiknya.Untuk itu, mereka dituntut selalu mengikuti perkembangan ilmu, teknologi, dan seni yang ditekuninya serta berupaya berperan sebagai penyumbang, pemacu, dan penentu kemajuan. Keberhasilan ini hanya hanya dapat diraih dengan melakukan kegiatan penelaahan dan penelitian yang bermutu sehinggga mereka dapat menyuguhkan pendapat, teori, data, dan informasi baru serta orisinil ( Rifai dalam Kamdi, 1998)
Setiap hasil pemikiran, pendapat, refleksi, temuan dan gagasan dapat dituliskan ke dalam bentuk tulisan berupa wacana-wacana ilmiah.Wacana keilmuan dapat berupa kertas kerja, laporan penelitian, buku-buku, dan lain-lain jenis karya ilmiah.Produk karya ilmiah universitas dapat dipublikasikan dalam bentuk jurnal ilmiah, baik di tingkat universitas, fakultas, atau jurusan/program studi. Produk karya ilmiah di tingkat universitas menyangkut berbagai disiplin ilmu dan bersifat makro; sedangkan produk karya ilmiah di tingkat fakultas, jurusam, program studi menyangkut satu rumpun keilmuan tertentu.
D. Penutup
Publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh setiap akademisi hendaknya dijadikan ajang pengembangan keilmuan yang ditekuninya.Namun tidak tertutup kemungkinan penulis karya ilmiah dalam menulis karyanya semata-mata karena motivasi pengumpulan angka kredit atau berdasarkan permintaan masyarakat.Ini sebaiknya tidak dijadikan motivasi utama dalam menulis karya ilmiah.Akan tetapi, yang lebih penting adalaah berorientasi kepada kecintaan serta kemampuanya dalam disiplin ilmu yang ditekuninya.
Karya ilmiah yang merupakan hasil pemikiran, refleksi, penelitian, dan lain-lain dapat dijadikan tolak ukur kecendekiaan seorang akademisi, , bobot keilmuannya, sekaligus akan mengurangi ketergantungan intelektual pada dunia luar . Karya tulis ilmiah ini juga merupakan indikator serta berometer kualitas dan keunggulan universitas yang bersangkutan.
Kepustakaan
Dimyati. 1988. Landasan Kependidikan: Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan Tentang kegiatan Pendidikan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Depdiknas.
Dimyati. 1996. Pendidikan Keilmuan di Indonesia: Suatu Dilema Pengajaran dan Penelitian. Jurnal Pendidikan Humaniora dan Sains.September. 2(1&2)
Drost, 2000.Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orang Tua, Jakarta. Gramedia Widisarana Indonesia
Hossoubah,Z. Develoving Creative and Critical Thinking Skills (terjemahan) . 2004. Bandung: Yayasan Nuansa Cendia
Kamdi, W. 2002.Mengajar Berdasarkan Model Dimensi Belajar.Gentengkali: Jurnal Pendidikan Dasar dan Menengah. 4 (5 dan 6): 29-35
Kurniawan, K. 1998. Visi dan Strategi Universitas Mnghadapi Abad XXI.Jurnal Imu Pendidikan. Agustus 5(3): 131-149
Marzano. 1988. Dimensions of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction. Alexandria, Va: ASCD
Perkins,D.N. & Weber,R.J. 1992. Inventive Mind: Creative in Technology. New York: University Press
Rahmat, J. 2005. Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak. Bandung: Mizan Leraning Center (MLC)
Slavin. 1997. Educational Psycology Theory and Practice. Five Edition. Boston: Allin and Bacon
Gie,The Liang. 2003. Teknik Berpikir Kreatif. Yogyakarta: Sabda Persada Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara
                                    
4(c). Artikel mengenai landasan teori dan konsep sistem
PENELITIAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
BERDASARKAN PENDEKATAN SISTEM

Salamah *)
FKIP Universitas PGRI Yogyakarta

Abstrak:
Dunia pendidikan tidak pemah bebas dari masalah, baik yang bersifat makro, maupun
mikro, meliputi masalah kuantitas, kualitas, relevansi, efektivitas dan efisiensi. Pemecahan masalah pendidikan secara tepat harus didasarkan pada pendekatan ilmiah dengan menerapkan pengetahuan ilmiah yang berkaitan dengan masalah pendidikan.Pengetahuan ilmiah berfungsi mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol.Pengkajian penelitian teknologi pembelajaran berdasarkan pendekatan sistem ditinjau dari konsep pendekatan sistematau berpikir sistem, Variabel pembelajaran dalam penelitian pembelajaran dan penerapan berpikir sistem pada penelitian pembelajaran.Kesimpulannya, untuk mewujudkan tujuan pendidikan perlu dilakukan suatu penelitian.Konsep berpikir sistem dalam menelaah masalah penelitian harus melihat masalah secara keseluruhan dengan menentukan faktor-faktor yang terkait.Pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu sistem karena terdapat komponen-komponen yang sering berkaitan dalam mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.

Kata kunci : Penelitian, Pembelajaran, Pendekatan Siswa
A. Pendahuluan
Dunia pendidikan tidak pemah bebas dari masalah.Masalah pendidikan dapat bersifat mikro. Masalah pendidikan yang bersifat makro, dapat dikelompokkan dalam: kuantitas, kualitas, relevansi, keaktifan dan efisiensi." (Jujun.S. Suriasumantri dkk, 2000). Masalah pendidikan yang bersifat mikro, terutama yang dapat dikemukakan di sini adalah masalah yang berkaitan dengan proses belajar mengajar antara lain adalah masalah efekti vitas mengajar guru, motivasi belaj ar siswa, penggunaan media, da\ya serap, kurikulum, penilaian. Masalah pendidikan tersebut (makro-mikro) mempunyai hubungan yang erat, salingmempengaruhi dan saling tergantung.Berbagai permasalah itu perlu pemecahan.
Usaha pemecahan masalah pendidikan bukanlah hal yang mudah.Hal ini disebabkankompleksitas masalah pendidikan itu sendiri serta semakin berkembangnya tuntutan terhadappendidikan.Pemeeahan masalah pendidikan secara tepat harus didasarkan pada pendekatan ilmiah, khususnya yang berkaitan dengan masalah pendidikan.Sebab pengetahuan ilmiah berfungsi mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Donald Ary dkk., mengemukakan hanya pengetahuan ilmiah tentang proses pendidikanlah yang memberikan sumbangan paling berharga dalam pengambilan keputusan di bidang pendidikan (1992:201).
Untuk memecahkan masalah pendidikan berdasarkan pendekatan ilmiah perlu
dilakukan penelitian terhadap masalah yang hendak dipecahkan. Donald Ary, dkk. mengemukakan penelitian pendidikan adalah cara yang digunakan orang untuk mendapatkan informasi yang berguna dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai proses pendidikan (1992 : 205). Tujuan penelitian pendidikan ialah untuk menemukan jawaban terhadap persoalan pendidikan yang dikaji.
Kompleksnya masalah pendidikan tidak terlepas dari pendidikan itu sebagai sistem,yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berinteraksi dalam melaksanakan fungsi untuk mencapai tujuan. Karena itu, untuk dapat menemukan jawaban yang tepat terhadap suatu permasalahan pendidikan maka penelitian pendidikan harus didasarkan pada pendekatan sistem.
Beipikir sistem dalam penelitian pendidikan mengandung makna bahwa dalam menelaah suatu masalah, peneliti hendaknya dapat melihat secara menyeluruh tentang berbagai faktor yang terkait dengan masalah tersebut, dan membentuk suatu konstelasi permasalahan.Hal ini sangat penting sebab pada dasarnya suatu masalah tidak berdiri sendiri.Adanya suatu masalah dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang secara sendirisendiri atau bersama-sama dapat menyebabkan masalah tersebut.Berpikir sistem dalam penelitian pendidikan juga sangat diperlukan dalam penerapan hasil penelitian. Sebab hasil penelitian yang akan diintroduksikan pada suatu sistem pendidikan perlu memperhatikan berbagai komponen yang ada.
Secara umum, pembahasan ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang penelitianpembelajaran yang didasarkan pada berpikir sistem. Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini dibatasi padahal-hal sebagai berikut: (1) Konsep pendekatan/berpikir sistem, (2) Variabel pembelajarari dalam penelitiapembelajaran, (3) Penerapan berpikir sistem pada penelitian pembelajaran.

B. Pembahasan
1. Konsep Pendekatan Sistem/Berpikir Sistem
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita rnendengarkan istilah sistem. Apakah sistem itu ? Menurut Jujun S. Suriasumantri, sistem dapat diartikan sebagai sebuah ujudkeseluruhan dari suatu objek penelaahan dimana unsur dari objek tersebut berhubungan satu sama lain dalam suatu jalinan yang tertaur. Gagne dan Briggs (1977 :105) menyatakan sistem sebagai suatu cara yang terorganisir untuk mencapai tujuan tertentu, apakah untuk seluruh masyarakat atau untuk sebagian masyarakat. Briggs menyatakan, sistem sebagai rencana kerja yang terpadu dan semua komponen sistem (sub sistem) yang dirancang untuk memecahkan kebutuhan tertentu. Jadi jika disimpulkan dalam arti yang sederhana, sistem mengandung pengertian, bahwa wujud sesuatu adalah merupakan totalitas dari seperangkat komponen yang tergantung dalam satu jalinan yang teratur dalam proses kegiatan yang menghasilkan tujuan tertentu.
Dari beberapa pengertian tentang sistem tersebut di atas, dapat diungkapkan bahwa sistem memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Sistem bertujuan bersama dan berorientasi pada tujuan.
b. Tujuan sistem dapat dijabarkan kepada beberapa fungsi.
c. Sistem memiliki komponen-kornponen yang dapat menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
d. Komponen-komponen sistem saling berkaitan dan tergantung satu sama lain.
e. Sistem memiliki aspek keterpaduan antar komponen.
f. Sistem memiliki mekanisme umpanbalik
g. Memproses masukan (input) menj adi keluaran (output).
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2001), bahwa sistem dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu: (a) Sistem tertutup yang berarti sebuah sistem yang dalam proses kegjatannya tidak berhubungan dengan sistem-sistem luarnya. Contohnya: sistem kehidupanmasyarakat Badui asli. (b) Sistem terbuka yang berarti sebuah sistem yang berhubungan dengan sistem-sistem lainnya dalam melakukan proses kegiatannya. Contohnya: Kegiatan pada sistem pendidikan.
Dalam sistem terbuka raw input (masukan mentah) diproses melalui bantuan dari input-input instrumental yang berupa tenaga manusia, sarana dan prasarana metode dan material selanjutnya menjadi output. Jadi sistem terbuka dapat dikatakan memiliki ciriciri sebagai berikut: (a) Input dapat menerimapengaruh dari lingkungan ekstemal, (b) Ada proses transformasi dari sumber daya yang tersedia terhadap sistem itu sendiri, (c) Suatu hasil (output) yang diberikan kepada lingkungan setelah melalui proses, (d) Ada proses untuk menetralisir proses entropy supaya proses tetap berjalan, (e) Ada kegiatan mengubah sumber daya terus menerus, (f) Terdapat usaha umpan balik sebagai alat untuk mengontrol perilaku dari output.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan dapat kita
gunakan sebagai pendekatan. Salah satu diantaranya dengan menggunakan "pendekatan sistem". Pendekatan sistem dapat diartikan sebagai suatu cara berpikir dengan menggunakan konsep sistematik dan sistemik (menyeluruh),.Pendekatan sistem dapat juga dikatakan sebagai metode untuk mendeskripsikan suatu objek yang dideskripsikan, meliputi bagaimana hubungan antar komponen yang satu dengan komponen yang lainnya yang menunjuk pada suatu hasil secara keseluruhan.
Pendekatan sistem atau berpikir sistem memiliki beberapa ka-rakteristik ditinjau dari tiga aspek sebagai berikut: (a). Aspek Ontologi. (1). Pendekatan holistik
(menyeluruh). (2). Mulai dari keseluruhan kemudian dibatasi. (3) Dimulai dari latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang telah diperoleh. (b). Aspek Epistemologi. (1) Menggunakan model untuk memudahkan analisis. (2) Sifat keseluruhan lebih diperhatikan daripada pendekatan analitik dan atomistik. (3) Logika sistem merupakan konsep dasar dalam kegiatan inquiry (mencari tahu). (c) Aspek Aksiologi, menguraikan tercapainya tujuan sistem secara sistematik (runtut).
Pendidikan dapat dipandang sebagai sistem karenadi daianrnya meliputi komponenkomponen yang harus saling berkaitan satu sama lainnya dalam mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Komponen-komponen yang dimaksud, meliputi: raw input (siswa), instrumental input (guru, tenaga administratif, saranadanprasarana, metode atau kurikulum, keuangan), enviromental input (masyarakat dan lingkungan alam), proses transformasi (pendidikan), output (lulusan). Dengan demikian untuk mencapai output (lulusan) yangberkualitas sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen yang lainnya. Pendidikan sebagai sistem dapat dilihat pada model sebagai berikut:
   


Bagan : Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem

Teknik-teknik berpikir sistem telah ditemukan diantaranya, adalah: (a) Operasi riset yang bertujuan untuk mencari pemecahan optimal. Dapat menggunakan teknik programming, queueing, gamin, monte carlo dan sebagainya, (b) Sistem analis yang bertujuan untuk menemukan altematif pemecahan masalah yang terbaik meskipun tidak optimal. Teknik yang digunakan adalah: Cost benefit dan Cost-Effectiveness Technique. Dapat dipilih teknik-teknik mana yang sesuai dengan kebutuhan yang ada.Misalnya dalam menangani masalah-maslaah sosial sangat cocok dengan menggunakan teknik-teknik berupa sistem analisis.

2. Konsep Penelitian Pembelajaran
Pembelajaran menurut Gagne dan Briggs (1974), seperti yang dikutip oleh
Kuswadi, diartikan sebagai cara guru, perancangbahan belajar, ahli kurikulum atau orang lain yang berkepentingan dalam usaha mengem-bangkan rencana yang sistematis untuk memajukan belajar. Pada umumnya para peneliti memusatkan perhatiannya pada variabel-variabel yang terdapat dalam pengembangan teori-teori pembelajaran.
a. Klasifikasi Pembelajaran
Menurut Reigeluth dan Merill (1978), variabel-variabel pembelajaran diklasifikasikan menjadi tiga yaitu, (l)kondisi pembelajaran, (2) metode pembelajaran, (3) hasil pembelajaran. Ketiga variabel tersebut akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut: Kondisi pembelajaran. Didefinisikan sebagai faktor yang mempengaruhi metode dalam meningkatkan hasil pembelajaran. Kondisi ini berinteraksi dengan metode pembelajaran,dan keberadaannya biasanya tidak dapat dimanipulasi.
Reigeluth dan Merrill (1983) mengelompokkan variabel kondisi pembelajaran mejadi tiga  elompok, yaitu: (a) Tujuan dan karakteristik bidang studi. Diartikan sebagai pemyataan tentang hasil pembelajaran yang diharapkan.Tujuan ini dapat sangat umum, sangat khusus, atau di mana saja dalam kontimum umum-khusus. (b) Kendala dan karakteristik bidang studi, karakteristik bidang studi adalah aspek-aspek suatu bidang studi yang dapat memberikan landasan yang berguna sekali dalam mendeskripsikan strategi pembelajaran. Sedangkan sumber-sumber, seperti waktu, media, personalia, dan uang. (c) Karakteristik siswa yaitu, aspek-aspek atau kualitas si belajar (bakat, motivasi, dana hasil belajar).
Metode pembelajaran didefinisikan sebagai cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda.Pada dasarnya, semua caraini dapat dimanipulasi olehperancang pembelaj aran.Apabiladalam suatu situasi, metode pembelajaran tidak dapat dimanipulasi. Variabel metode pembelaj aran diklasifikasikan lebih lanj ut menj adi tiga j enis, yaitu: (a) strategi pengorganisasian
adalah metode untuk mengorganisasikan isi bidang studi yang telah dipilih untuk pembelajaran. "Mengorganisasi" mengacu pada suatu tindakan seperti pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan lainnya yang setingkat dengan itu. (b) strategi penyampaian adalah metode untuk menyampaikan pembelaj aran kepada sibelajar dan atau untuk menerima serta merespon masukan yang berasal dari si-belajar.
Media pembelajaran merupakan bidang kajian utama dari strategi ini. (c) strategi pengelolaan adalah metode untuk menata interaksi antara si-belajai" dan variable strategi pengorganisasian dan penyampaian isi pembelajaran. Hasil pembelajaran mencakup semua efek yang dapat dijadikan sebagai indicator .tentang nilai dari penggunaan metode pembelajaran di bawah kondisi pembelajaran yang berbeda.
Hasil pembelajaran bisa berupa hasil nyata, dan hasil yang diinginkan.Hasil nyata adalah hasil yang nyata dicapai dari penggunaan suatu metode di bawah kondisi tertentu, sedangkan hasil yang diinginkan adalah tujuan yang ingin dicapai, yang sering mempengaruhi keputusan perancang pembelajaran dalam melakukan pilihan metode. Hasil pembelajaran dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu: (a) Keefektifan pembelajaran biasanya diukur dengan tingkat pencapaian si belajar itu ada empat aspek penting yang dapat dipakai untuk meng-ekspresikan perilaku yang dipelajari (sering disebut tingkat kesalahan), kecepatan unjuk kerja, tingkat alih belajar, tingkat retensi dari apa yang dipelajari. (b) Efisiensi pembelajaran biasanya diukur dengan rasio antara keefektifan dan jumlah waktu yang dipakai sibelajar dan, atau jumlah biaya pembelajaran yang digunakan. (c) Daya tarik pembelajaran biasanya diukur dengan mengamati kecenderungan siswa untuk tetap/terus belajar. Daya tarik pembelajaran erat sekali kaitannya dengan daya tarik bidang studi, dimana kualitas pembelajaran biasanya akan mempengaruhi keduanya. Itulah sebabnya, pengukuran kecenderungan siswa untuk terus atau tidak terus belajar dapat dikaitkan dengan proses pembelajaran itu sendiri atau dengan bidang studi.

b. Taksonomi Variabel Pembelajaran
Ketiga variabel pembelajaran yang telah dijelaskan sebelurnnya dituangkan ke
dalam bagan di bawah ini:

K
O
N
S
E
P


Tujuan
Karaktenstik
Bidang Studi



Kendala dan
Karakteristik
Bidang Studi



Karakteristik
Siswa

M
E
T
O
D
E
Strategi
Pengorganisasian
Pembelajaran
(Strategi Makro
dan Mikro

Strategi
Penyampaian
Pembelajaran

Strategi
Pengelolaan
Pembelajaran
H
A
S
I
L
Keefektifan, Efisiensi, dan
daya tarik Pembelajaran
Taksonomi Variabel Pembelajaran
(Adaptasi Dari Reigeluth dalam Sudana Degeng 1998)

c. Hubungan Variabel Pembelajaran
Melihat Taksonomi yang telah digambarkan sebelurnnya, maka hubungan ketiga variabel pembelajaran dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Tujuan dan karakteristik bidang studi dihipotesiskan memiliki pengaruh utama pada pemilihan strategi pengorganisasian pembelajaran, demikian juga kendala (karakteristik bidang studi) pada pemilihan strategi penyampaian, serta karakteristik siswa pada pemilihan strategi pengelolaan. Bagaimanapun juga pada tingkat tertentu, sangat dimungkinkan suatu variabel kondisi akan mem-pengaruhi setiap variabel metode (misalnya, karakteristik siswa dapat mempengaruhi strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian).
2) Strategi pengorganisasian pembelajaran yang dibedakan ke dalam strategi makro dan strategi mikro, keduanyamengacu kepada metode untuk mengorgaisasi isi  pembelajaran yang berkisar pada konsep, prosedur atau prinsip. Strategi tersebut digambarkan sebagai ke-giatan bagaimana memilih, menata urutan, membuat sintesis dan rangkuman isi pembelajaran yang saling berkaitan.
3) Strategi penyampaian pembelaj aran, sekurang-kurangnya memiliki dua fungsi kegiatan yaitu menyampaikan isi pembelajaran kepada siswa dan menyediakan informasi/bahan yang diperlukan siswa untuk melakukan kinerjanya.
4) Strategi pengelolaan pembelajaran berurusan dengan bagaimana menata interaksi siswa dan variabel metode pembelajaran lainnya, Strategi ini berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian yang digunakan selama proses pembelajaran. Kegiatan yang tercakup dalam strategi ini adalah penjadwalan, pembuatan catatan kemajuan belajar siswa, dan motivasi.
3. Penerapan Berpikir Sistem dalam Penelitian Pembelajaran
Pada uraian telah dikemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu sistem.Karenaitu, untuk memecahkan masalah pendidikan di dalam suatu penelitian, perlu digunakan pendekatan sistem. Jujun S. Suriasumantri (2000), mengatakan bahwa pendekatan sistem dapat diartikan sebagai suatu cara berpikir dengan mempergunakan konsep sistem dalam obyek yang ditelaah dideskripsikan secara sistematik dan sistemik (menyeluruh) dengan mempergunakan analisis yang bersifat multi-disiplin. Ciri dari pendekatan sistem adalah, (a) pendekatan bersifat holistik, (b) berorientasi pada output, (c) analisis masalah dilakukan dengan menggunakan model.
Berkaitan dengan hal ini, Regeiluth dan Merrill (1978) menge-mukakan bahwa didalam penelitian pendidikan variabel-variabel pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : (a) kondisi pembelajaran, (b) metoda pembelajaran dan (c) hasil pembelajaran. Kondisi pembelajaran merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan metode dalam meningkatkan hasil pembelajaran.
Sedangkan metode pembelajaran sendiri merupakan cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda (Degeng : 1998). Hasil pembelajaran merupakan semua efek yang dapat dijadikan indikator.Tentang nilai penggunaan metode pembelaj aran di bawah kondisi yang berbeda, berikut ini akan diberikan contoh penerapan penelitian pendidikan yang dikaitkan dengan berpikir sistem. Konsep berpikir sistem berorientasi pada output dalam contoh ini adalah prestasi belajar siswa.
Sesuai dengan konsep Regeiluth dan Merrill, output prestasi belajar siswa ini merupakan point hasil pembelajaran. Regeiluth mengatakan bahwa hasil pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (a) keefektifan pembelajaran diukur dengan tingkat pencapaian si-belajar, dalam hal ini adalah prestasi belajar siswa. Sesuai dengan konsep berpikir sistem, langkah utama dalam menelaah masalah penelitian terlebih dahulu haruslah dengan melihat masalah tersebut secara menyeluruh dengan menentukan faktor apa saja yang terkait dalam masalah tersebut. Jadi, untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, terlebih dahulu kita lihat berbagai faktor yang mempengaruhi prestasi belajar tersebut baik dari segi perlakuan yang diberikan pada siswa yang bersangkutan maupun dari segi kondisi. Faktor yang berkaitan dengan perlakuan antara lain ; (a) pengorganisasian bahan ajar; (b) strategi penyampaian; dan (c) pengelolaan kegiatan.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi kondisi adalah karakteristik siswa. Prestasi belajar adalah hasil dari suatu proses. Ambil contoh perlakuan yang diberikan untuk meningkatkan prestasi belajar ini misalnya dengan memberikan metoda X, dan kondisinya adalah motivasi belajar siswa yang tinggi. Bila temyata hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi belajar menurun, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh metoda penyampaiannya yang salah, sebab sesuai dengan konsep berpikir sistem, kita harus melihat faktor lain secara keseluruhan yang mempengaruhi prestasi belajar tersebut. Sehingga mungkin saja sebenamya perlakuan yang diberikan dengan menggunakan metoda X ini sudah tepat, namun pengorganisasian bahan ajar yang tidak baik.
Sebaliknya, bila hasil penelitian ini mengatakan bahwa prestasi belajar meningkat dengan perlakuan dan kondisi di atas, maka kita tidak dapat menyimpulkan bahwa metoda X paling tepat digunakan dalam kondisi yang ada tersebut, karenamungkin saja ada faktor lain seperti bahan ajaran yang baik, yang mengakibatkan prestasi meningkat.
Di sinilah diperlukan keterkaitan pendekatan sistem dalam penelitian pendidikan. Berkaitan dengan penelitian pembelajaran, Regeiluth dan Merrill (1978) mengemukakan bahwa variabel-variabel pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (a) kondisi pembelajaran; (b) metode pembelajaran, (c) hasil pembelajaran. Bahan ajar yang baik, yang mengakibatkan prestasi meningkat.Di sinilah kita perlu mengkaitkan pendekatan sistem dalam penelitian pembelajaran. Untuk memperjelas penetapan berpikir sistem dalam penelitian pembelaj aran dapat dilihat model di bawah ini:
 

  Bagan : Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem

C. Penutup
Dalam mewujudkan tujuan pendidikan tidak terlepas dari perma-salahanyangtimbul salah satu altematifharus dilakukan penelitian.Konsep berpikir sistem dalam menelaah masalah penelitian harus melihat masalah secara keseluruhan dengan menentukaii faktor-faktor yang terkait.Pendidikan agar dapat dipandang sebagai suatu sistem, karena terdapat komponen-komponen yang saling berkaitan dalam mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.Dalam penelitian pembelaj aran yang berkaitan dengan berpikir sistem harus memperhatikan bagaimana keterkaitan antara variabel yang ada di dalam pembelajaran tersebut dapat diarahkan untuk memecahkan masalah.pembelajaran, sehingga pembelajaran tercapai secara efektif dan efisien. Diharapkan para pendidik dalam meningkatkan prestasi be.lajar perlu dilakukan dengan cara penelitian.
DAFTARPUSTAKA
Ary Donald. 1992. Introduction to Research in Education. Holt, Reinehart and Wilson.
Degeng I. Nyoman. 1998. Jurnal, Penelitian Teknologi Pendidikan IKJP Malang.
Gagne & Brings. 1987. Educational Research, Competencies for Analysis and Aplication. Demi Publicing Company.
Jujun S. Suriasumantri. 2000. System Thinking. Bandung: BhinaCipta.
Jujun S. Suriasumantri. 2003. Program Strategis Penelitian Pendidikan. Bandung: Bhina Cipta.
Regeiluth, Charles M. 1983. Instructional Design Theories and Models. London: Lawrence Erlbraum Associates. Publisher.
Wolter R. Borg dan Meredith Damien Gall. 1983. Educational Research. London: Longman Group Ltd.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar