Ujian
Mid Semester
Mata Kuliah : Dasar-Dasar Teknologi Pendidikan
Nama :
Sri Purwati
NIM : 06032681318031
Soal
1. Coba anda jelaskan keterkaitan/hubungan
dan perbedaan antara
a. Pendidikan
dan teknologi pendidikan
b. Teknologi
pendidikan dan teknologi pembelajaran
c. Teknolog
pendidikan dan teknologi dalam pembelajaran
2. Coba anda jelaskan tentang:
a. Sejarah
perkembangan teknologi pendidikan
b. Landasan
falsafah teknologi pendidikan
c. Kawasan
dan bidang garapan teknologi pendidikan
3. Coba anda tuliskan tiga judul dan
masalah penelitan yang berkaitan dengan teknologi pendidikan4. Coba anda cari dari internet satu artikel/tulisan yang membahas tentang
a. Landasan
kebijakan pendidikan
b. Landasan
Ilmiah teknologi pendidikan
c. Landasan
teori dan konsep system
Jawaban
1(a).Keterkaitan
hubungan dan perbedaan antara pendidikan dan teknologi pendidikan
Menurut Mudyahardjo
(2010:46) pendidikan adalah keseluruhan pengalaman belajar setiap orang
sepanjang hidupnya.Adapun menurut Jalaluddin (1997:15) pendidikan merupakan
rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa
kemampuan dasar dan kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual dan makhluk
sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitarnya agar menjadi pribadi yang
bertanggung jawab.Pengertian pendidikan dipertegas lagi oleh Sa’ud (2009:6)
yang menyatakan pendidikan sebagai upaya yang dapat mempercepat pengembangan
potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena
hanya manusia yang dapat didik dan mendidik.Pendidikan dapat mempengaruhi
perkembangan fisik, mental, emosional, moral, serta keimanan, dan ketakwaan
manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan hakekatnya adalah
merupakan suatu proses pengalaman belajar dan usaha mengembangkan kemampuan dan
potensi pada diri individu.
Sedangkan pengertian
teknologi pendidikan menurut Miarso (2004:6), teknologi pendidikan merupakan
suatu proses yang kompleks danterintegrasi
meliputi manusia, alat, dan sistem termasuk diantaranya gagasan, prosedur dan
organisasi. Selanjutnya menurut Nasution (2011:2) teknologi pendidikan adalah
suatu pendekatan yang sistematis dan kritis tentang pendidikan.Adapun pengertian
teknologi pendidikan menurut Munir (2010:39) merupakan pendekatan sistematis
dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajaran. Dengan
demikian dapat disimpulkan teknologi pendidikan merupakan proses pendekatan
sistematis dalam pelaksanaan
pendidikan yang terorganisir dan
terintegrasi yang memanfaatkan dan mengembangkan teknologi bagi pendidikan.
Berdasarkan
tinjauan hakekat pendidikan dan teknologi pendidikan maka hubungan antara pendidikan
dan teknologi pendidikan adalah teknologi pendidikan berperan dalam
pengembangan, penerapan, dan penilaian sistem-sistem, teknik-teknik serta
alat-alat baru yang berkaitan erat dengan penggunaan dan pengembangan pemanfaatan teknologi dalam usaha memperbaiki
dan meningkatkan proses pendidikan.Teknologi pendidikan tidak hanya berkaitan
dengan alat-alat atau mesin, namun juga berkaitan dengan kegiatan menerapkan
ilmu atau pengetahuan dan usaha untuk memecahkan masalah pendidikan.Dengan demikian,
pendidikan berperan menyediakan kondisi untuk peningkatan mutu kehidupan
manusia, yang untuk mencapainya memerlukan peran dari teknologi
pendidikan.teknologi sengaja diciptakan untuk pendidikan, dengan adanya
teknologi dalam pendidikan maka rancangan pendidikan akan terprogram sehingga
proses pendidikan dapat teratur dan terperinci termasuk didalamnya suatu model
teknologi yang sengaja diciptakan untuk memudahkan proses pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan.(Miarso,
2004:6); (Munir, 2010:39); (Prawiradilaga, 2012:40).
Adapunperbedaan antara
pendidikan dan teknologi pendidikan adalah pendidikan terletak pada bentuknya, jika pendidikan adalah
wadah untuk suatu proses pencapaian keberhasilan pembelajaran, maka teknologi
pendidikan adalah alat (disiplin ilmu) dari proses tersebut.
1(b).
Keterkaitan hubungan dan perbedaan antara Teknologi pendidikan dan teknologi
pembelajaran
Seperti yang telah
diungkapkan sebelumnya teknologi pendidikan merupakan proses pendekatan
sistematis dalam pelaksanaan
pendidikan yang terorganisir dan
terintegrasi yang memanfaatkan dan mengembangkan teknologi bagi pendidikan,
adapun pengertian teknologi pendidikan
menurut AECT dalam Miarso (2004) adalah studi
dan praktek etis dalam upaya memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan
kinerja dengan cara menciptakan, menggunakan/memanfaatkan, dan mengelola proses
dan sumber-sumber teknologi yang tepat. Dalam pengertian ini tujuan teknologi
pendidikan dijelaskan sebagai cara untuk memfasilitasi pembelajaran (agar efektif,
efisien dan menarik).
Sedangkan teknologi
pembelajaran menurut Snelbecker dalam Miarso (2004:112), teknologi pembelajaran
merupakan pendekatan sistematis `dan ilmiah dari psikologi terhadap masalah pendidikan.Seels
(1994:4) mengungkapkan teknologi pembelajaran sebagai bagian (sub
set) dari teknologi pendidikan. Adapun menurut Russell dalam Seels (1994:10),
teknologi pembelajaranadalah teori dan praktek dalam desain pengembangan,
pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian proses dan sumber untuk belajar. Dengan
demikian dapat disimpulkan teknologi pembelajaran adalah pendekatan sistematis
yang dimanfaatkan untuk pengembangan dan mengelola proses pembelajaran yang
digunakan pula untukmemcahkan masalah belajar dengan berlandaskan pada
serangkaian prinsip dan menggunakan berbagai macam pendekatan pembelajaran.
Hubungan antara
teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran adalah teknologi pembelajaran merupakan
bagian dari teknologi pendidikan, dalam pengertian bahwa teknologi pembelajaran
merupakan bentuk operasional dari teknologi pendidikan.Hubungan keduanya tampak
pula pada aspek kajian belajar atau learning, dimana teknologi pembelajaran
maupun teknologi pendidikan memiliki kajian yang sama dalam proses belajar
(Prawiradilaga, 2012:43). Adapun menurut Miarso (2011:64), secara konseptual
teknologi pendidikan didefinisikan
sebagai teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan,
penilaian, dan penelitian proses, sumber dan sistem untuk belajar. Dalam
definisi tergambar dengan jelas adanya hubungan teknologi pendidikan dengan
teknologi pembelajaran. Berdasarkan definisi tersebut mengandung pengertian
adanya empat komponen dalam teknologi pembelajaran yaitu (1) teori dan praktik;
(2) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan penelitian;
(3) proses, sumber, dan sistem; (4) untuk belajar.
Sedangkan perbedaan antarateknologi
pendidikan dan teknologi pembelajaran dapat ditinjau dari hakekat dan
kawasannya.Ditinjau hakekat teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran dapat
diungapkan bahwateknologi
pendidikan lebih luas cakupannya dibandingkan dengan teknologi pembelajaran.Selain
itu, teknologi
pendidikan menunjukkan kerangka yang luas tentang terkait kebijakan sedangkan
teknologi pembelajarn berkaitan langsung dengan proses belajar.
Pandangan ini sangat berkaitan dengan adanya konsep kawasan
dalam teknologi pendidikan maupun teknologi pengajaran.Kawasan teknologi
pendidikan menyangkut penyelenggaraan seluruh aspek belajar manusia termasuk di
dalam dan diluar sistem persekolahan. Selain itu, kawasan manajemen dalam
pendidikan diarahkan pada upaya mengelola dan mengatur seluruh fungsi yang ada
didalam kawasan pengembangan serta memanfaatkan sumber belajar, sebab teknologi
pendidikan memberikan perhatian yang besar pada peran seluruh kategori sumber
belajar dalam rentang yang luas, bukan hanya tersedia di kelas atau sekolah
akan tetapi mencakup pula lokasi khusus yang tersedia di masyarakat seperti
museum atau observatiorium (Prawiradilaga, 2012:44).
Teknologi
Pendidikan sebagai suatu disiplin ilmu berkembang karena adanya kebutuhan agar
belajar-mengajar lebih efektif, lebih efisien, lebih banyak, lebih luas dan
sebagainya.Seiring dengan perubahan zaman, paradigma teknologi pendidikan pun
mengalami perkembangan yang ditandai dengan adanya sintesa dari konsep-konsep
yang berasal dari orientasi sebelumnya serta memperkenalkan konsep baru. Jika
semula teknologi pendidikan (dalam arti yang sangat terbatas) dipandang hanya
berperan pada taraf pelaksanaan kurikulum di kelas, maka konsepsi baru yang
muncul menghendaki teknologi pendidikan
sebagai masukan (input) bahkan sejak
tahap perencanaan kurikulum.Sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir (2010:40),
Teknologi pendidikan berfungsi memperkuat pengembangan kurikulum.Teknologi pendidikan mencakup sistem
lain yang digunakan dalam proses mengembangkan kemampuan manusia.
Sebaliknya,teknologi pembelajaran merupakan suatu bidang
kajian khusus ilmu pendidikan dengan objek formal “belajar” pada manusia secara
individu maupun kelompok.Berbeda dengan rumusan kawasan teknologi pendidikan
yang telah dikaji pada bagian sebelumnya.Maka rumusan kawasan teknologi
pembelajaran memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dalam dunia pendidikan
dibandingkan dengan kawasan teknologi pendidikan. Menurut, Prawiradilaga
(2010:46), teknologi pembelajaran tetap
merujuk pada learning is purpose and
controlled.Pernyataan ini menjelaskan kedudukan kawasan teknologi
pembelajaran adalah di kelas.
Dengan demikian sumber belajar berperan langsung sebagai komponen sistem pembelajaran yang sengaja
diancang dan disiapkan sesuai dengan kompetensi serta kebutuhan
belajar di sekolah.
1(c).
Keterkaitan hubungan dan perbedaan antara Teknolog pendidikan dan teknologi
dalam pembelajaran
Kata teknologi berasal dari bahasa Yunani technología yang berasal
dari kata techne yang berarti kerajinan dan logia, yang berarti studi tentang
sesuatu, atau cabang pengetahuan dari suatu disiplin.Teknologi juga dapat
diartikan benda‐benda
yang berguna bagi manusia, seperti mesin, tetapi dapat juga mencakup hal yang
lebih luas, termasuk sistem, metode organisasi, dan teknik.Ellul dalam Miarso
(2011:75) mendefinisikan teknologi sebagai keseluruhan metode yang secara
rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan
manusia.Adapun menurut Miarso (2011:132) teknologi merupakan sistem yang
diciptakan oleh manusia untuk sesuatu tujuan tertentu.sebagai perpanjangan dari
kemampuan manusia, yang dipakai untuk menambah kemampuan menyajikan pesan,
memproduksi barang lebih cepat dan lebih banyak, memproses data lebih banyak,
memberikan berbagai macam kemudahan, serta untuk mengelola proses maupun orang.
Menurut Miarso (2011:64), secara
konseptual teknologi pendidikan
didefinisikan sebagai teori dan praktek dalam desain, pengembangan,
pemanfaatan, pengelolaan, penilaian, dan penelitian proses, sumber dan sistem
untuk belajar.Teknologi dapat digunakan sebagai produk untuk membantu
penyelenggaraan pendidikan.Sedangkan maksud dari istilah teknologi dalam
pembelajaran adalah diarahkan pada suatu pengertian pemanfaatan atau penggunaan
teknologi dalam proses pembelajaran serta mengatasi berbagai permasalahan yang
timbul selama proses pembelajaran berlangsung dalam usaha meningkatkan kualitas
pembelajaran. Sama halya seperti yang diungkapkan oleh Hamreus dalam Siregar
(2008:373) bahwa teknologi dalam pembelajaran sangat berkaitan dengan proses
yang yang sistematis untuk meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran.
Hubungan teknologi pendidikan
dan teknologi dalam pembelajaran sangat erat, dimana teknologi pendidikan dan
teknlogi dalam pembelajaran memiliki tujuan yang sama untuk dapat membantu in putyang mengalami proses pembelajaran
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan agar kelak menjadi out put yang diharapkan berkualitas dan unggul serta mampu bersaing
dalam kehidupannya. Selain itu hubungan kedua istilah ini tidak terlepas dari
adanya penggunaan atau pemanfaatan
teknologi sebagai suatu sistem yang saling berhubungan dalam proses pendidikan.
Menurut Prawiradilaga (2012:40), berbagai teknologi yang dapat dimanfaatkan
dalam pendidikan akan mampu membantu menciptakan konsep belajar yang
terprogram (programmed learing) yang memuat langkah belajar teratur dan
terperinci, termasuk model teknologi yang sengaja diciptakan untuk kemudahan
proses belajar. Contohnya penggunaan perangkat lunak dengan authoring tools seperti platform khusus untuk pembelajaran.
Adapun perbedaan konseptual
antara teknologi pendidikan dan teknologi dalam pembelajaran ialah berkaitan
dengan cakupan atau jangkauan penggunaan teknologi, maksudnya adalah teknologi
pendidikan memiliki jangkauan yang lebih luas pemanfaatan teknologi dalam
pendidikan yang tidak hanya terbatas pada konsep pembelajaran seperti pada
penggunaan teknologi dalam pembelajaran yang diarahkan pada penggunaan model
pembelajaran serta strategi pembelajara, namun lebih jauh dari itu teknologi
pendidikan diarahkan pula pada upaya peningkatan kinerja dan potensi manusia
dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dengan kata lain, menurut Prawiradilaga
(2012:40-41) teknologi dalam pendidikan berhubungan dengan teknologi kinerja
yang merupakan terobosan suatu lembaga terhadap pengembangan sumber daya
manusia.Selain itu perbedaan teknologi pendidikan dan teknologi dalam
pembelajaran tampak pula pada aspek kajian penggunaan teknologi pendidikan
lebih luas dari pada teknologi pembelajaran. Bila teknologi dalam pembelajaran
memiliki fokus kajian dalam pemanfaatan penggunaan teknologi dalam media
pembelajaran dan sumber belajar yang dirancang dan dimanfaatkan untuk proses
pembelajaran yang berlandaskan kompetensi
dan materi ajar yang ada di sekolah
dengan tujuan untuk memacu dan
memicu proses belajar, maka teknologi pendidikan lebih luas lagi
jangkauanpengembangannya karena pengaruhnya tidak hanya terbatas pada media
belajar, tetapi kepada rancangan program pendidikan yang didalamnya mengkaji perencanaan
pendidikan termasuk kurikulum, berbagai upaya mengatasi masalah pendidika
dengan memanfaatkan pendayagunaan teknologi dalam pendidikan yang diarahkan
untuk mencapai tujuan pendidikan.
2(a).Sejarah Perkembangan Teknologi
Pendidikan
Awal
perkembangan teknologi pendidikan dapat dikatakan telah ada sejak awal
peradaban, dimana orang tua mendidik anaknya dengan cara memberikan pengalaman
langsung serta dengan memanfaatkan lingkungan. Dalam perkembangan selanjutnya
menurut Seattler dalam Miarso (2004:133), secara eksplisit ia menganggap bahwa
Komensky merupakan pionir teknologi pendidikan sebab Komensky berpendapat
perlunya visualisasi dalam pengajaran yang tertuang dalam bukunya orbis sensalium pictus. Selain, Komensky
tokoh yang mempengaruhi sejarah perkembangan teknologi pendidikan diantaranya
adalah Reusseau, Pestalozzi, dan Froebel yang menekankan perlunya rangsangan
indra untuk meningkatkan efektifitas belajar.Serta Herbart yang mengungkapkan
mengenai prosedur pengajaran yang kemudian sekarang dikenal sebagai desain
pembelajaran.
Dalam
tinjauan historis, teknologi
pendidikan pertama kali dikembangkan melalaui gerakan pengembangan teknologi pendidikan
seperti bidang kajian pengembangan teknologi pendidikan di Amerika Serikat yang
dipelopori oleh James D.Finn (1915-1969), seorang Guru Besar Tetap dalam bidang
pendidikan di University of Southern California (USC) dan Guru Besar Tamu di Michigan State dan
Syracuse University.James D.Finn kemudian dikenal sebagai “Bapak” teknologi pendidikan.
Karyanya sejak tahun 1949 hingga 1969 dihimpun oleh Ronald J. McBeath dalam
buku extending Education Through
Technology (Miarso, 2011:134).
Menurut James D.Finn
awal perkembangan teknologi pendidikan terjadi pada tahun 1920-an. Pada saat
itu istilah teknologi pendidikan belum digunakan, namun kajiannya saat itu
berhubungan dengan pengajaran visual yaitu kegiatan mengajar dengan menggunakan
alat bantu visual yang terdiri dari gambar, model, objek atau alat-alat yang
dipakai untuk menyajikan pengalaman konkret melalui visualisasi siswa.
Setelah itu, sekitar
tahun 1950-an aliran pengajaran visual mulai diperluas dengan menambahkan
suara, sehingga berkembang menjadi pengajaran audiovisual yang merujuk pada
beberapa macam pernagkat keras yang dipakai guru untuk menyampaikan gagasan dan
pengalaman. Konsep aliran pengajaran visual ini berpengaruh pula di Indonesia
yang dibuktikan dengan diselenggarakannya school
broadcasting yang diketuai oleh Sadarjoen Siswomartojo di Jakarta, Bandung,
Bogor, dan Cirebon.Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi dalam
pengajaran pun mengalami perkembangansetelah adanya pengaruh dariEdgar Dale
pada tahun 1954 yang mengarahkan konsep teknologi pembelajaran kedalam cone
of experince (kerucut pengalaman).
Pada akhir Perang Dunia
II, teknologi dalam pengajaran mengalami perkembangan konsep audiovisual yang
berdasarkan teori komunikasi dan konsep sistem awal maksudnya adalah perkembangan
teknologi dalam pengajaran tidak lagi dipusatkan kepada benda-benda, melainkan
kepada seluruh proses komunikasi informasi mulai dari sumber benda (dari guru
hingga maupun bahan) sampai ke penerima atau sasaran (orang yang belajar)(Miarso,
2011:135).
Kemudian
pada tahun 1960 mulai dilaksanakan
pengembangan definisi teknologi dalam pengajaran. Pengembangan definisi
pertama dilakukan oleh the Technological Development Projet dari The National
Education Association yang diketuai oleh Prof. Dr. Donald P. Ely. Definisi
pertama dalam pengajaran masih menggunkan istilah komunikasi audiovisual disahkan pada tahun 1963 yang. Dalam definisi
tersebut dijelaskan komunikasi audiovisual ialah cabang teori dan praktek pendidikan,
khususnya yang berkepentingan dengan rancangan dan pemanfaatan pesan yang
mengendalikan proses belajar. Kegiatan yang terkandung dalam konsep komunikasi
audiovisual terdiri dari perencanaan, produksi, seleksi, pengelolaan dengan
tujuan untuk efisiensi pemanfaatan setiap metode dan media komunikasi bagi pengembangan potensi orang yang belajar
(Seels, 1994:17)
Dalam
perkembangan teknologi pendidikan sangat dipengaruhi oleh keberadaan
Association for Educational Communication and Technology (AECT).Menurut Reiser
dalam Prawiradilaga (2012:26), AECT sebelumnya dikenal dengan sebagai
Departement of Audiovisual Instruction. Sebelum diubah menjadi AECT,
Departement of Audiovisual Instruction menyatakan bahwa pesan atau materi ajar
yang disampaikan dikelas harus dirancang terlebih dahulu kemudian
dimanfaatkan dengan tepat dalam proses
belajar.
Selanjutnya
definisi komunikasi audiovisual
mengalami lagi perkembangan dengan menggunakan acuan pendekatan sistem
dan pengembangan instruksional. Definisi ini dirumuskan oleh the Commission on
Instructional Technology yang dipimpin oleh Sidney Tickton pada tahun 1970.
Namun, dalam perkembanganya definisi ini banyak mendapat kritikan karena
dianggap belum lengkap sebagai kajian teknologi dalam pengajaran sebabdefinisi
ini menyebutkan teknologi instruksional adalah suatu cara yang sistematik untuk
merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi keseluruhan peoses belajar mengajar
dalam rangka mencapai tujuan khusu komunikasi dan belajar pada mnausia serta
mempergunakan kombinasi sumber belajar insani dan non insani, agar terjadi
pembelajaran yang efektif.
Sebagai
upaya menindaklanjuti kritikan tersebut, maka Komisi Definisi dan Terminologi
AECT mengeluarkan definisi baru yang ketiga pada tahun 1972. Definisi ini mulai
menggunakan istilah teknologi pendidikan sebagai suatu bidang yang
berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia, melalui usaha
sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasian, dan pemanfaatan
berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas keseluruhan proses
tersebut. AECT menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah bidang garapan atau
suatu profesi berkaitan dengan penyenggaraan
yang sistematis dari suatu proses belajar, pada jenjang apa pun juga.
Definisi ini mengalami kemajuan yang terkait dengan teknologi pendidikan. Wujud
kemajuan tersebut terdiri dari adanya konsep mengenai (1) teknologi pendidikan
tidak hanya terkait dengan merancang, memanfaatkan pesan untuk mengendalikan
proses belajar; (2) teknologi pendidikan sudah menjadi bidang garapan atau
suatu profesi terkait dengan penyelenggaraan pendidikan; (3) pengelolaan proses belajar dapat dilaksanakan dengan baik
karena adanya pemanfaatan sumber belajar.
Dalam rangka
meningkatkan peranan teknologi pendidikan dan memperbaiki segala kekurangan
yang telah ada sebelumnya mengenai konseptual teknologi pendidikan, maka pada
tahun 1975 AECT membentuk Komisi Definisi dan Terminologi yang dipimpin oleh
Dr. Kenneth H.Silber yang kemudian
menghasilkan definisi keempat pada tahun 1977. Hasil kajian berdasarkan
definisi ke empat ini menunjukkan bahwa teknologi pendidikan bukan hanya
sebagai bidang garapan saja, namun juga sebagai suatu ilmu. Teknologi
pendidikan menunjukkan kerangka yang luas tentang terkait kebijakan sedangkan
teknologi pembelajarn berkaitan langsung
dengan proses belajar.
Namun, definisi
teknologi ini mendapat kritikan yang berawal dari adanya kelemahan karena tidak
adanya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan proses kompleks dan terpadu
dalam definisi teknologi pendidikan dan tidak adanya ketentuan bahwa semua
komponen harus dikelola dan diawasi agar sistem itu beroperasi secara efektif
dan efisisen.Keadaan ini mempersulit pengakuan dan komunikasi degan bidang
kajian atau disiplin keilmuan lain (Miarso, 2011:142).Walaupun mendapatkankritikan
namun, teknologi pendidikan terus mengalami perkembangan.Keadaan seperti ini
ditandai dengan munculnya berbagai pendidikan keaahlian termasuk salah satunya yang
terdapat di Indonesia. Seperti yang terjadi pada tahun 1976 di Indonesia
didirkan pendidikan keahlian teknologi pendidikan pada jenjang S1 dan kemudian
didirikan jenjang S2 dan S3 pada tahun 1978 dengan mendatangkan dosen dari
Amerika Serikat melalui bantuan teknis dari USAID.
Pada tahun 1990, AECT
membentuk suatu Komisi dan Terminologi yang dipimpin oleh Barbara B.Seels. Tiga
tahun kemudian, komisi ini berhasil merumuskan
definisi dan terminologi baru yang
merupakan definisi ke empat. Laporan komisi ini diterbitkan dalam buku Instruksional Technology: The Definition and
Domains of the Field. Setelah itu pada tahun 1994, definisi ini kembali
mengalami pembaharuan yang menyatakan teknologi pembelajaran adalah teori dan
praktik dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta penilaian
proses dan sumber untu belajar. Adapun komponen dalam definisi ini adalah (1)
teori dan praktik; (2) kawasan desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan,
dan penilaian; (3) proses dan sumber; (4) untuk keperlun belajar.
Berbagai
upaya dilaksanakan guna menghasilkan rumusan yang ideal bagi teknologi
pendidikan dengan tetap memegang pada konsep perkembangan kemajuan teknologi
bagi pendidikan, maka pada tahun 2004, AECT kembali mengungkapkan definisi
teknologi pendidikan. Secara ringkas
definisi 2004 mengandung keistimewaan sebagai berikut: (1) belajar dan
kinerja istilah ini merujuk pada upaya peningkatan mutu kemampuan seseorang (human development) melalui jalur
pendiidkan formal; (2) proses teknologi dan sumber (technological process and resources); mengindahkan etika dan
estetika (Prawiradilaga, 2012:32).
Berdasarkan
perkembangan pengaruh penerapan konsep teknologi pendidikan tersebut terhadap
proses belajar yang berlandaskan teknologi pendidikan maka, teknologi
pendidikan berperan dalam memfasilitasi segala sumber belajar agar proses
belajar berlangsung lancar dan sebagai penerapan konsep teknologi kinerja yang
bermanfaat bagi berbagai karakter organisasi. Definisi teknologi pendidikan
tahun 2004, mengembalikan rumusan teknologi pendidikan bukan terbatas pada teknologi
pembelajaran.Namun, termasuk didalamnya pembelajaran itu sendiri merupakan
bagian dari rumusan teknlogi pendidikan. Adapun mengenai sumber belajar disebut
sebagai media yang digunakan untuk mendukung proses belajar mulai dari media
yang sederhana sampai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (ICT).
Dengan demikian proses belajar dapat dilakukan tidak hanya untuk bertatap muka
saja di kelas konvensional melainkan melalui model belajar onlie learning.
2(b). Landasan falsafah
teknologi pendidikan
Menurut
Miarso (2011:102), yang dimaksd dengan falsafahadalah rangkaian pernyataan yang didasarkan pada
keyakinan, konsepsi, dan sikap seseorang yang menunjukkan arah atau tujuan yang
diambilnya.Berdasarkan tinjauan dari falsafah ilmu, setiap pengetahuan
mempunyai tiga komponen yang terdiri dari ontologi (apa), epistemologi
(bagaimana), dan aksiologi (untuk apa). Ketiga komponen tersebut adalah : (1) ontologi
(apa). Merupakan asas dalam menetapkan ruang lingkup ujud yang menjadi objek
penelaahan, serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek tersebut,
(2) Epistemologi (bagaimana). Merupakan asas mengenai cara bagaiman
materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan, dan
(3) Aksiologi (untuk apa). Merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang
telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Dengan ketiga komponen tersebut di atas, maka akan
terdapatlah rumusan yang dapat menjawabnya. Rumusan tersebut menurut Sir Eric
Ashby (dalam, Miarso, 2004: 104), tergambar dalam revolusi-revolusi sebagai
berikut:
1. Revolusi Pertama. Terjadi pada saat orang tua atau
keluarga menyerahkan sebagian tanggung-jawab pendidikannya kepada orang lain
yang secara khusus diberikan tanggung-jawab untuk itu. Revolusi ini tidak
diketahui dengan pasti awal terjadinya. Misalnya seperti yang dikemukakan oleh
Seattler melalui menelusuri secara historic perkembangan revolusi, menurutnya
kaum Sufi pada sekitar 500 SM menjadikan dirinya sebagai “penjual ilmu
pengetahuan”, yaitu memberikan pelajaran kepada siapa saja yang bersedia
memberikannya upah atau imbalan.
2. Revolusi Kedua. Terjadi pada saat guru sebagai
orang dilimpahkan tanggung-jawab untuk mendidik. Pengajarn saat itu diberikan
secara verbal/lisan, dan sementara itu kegiatan pendidikan dilembagakan dengan
berbagai ketentuan yang dibakukan. Revolusi kedua ini jugatidak diketahui
permulaannya, namun dapat diterima bahwa hal itu telah dan bahkan masih
terjadi.
3. Revolusi Ketiga. Muncul dengan ditemukannya mesin
cetak, yaitu memungkinkan tersebarnya informasi iconic dan numeric
dalam bentuk buku atau media cetak lain. Dalam sejarahnya revolusi ketiga ini
meskipun dalam literatur Barat banyak menganggap bahwa Gutenberg adalah orang
yangmenemukaan mesin cetak, namun jauh sebelumnya teknik pencetakan telah
berkembang lebih dulu di Cina. Selain itu, pada revolusi ketiga dan hingga kini
buku dianggap sebagai media utama disamping guru untuk keperluan pendidikan. Revolusi
ini masih berlangsung, bahkan sedang digalakkan. Bahkan beberapa pandangan
falsafati berpendapat bahwa masyarakat belajar adalah masyarakat membaca.
4. Revolusi Keempat. Pada revolusi ini berlangsung
dengan perkembangan yang pesat dibidang elektronik. Yang paling menonjol adalah
media komunikasi (radio, televisi, tape, dan lain-lainnya). Perkembangan media
komunikasi telah mampu menembus bata geografis, social, dan politis secara
lebih luas dan cepat dibandingkan media cetak. Dengan pesatnya perkembangan
elektronik, maka, falsafah pendidikan mulai difokuskan pada mengajar anak didik
tentang bagaimana belajar. Ajaran selanjutanya akan diperoleh di pembelajar
sepanjang usia hidupnya melalui sumber dan saluran melalui pemanfaatan media
pendidikan yang lebih cepat, lebih bervariasi, serta berpotensi untuk lebih
berdaya guna.
2(c). Kawasan dan
bidang garapan teknologi pendidikan
Kawasan teknologi pendidikan merupakan suatu realisasi
dari definisi dari bidang teknologi pendidikan. Kawasan mewujudkan apa yang
dapat dilakukan oleh suatu disiplin ilmu agar disiplin tersebut mampu
memberikan sumbangan langsung dalam bentuk rumusan prakti yang dapat dilakukan
oleh para praktisi. Dengan demikian, kawasan memberi penjelsan bagi para
professional dan praktisi mengenai apa yang harus atau boleh dilakukan atau apa
yan menjadi batasan perilaku dan ruang lingkup pekerjaan dan layanan yang harus
diselesaikan.
Kawasan
dan bidang garapan teknologi pendidikan berdasarkan rumusan AECT
Kawasan
dan bidang garapan teknologi pendidikan berdasarkan kawasan teknologi
pendidikan AECT 1977 adalah rumusan kawasan menyangkut penyelenggaraan seluruh
aspek belajar manusia termasuk di dalam dan di luar sistem persekolahan.Kawasan
manajeman kependidikan mengelola dan mengatur seluruh fungsi yang ada didalam
kawasan pengembangan serta memanfaatkan sumber belajar. Tinjauan kawasan
teknologi pendidikan menekankan peran seluruh sumber belajar dalam rentang yang
luas, sebab sumber belajar bukan hanya yang tersedia di kelas atau sekolah,
akan tetapi sumber belajar juga mencakup lokasi khusus yang tersedia di
masyarakat seerti museum atau observatorium.
Adapun
kawasan teknologi pendidikan berdasarkan rumusan AECT 1994 sangat berhungungan
dengan kerangka teori dan praktik; proses dan sumber; dan belajar. Kawasan teknologi pendidikan
berdasarkan rumusan AECT 1994 mencakup: (1) Kawasan Desain Kawasan desain
merupakan proses untuk menetukan kondisi belajar, meliputi desain sistem
pembelajaran, desain pesan, strategi pembelajaran, karakteristik pesaerta didik
dan lain-lainya; (2) kawasan pengembangan merupakan proses penerjemahan
spesifikasi desain dalam bentuk fisik. Mencakup banyak variasi teknologi
seperti teknologi cetak, teknologi audiovisual, teknologi berbasis computer dan
teknologi terpadu yang merupakan perpaduan dari berbagai jenis media yang
dikendalikan oleh computer;(3) kawasan pemanfaatan merupakan aktivitas menggunakan
proses dan sumber untuk belajar. Meliputi pemanfaatan media, difusi inovasi,
implementasi dan institusional, kebijakan dan regulasi;(4) kawasan pengelolaan merupakan
kawasan pengelolan teknologi pendidikan melalui tahapan perencanaan,
pengorganisasian, pengoordinasian, dan supervisi; dan (5) kawasan penilaian
merupakan proses penentuan memadai tidaknya pembelajaran dengan mengkaji serta memperbaiki suatu produk atau program
yang didasarkan pada masukan atau informasi yang diterima.
Sedangkan
kawasan berdasarkan rumusan AECT 2004, kawasan teknologi pendidikan meliputi
(1) learning (belajar), dalam kawasan
teknologi pendidikan belajar melingkupi kerja dan karya para teknolog
pendidikan dan pembelajaran; (2) performance
(kinerja), makna kinerja dalam teknologi pendidikan ialah menciptakan
lingkungan atau perangkat kerja serta gagasan bagi peserta didik, guru,atau
desainer untuk berkarya atau membuktikan jenjang kemampuan penguasaan
pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar.
Kawasan
dan bidang garapan teknologi pendidikan menurut Raiser dan Dempsey
Menurut
Raiser dan Demspsey rumusan teknologi pendididikan meliputi (1) kawasan
teknologi pembelajaran, sebab kemajuan teknologi serta inovasi akan berdampak
langsung terhadap kawasan pembelajaran selain itu dalam teknologi pendidikan
terdapat gerakan teknologi kinerja yang muncul karena para praktisi memiliki
latar belakang keilmuan teknologi pembelajaran dalam menghadapi masalah kinerja;
(2) kawasan desain pembelajaran, salah satu prinsip yang mempengaruhi desain
pembelajaran adalah prinsip ADDIE (analysis,
desin, development, implementation, and evaluation).
Kawasan
dan bidang garapan teknologi pendidikan menurut Davies
Davies
merumuskan tiga pendekatansehubungan dengan bidang garapan atau kawasan
teknologi pendidikan. Rumusan tersebut meliputi: (1) pendekatan perangkat keras
(hardware)dengan maksud agar terjadi
proses otomatisasi atau proses mekanistik dalam kegiatan belajar mengajar.
Dengan pemanfaatan perangkat keras dapat
menyebarkan materi belajar, mereproduksi materi, efisiensi proses belajar serta efektivitas pembiyaan;
(2) Pendekatan perangkat lunak(software),
pendekatan ini membahas cara memperbaiki, memperbarui, atau merancang
situasi yang betul-betul dibutuhkan oleh siswa; (3) pendekatan perpaduan perangkat
keras dan perangkat lunak merupakan pendekatan
perpadua yang menerapkan konsep sistem analisis dalam kegiatan
pendidikan dan kegiatan instruksional.
3. Tiga macam judul
penelitian yang berkaitan dengan teknologi pendidikan
1. Pengembangan
E-Modul pada Mata Pelajaran Sejarah di SMA Negeri 1 Sungai Pinang Tahun
2012/2013
2. Pengembangan
bahan ajar dengan menggunakan program macromedia flash pada mata pelajaran sejarah
di SMA Negeri 1 Kandis Tahun 2010/2011
3. Pengembangan media video pembelajaran dengan
program ulead studio 8 pada mata pelajaran sejarah di SMA Negeri 1 Rambang
Kuang Tahun 2011/2012
4(a).
Artikel mengenai landasan kebijakan pendidikan
Eksplorasi
Landasan Pemikiran dan Kebijakan Pendidikan:
(Sebuah
Tinjauan dari Perspektif Pemikir Mikro).
Oleh
: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si
(Widyaiswara
Madya BDK Surabaya)
Dalam rangka membangun landasan pemikiran dan
menyusun kebijakan pendidikan, para pengambil kebijakan maupun para praktisi
pendidikan dapat mencari inspirasi dari berbagai teori sosial.Harus dicatat
bahwa teori sosial begitu beragam.Sekurang-kurangnya ada perspektif teori yang
mendasarkan pada asumsi dan pendekatan makro dengan melihat aspek struktur,
institusi, organisasi, masyarakat atau populasi tertentu. Di sisi lain, d alam
teori sosial dikenal beberapa pemikir yang lebih suka memperhatikan aspek
mikro, daripada aspek makro. Aspek mikro yang dimaksud adalah dunia kesadaran
individu.Apa yang dirasakan, dialami, difikirkan, diharapkan, dicita-citakan
individu menjadi titik tolak memahami tindakan seseorang membangun dan menjalin
realitas kehidupannya.
Pemikiran mikro ini menghantarkan kita untuk
memahami dunia orang per orang.Karena harus memahami dunia individual maka
kajiannya menjadi berwatak subyektif dan bukan obyektif. Justru dunia obyektif
hanya bisa difahami jika dikenali dunia kesadaran individu terlebih dahulu ,
karena menurut pemikir mikro, dunia obyektif adalah produk dari kesadaran
subyektif individu. Istilah “ganti Menteri ganti kebijakan,” memperkuat argumen
para pemikir mikro, bahwa sebuah kebijakan yang
diikuti
secara kolektif adalah hasil dari mind set, stock of knowledge, arus
pengalaman (stream of experience) dan kesadaran individu. Oleh karena
itu, tidak bisa lain, termasuk dunia pendidikan dalam mengemas berbagai
kebijakan , mengembangkan kurikulum, merancang strategi pembelajaran,
menetapkan model evaluasi, mengembangkan capacity building pendidik dan
tenaga kependidikan, selain harus menaruh perhatian terhadap aspek
mikro-subyektif ini.
Para pemikir yang mengembangkan tradisi mikro ini
antara lain dapat disebutkan nama-nama seperti Max Weber, Herbert Blumer,
Edmund Husserl dan Alfred Schutz yang dikenal sebagai pencetus lahirnya
perspektif fenomenologi. Pemikiran-pemikiran mikro mereka, dikemudian hari
memberikan inspirasi langsung maupun tidak langsung dalam mengembangkan prinsip
-prinsip dan kebijakan pendidikan.
Salah satu pemikir terkemuka yang mencermati dunia mikro
ini adalah MaxWeber.Memang Weber tidak banyak langsung berbicara tentang
pendidikan. Namun,Weber memberi sumbangan yang cukup berarti terhadap sosiologi
pendidikan, terutama dalam memberi inspirasi untuk melihat pendidikan tidak
dari aspek struktural, institusi, atau sistem, melainkan dari sudut pemahaman
dan pemaknaan individu tentang pendidikan. Dalam hal ini memang Weber tidak
mengajak untuk menghabiskan energy dalam membahas aspek mikro indiv idual,
melainkan tetap mengingatkan untuk memberi perhatian yang seksama terhadap
aspek struktural makro.Itulah sebabnya, Weber masih mengenalkan juga kajian
yang bersifat lintas budaya (cross-culture) yang lebih bersifat makro,
dengan membandingkan sejumlah praktek pendidikan di beberapa negara, juga
pendidikan di masa lalu dengan pendidikan di era yang lebih modern.
Teori yang ditawarkan Weber tentang organisasi
birokrasi rasional juga menginspirasi bagaimana dunia pendidikan seharusnya
mengorganisir diri. Salah satu proposisi dalam birokrasi yang ia tawarkan
adalah bahwa birokrasi modern ditandai dengan kepemimpinan yang didasarkan
kepada legitimasi legal -rasional. Pemimpin harus dipilih berdasarkan
kualifikasi tertentu, dan pilihan diberikan kepada me reka yang memiliki
kualifikasi terbaik untuk menduduki jabatan itu.Mereka yang menjadi pemimpin
tidak didasarkan pada keahlian dan kompetensi, melainkan didasarkan kepada
sumber legitimasi tradisional dan kharismatik, tidak dianjurkan untuk dipilih
memimpin insitusi, khususnya institusi pendidikan.
Pendidikan di mata Weber memiliki posisi khusus
dalam kaitan dengan birokrasi
dan
konsep hubungan kelompok status. Pendidikan di sekolah menurut dia harus
mengajarkan “budaya status” tertentu. Hubungan kekuasa an dan konflik
kepentingan
individu
dan kelompok selalu muncul di masyarakat, dan hal ini mempengaruhi kondisi
yang
terjadi di sekolah. Pada umumnya yang terjadi kemudian adalah kelompok budaya
dominan
juga yang membentuk bu daya yang berlaku di sekolah. Apa yang dipikirkan,
dipilih, disukai siswa di sekolah misalnya tentang musik, pakaian, pilihan merk
dan gaya hidup (life style) lainnya merujuk kepada gaya hidup kelompok
dominan. Sekolah acapkali tidak mampu menempatkan diri sebagai alternatif dari
pembent ukan model budaya atau lebih tepatnya gaya hidup siswanya sendiri.
Sampai di sini, pemikiran Weber bertemu dengan Marx,
oleh karena Marx juga berfikiran hal yang sama, bahwa klas dominan, klas yang
menguasai ekonomi dan politik selalu berada dalam posisi konflik dan
mendominasi mereka yang tidak menguasai ekonomi politik. Weber memang juga
dikenal sebagai perintis teori konflik, namun dalam perkembangannya teori
konflik Weber tidak mendasarkan kepada aspek ekonomi seperti yang dilakukan
oleh Marx dengan di alektika materialistiknya.Tidak seperti Marx, Weber memilih
jalan keluar yang lebih bersifat kultural daripada revolusi atau resistensi
seperti yang digagas Marx.
Max Weber pernah menulis The Rationalization of
Education and Training,yang di dalamnya ia menyatakan bahwa pendidikan yang
rasional melahirkan type“manusia spesialis” (specialist type of man) berbeda
dengan type “manusia terlatih”(cultivated type of man) seperti yang ia
lukiskan tentang sistem pendidikan di Chinapada masa awal pertumbuhan negeri
itu. Pembahasan yang ia lakukan hingga hari inimemiliki relevansi kuat terutama
tentang institusi pendidikan tinggi. Weber dalam halini memperdebatkan nilai
pendidikan yang berorientasi vocational yang melahirkancultivated type of
man dengan pendidikan yang menghasilkan manusia berkualitas danberkeahlian
tinggi yang melahirkan specialist type of man. Birokrasi yang rasional
yangia tawarkan, membutuhkan manusia -manusia yang ekspert dan terspesialisasi.
Olehkarena itu perkembangan birokrasi mode rn membutuhkan uluran tangan duniapendidikan
untuk melahirkan specialist type of man --tipe manusia ekspert (Gerth,
H.and C. Wright Mills, 1948).
Di masyarakat pra industri , pendidikan menjadi
faktor penting , dalam hal inidiperlukan untuk menyiapkan agen perubahan.
Agen-agen perubahan yang terdidik itu menduduki posisi penting dalam mendorong
pertumbuhan masyarakat. Sementara itu di
masyarakat
industri, pendidikan memperoleh pressure dari klas menengah yang bekerja
keras
menghadapi persaingan merebut posisi dalam sistem ekonomi yang terus berubah.
Dengan
demikian posisi pendi dikan semakin penting dalam mempersiapkan manusiamanusia yang
menginginkan keberhasilan dalam memasuki persaingan merebut peran - peran
menentukan di masyarakat.
Di mata Weber ada dua type manusia yang ada
di sekolah. Pertama, adalahmereka yang disebut dengan “insider” yaitu
mereka yang memiliki status budaya yang diperoleh dari tata nilai dan berbagai
proses pengalaman di sekolah itu sendiri. Kedua, adalah mereka yang disebut
dengan “outsider” yakni mereka yang memiliki banyak kendala untuk bisa
menjadi manusia berhasil di sekolah.
Selain Max Weber, ada pemikiran lain yang mencoba
menghubungkan antaraindividu dan struktur ini. Pemikiran yang didasari oleh filsafat
aliran Fenomenologi ini di latarbelakangi oleh pemikiran Edmund Husserl dan Alfred
Schutz. Menurut Husserl, pengetahuan ilmiah terutama yang dibangun para penganut
perspektif positivism sebenarnya telah memisahkan ilmu dari pengalaman sehari-hari.
Pengetahuan ilmiah terpisah dari kegiatan-kegiatan di mana pengalaman dan
pengetahuan berakar. Menjadi
tugas
fenomenologi untuk memulihkan hubungan tersebut. Fenomenologi sebagai suatu
bentuk
dari idealisme yang semata -mata tertarik pada cara-cara bekerjanya kesadaran
manusia
serta dasar-dasarnya. Dunia yang kita diami menurut perspektif ini diciptakan
oleh
kesadaran-kesadaran yang ada di kepala kita masing -masing, namun tidak berarti
dunia
yang eksternal itu tidak ada. Dunia eksternal itu ada, dan hanya dapat
dimengerti
melalui
kesadaran kita tentang dunia itu (lihat Craib, 1992, hal. 126 -127).
Proses bagaimana manusia membangun dunianya
dijelaskan oleh Alfred Schutz,
murid
dari Edmund Husserl, melalui proses pemaknaan. Proses pemaknaan itu berawaldari
arus pengalaman (stream of experience) yang berkesinambungan yang
dimilikin individu. Arus utama dari pengalaman inderawi ini sebenarnya tidak
punya arti -mereka hanya ada begitu sa ja; obyek-obyeklah yang bermakna -mereka
memiliki kegunaan-kegunaan, nama-nama, bagian-bagian yang berbeda dan mereka
memberi
anda
tertentu. Pengidentifikasian dari dunia pengalaman inderawi yang bermakna
inilah
yang
terjadi dalam kesadaran individu secar a terpisah dan kemudian berkembang
secara
kolektif
(lihat Craib, 1992, hal. 128 -130).
Schutz menganggap cara berpikir Weber sudah benar,
akan tetapi ada beberapaaspek yang problematik, yakni konsepnya tentang tindakan
sebagai sebuah perilaku yanginibermakna secara subyektif yang masih memerlukan
penjelasan lebih jauh. Pertama, ia mempersoalkan ide Weber yang menyatakan
bahwa makna tindakan adalah identik dengan motive tindakan. Dalam hal
ini semua tindakan memiliki makna, jadi bukan hanya tindakan yang rasio nal
saja, melainkan semua tindakan. Lebih dari itu makna tindakan orang lain dalam
pengertian motive tidak bisa kita peroleh. Pemikiran inilah yang membawa Suchtz
untuk mengkoreksi konsep Weber tentang Verstehen.Dalam erklarendes
Verstehen (penjelasan mengenai pemahaman) seorang sosiolog harus
mengandaikan motive aktor ke dalam kompleksitas makna yang tipikal sebagai
dasar yang cukup memadai untuk bertindak. Menurut Schutz, tidak ada makna yang
bersifat aktual dalam kehidupan.
Dari pemikiran seperti tergambar di muka lalu muncul
tradisi InteraksionismeSimbolik.Tradisi ini, menurut salah satu pelopornya,
Herbert Blumer (1969:2), bertumpu pada tiga premis utama, yaitu (1) manusia bertindak
terhadap sesuatu atas dasar makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.Sesuatu
yang dimaksud di sini bermakna obyek fisik, orang lain, institusi sosial dan
ide atau nilai -nilai yang bersifat abstrak. (2) Makna tersebut berasal dan
hasil interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan (3) Makna-makna
tersebut disempurna-kan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran di saat
proses interaksi sosial berlangsung.
Implikasi dari ketiga premis terse but, maka
tindakan manusia bukan disebabkan
oleh
“kekuatan luar.” Jadi katakanlah siswa belajar, bukan hasil dari tekanan ada
ujian,
guru
atau orang tua sebagai bentuk “kekuatan dari luar” tetapi juga bukan lantaran “kekuatan
dalam” sebagaimana yang diperc aya oleh kalangan reduksionis psikologis. Individu atau aktor dalam hal ini yang benar
adalah membentuk obyek -obyek. Individu
senantiasa
dalam keadaan merancang obyek -obyek yang berbeda, memberinya arti, menilai
kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian
tersebut.
Dalam pandangan Blumer, tindakan seseorang, seorang
siswa didik belajar, bukan karena desakan “kekuatan luar” misalnya paksaan atau
orang tua. Namun Blumer tidak begitu saja menyatakan bahwa ak tifitas siswa belajar
bukan sepenuhnya dorongan “kekuatan dari dalam” dirinya. Seorang siswa melakukan
tindakan belajar sebagai hasil dari upaya merancang tindakan dengan senantiasa
memperhatikan apa yang terjadi di luar dirinya lalu memadukan dengansuara yang
muncul dari dalam dirinya.
Oleh siapa pemaknaan dan kemudian menjelma menjadi
tindakan seseorang adalah hasil darim’ proses self indication seseorang
itu sendiri. Self indication itu dilakukan dalam prosesinteraksi dengan
orang lain. Dalam proses itu individu senantiasa berupaya mengantisipasi
tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan
tindakan orang lain (lihat Morrione, 2004).
Para praktisi pendidikan yang mengikuti perspektif
ini dalam menjalankan tugasnya harus membangun interaksi dengan caramemahami
siswa sebagai individuaktif yang memiliki kesadaran, selalu merancang tindaka
nnya dan selalu melakukan refleksi. Siswa tidak bisa diposisikann sebagai sosok
individu yang pasive, dan tidak memiliki kesadaran apa-apa menghadapi
lingkungan di sekitarnya.Sebaliknya siswa selalu melakukan refleksi dan self-indication
terhadap realitas yang ada di sekitarnya.
Mereka fahami dan melakukan internalisasi terhadap
apa yang terjadi di sekitarnya, berdasarkan pengalaman, pengharapan, berbagai
sentimen dan rasionalitas yang dimilikinya. Siswa berinteraksi dengan teman,
guru, orang tua dan siapapun, bersikap di kelas, termasuk ketika belajar
mendasarkan pada pengalaman budaya mereka.Masalahnya seperti dikatakan oleh
Mead dan Cooley, setiap individu memiliki berbagai pengalaman budaya. Mereka
gunakan pengalaman itu, juga pengharapan, sentimen dan rasionalitas
yang
dimilikinya tersebut guna menafsirkan dan mendefinisikan berbagai situasi
sosial.
Oleh
karena itu bisa jadi norma-norma bersama menjadi dasar dan pedoman tindakan.
Namun
di lain pihak perbedaan juga terjadi, karena pengalaman budaya, status sosial
dan
klas sosial individu satu sama lain tidak sama.
Atas dasar asumsi tersebut maka jika guru dan para praktisi
pendidikan inginmembangun interaksi yang efektif dengan siswanya, harus memberi
perhatian kepada cara siswanya menjalin self indication terhadap dunia
di sekitarnya . Dengan carademikian pendidikan akan mengembangkan siswa didik
sebagai subyek, karena ketika siswa didik melakukan self-indication pada
hakekatnya mereka membangun stimulus dari dalam diri sendiri. Blumer
menegaskan: “in the process of self-indication, individuals point out
certain stimuli to themselves and then interpret the appearance of
the
stimuli to themselves” (Wallace & Wolf, 1995:199).
Dalam pemikiran penganut perspektif interaksionis
simbolik pemahaman perilakumanusia harus dilakukan dengan cara memahami kondisi
subyektif masing –masing individu dalam menghadapi realitas kehidupan di sekitarnya.
Oleh karena itu, para pendidikan harus bisa membaca kondisi subyektif
individu.Misalnya, ketika seorang guru melihat prestasi siswanya merosot.
Masing-masing siswa memiliki kondisi
penyebab
yang berbeda satu sama lain. Guru tidak bisa mengambil kesimpulan yang sama,
karena arus pengalaman (stream of experience) dan kondisi subyektif
masing-masing siswa berbeda.
Memang di mata para penganut interaksi simbolik
-kenyataan eksternal, sepertiberbagai perlakuan yang diberikan guru terhadap
siswa, di lihat sebagai faktor yang memberi pengaruh dan stimulus bagi
individu. Namun, semua faktor eksternal dan stimulus dari guru sebagai bagian
dari dunia obyektif yang dihadapi siswa itu tetap diberi makna oleh individu
siswa, dan masing-masing individu siswa memiliki caramemberi makna sesuai
pengalaman (stream of experience) mereka. Landasan kebijakan Pendidikan
KonstruksionisPemikiran yang mengedepankan perspektif mikro tersebut lalu
melahirkan kebijakan pendidikan yang menggunakan paradigma konstruktivistik.
Paradigma ini memandang kebijakan pendidikan harus dimulai da ri beberapa
asumsi:
1.
Dimulai dari Makna dan Self-Concept
Pendidikan dalam arti proses maupun produk harus
dikelola berangkat dari makna, self-indication dan self-concept yang
dibangun oleh siswa, guru, staff maupun pemangku kepentingan yang terkait
dengan pendidikan. Asumsinya adalah bahwa kehidupan sehari-hari yang ada di
sekolah maupun di masyarakat, merupakan konstruk individu yang berada di
dalamnya. Konstruk atau cara individu mempersepsikan, memaknai dan
mendefinisikan kehidupan sehari -hari itulah yang akan menentukan format
kehidupan nyata.
Proses pendidikan hanya akan dapat difahami dengan
cara menelusuri duniasubyektif, dunia makna dan self concept individu
yang berada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Dengan demikian dunia subyektif
guru, kepala sekolah, staf, siswa, orang tua, dewan pendidikan dan praktisi
pendidikan lainnya diyakini sebagai sumber yang penting untuk bisa memahami dan
menganalisis kelangsungan pendidikan.
Bagaimana individu
yang bergerak dalam dunia pendidikan itu memahami, mengkonstruk,memaknai dan
mengkonsepsi realitas di sekitarnya itulah yang harus dikaji, dan bukan faktor
struktural yang berada di luar individu. Konsep siswa tentang apa saja yang terjadi
dalam proses pendidikan yang diikutinya, merupakan hasil pemaknaan dia terhadap
dunia pendidikan, terha dap guru, apa yang terjadi di kelas, kebijakan yang diterapkan
oleh institusi sekolah, pemerintah, dewan pendidikan dan lain -lain di mana ia
melakukan interaksi.
Salah satu contoh bisa dilihat ketika individu
memahami sistem evaluasi pendidikan yang mengutamakan test kognitif seperti
ujian nasional. Kita bias menemukan berbagai cara yang beragam dalam memaknai
masalah ini. Ada individu yang mengartikan bahwa tes kognitif adalah sangat penting,
karena dengan cara yang paling praktis dan efisien untuk menguk ur tingkat kecerdasan
siswa dalam jumlah yang banyak. Siswa yang tersebar di berbagai daerah akansegera
dapat diketahui prestasi belajar mereka dengan cepat. Namun, ada pula praktisi
pendidikan yang menilai sistem tes seperti itu tidak akan mampu mengukur
seluruh kecerdasan siswa. Sistem test itu banya mengukur kecerdasan kognitif
semata. Berbeda jika metode evaluasi menggunakan model portofolio, yang
menggunakan berbagai media, alat perekam, apa
saja
yang telah dilakukan dalam proses siswa mengikuti pembe lajaran. Perbedaan
konstruk, self concept dan pemaknaan terhadap dunia para praktisi pendidikan
tersebut, bisa ditelusuri dari latar belakang masing-masing individu.
Perbedaan latar belakang mereka menentukan cara
memahami, mengkonstruk,mengkonsep dan memaknai sistem suatu kebijakan
pendidikan tertentu . Pemaknaan itu
ditentukan
oleh pengalaman-pengalaman subyektif mereka masing-masing. Pemaknaan itu
berkaitan erat dengan latar belakang gender, etnis, sosial ekonomi,
budaya dan termasuk agama.
Dalam kehidupan masyarakat begitu banyak faktor
seperti institusi sosial,ekonomi, politik, budaya dan juga agama yang terkait
dengan pendidikan. Namun kesemua itu akan sangat tergantung bagaimana indi vidu
mengkonstruk, mengkonsepsikan dan memaknainya. Dalam perspektif mikro, seperti
yang
Para
pemuda dikembangkan para teoritisi interaksi simbolik, konstruk, konsepsi dan
pemaknaan itu dilakukan dalam proses interaksi. Ketika siswa berinteraksi
dengan dunia di sekitarnya ,
Mereka secara terus menerus memonitor apa yang
terjadi , lalu ,mendefinisikan,memaknai dan merasionalisasikannya. Cara dia bertindak
dan berinteraksi dengan dunianya bukan atas dasar tekanan, stimulus atau intervensi
dari luar, melainkan lebih didasarkan pada konsepsi, pemaknaan dan tafsir yang
dia berikan terhadap d unia yang ada di sekitarnya. Jadi, konsep siswa tentang
apa saja yang terjadi dalam proses pendidikan yang diikutinya, merupakan hasil
pemaknaan dia terhadap dunia pendidikan,
terhadap
guru, apa yang terjadi di kelas, kebijakan yang diterapkan oleh institu si sekolah,
pemerintah, dewan pendidikan dan lain -lain di mana ia melakukan interaksi.
Dari
sinilah terlihat bahwa setiap individu adalah subyek yang sadar akan dunianya.
Dengan demikian, pembelajaran dalam perspektif
konstruksionis harus di lakukanberdasarkan self-concept, atau pemaknaan
yang diberikan oleh masing -masing actor yang ada di dalam proses pendidikan.
Guru yang berhasil hanyalah mereka yang berhasil memahami bangunan pengalaman, model
pengetahuan, pengharapan, bayangan-bayangan dan konsep-konsep ideal yang mereka
miliki. Tugas pendidik dan denaga kependidikan adalah memahami dan menelusuri
sub kultur, bangunan
pengalaman,
model pengetahuan, pengharapan, bayangan -bayangan dan konsep-konsep
ideal
yang mereka idealkan itu.
2.
Dibangun Melalui Hubungan Intersubyektif
Dalam perspektif konstruktivisme, pengetahuan siswa
adalah produk interaksimereka dengan dunianya.Salah satu -nya adalah hasil
interaksi dengan guru. Guru dala menjalankan interaksinya dengan siswa selalu
berangkat daru cara mereka melabeli siswanya. Label itu diberikan berdasarkan
konstruk, konsep dan pemaknaannya terhadap perilaku dan sifat -sifat siswanya.
Dengan label itu guru menentukan tindakan tertentu dalam proses pembelajaran. Namun
harus dicatat bahwa, tindakan guru dan siswa, selalu bersifat intersubyektif.
Artinya, guru maupun siswa, masing -masing saling memonitor cara –cara masing-masing
mempersepsikan situasi di ruang dan waktu mana interaksi mereka lakukan.
Dalam proses interaksi itulah masin g-masing
mendefinisikan dunianya, yang dari hasil
definisinya itu lalu masing -masing menentukan tindakannya. Menurut Anthony
Giddens, monitoring individu terhadap dunia di sekelilingnya dimulai dari self-monitoring
terhadap dunianya. Setelah melakukan moni toring, katakanlah misalnya siswa
memonitor cara guru mendefinisikan atau memberinya labelrajin, maka tahap
berikutnya siswa itu melakukan rasionalisasi. Dalam proses rasionalisasi itu dipertimbangkan
keinginan, ide, perasaan, model pengetahuan dan suasana yang dialami secara
subyektif. Keinginan subyektif itu didialogkan dengan penafsirannya terhadap
dunia sekeliling, dalam hal ini perilaku dan tindakan guru terhadap dirinya.
Hasil rasionalisasi ini lalu dijadikan sebagai dasar menentukan tindakan apa
yang akan dilakukan dalam proses interaksi dengan gurunya.
Seperti dikemukakan Vygotsky, masyarakat dianggap
sebagai sebuah realitashasil negosiasi dan definisi para aktor yang ada di
dalamnya. Para aktor itu mendefinisikan dunianya berdasarkan schemata (menggunakan
istilahnya Edmund Husserl dan Alfred Schutz) yaitu model internal berupa
pengetahuan, pengalaman dan cara individu mereaksi di masa lalu, dan selalu
diperbaiki dalam menghadapi realitas yang dihadapinya. Atau dalam istilah
Bourdeau, individu menggunakan habitus dalam melakukan tindakan. Oleh
karena itu, maka pendidikan lalu dikonsep berdasarkan pada
pendefinisian
realitas’
Dengan
demikian proses pembelajaran di sekolah atau dalaminstitusi pendidikan manapun
harus dijaga di dalamnya kelangsungan interaksi siswa dengan guru, peer
group, dan orang lain di lingkungannya, karena memang interaksi adalah
merupakan inti proses pendidikan.
Pendidikan dalam tataran makro, sekolah atau kelas dalam tataran mikro dengan demikian
merupakan sebuah arena pengembangan dan transformasi diri (self
transformation and concept).Oleh karena interaksi dan negosiasi adalah kata
kunci, maka p endekatan konstruktivistik lebih banyak mendorong para pengambil
kebijakan dalam pendidikan, para pemangku kepentingan, kepada para guru untuk
memberi kesempatan siswa belajardan melakukan aktifitas bersama. Oleh karena
itu dalam tataran proses, pendekatan
Pembelajaran cooperative learning, col laborative
learning dan peer-assisted learningmerupakan pendekatan yang
dianjurkan.Dalam pendekatan kooperatif, siswa dan gurubersama-sama
mengorganisir kegiatan pembelajaran.Pembelajaran terjadi dalam situasireciprocal.Pendekatan
reciprocal learning mengkombinasikan pembelajarankolaboratif dengan
petunjuk guru dan model belajar secara otonom. Oleh karena ituinteraksi positif
antara berbagai pemangku kepentingan, apalagi antara guru dan siswaharus
terjalin dalam satu hubungan partnership yang bai k untuk menghasilkan
pendidikan
yang efektif .
Daftar Pustaka
Blumer,
Herbert, edited by Thomas J. Morrione, George Herbert Mead and
Human
Conduct, Walnut Creek, CA: Alta Mira Press, 2004
Bourdieu,
Piere dan Jean-Claude Passeron, 1996, kutip H.A.R. Tilaar,
Mengindonesia:
Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, sebuah tinjauan dari
perspektif Ilmu
Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007
Craib,
Ian, Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons Sampai Habermas, Jakarta:
Rajawali Press, 1992,
Cuzzort,
PR and E.W King, 20th Century Social Thought, NY-Sydney, 1980.
Gerth,
H. and C. Wright Mills, From Max Weber: Essays in Sociology, London:
Routledge, 1948
Giddens,
Anthony, The Constitution of Society: Outline of the Theory of
Structuration,
East
Sussex: Polity Press, 1984.
Gumport,
Patricia, Sociology opf Higher Education: Contributions and their
contexts,
Baltimore-Maryland:
The Johns Hopkins University Press, 1973
Ross,
Daniel, “Anthony Giddens,” dalam Peter Beilharz, A Guide to Central
Thinkers: Social Theory, Australia: Alien & Unwin Pty. Ltd., 1991.
Wallace,
Ruth A. and Alison Wolf. 1999. Contemporary Sociological Theory:
Expanding the
Classical Tradition , fourth edition. Upper Saddle River, N.
J.: PrenticeHall.
4(b)
Artikel mengenai landasan Ilmiah teknologi pendidikan
Oleh:
Prof. Dr. Mustaji, M.Pd
A.
Pendahuluan
Gelar akademik dan ijazah diterima oleh seseorang sebagai
tanda telah selesainya masa pendidikan tinggi formal dalam strata tertentu.
Untuk memperoleh gelar dan ijazah menurut ketentuan dalam sistem pendidikan,
seseorang harus terlebih mengikuti serangkaian kegiatan akademik dalam bentuk
perkuliahan tatap muka, menyelesaikan tugas secara terstruktur baik secara
individual maupun kelompok, melakukan kegiatan praktikum serta
menyusun-mempertahankan dalam ujian dan dinyatakan lulus ujian skripsi (S1),
tesis (S2), dan disertasi (S3).
Pengejaran gelar akademik yang berorientasi legitimasi
simbolik dengan kedok lembaga pendidikan, menurut hemat penulis sudah cukup
lama beroperasi. Padahal dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 secara tegas
dinyatakan bahwa mereka dapat dikenai sangsi 1 milyar dan atau penjara 10 tahun
bagi perseorangan, organisasi atau penyelenggara yang memberikan ijazah dan gelar
akademik tanpa hak (pasal 67) dan jika dilakukan suatu perguruan tinggi
dinyatakan ditutup.
Sementara setiap orang yang membantu memberikan ijazah dan
gelar akademik yang tidak memenuhi persyaratan dipidana maksimal 5 tahun dan
atau denda maksimal 5 ratus juta rupiah (pasal 68:1). Sedangkan orang yang
menggunakan gelar dan ijazah yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak
memenuhi persyaratan dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda
paling banyak 5 ratus juta rupiah (pasal 68:2)
B.
Tinjauan Sosiologis
Secara sosiologis, praktek jual beli gelar dan ijazah
menunjukkan masih kuatnya dampak penjajahan dalam sistem sosial masyarakat
Indonesia. Hal ini setidaknya berkaitan dengan status sosial yang akan dimiliki
orang-orang yang bergelar tersebut, dan ekspektasi sosial yang diharapkan
mereka akan diberikan oleh masyarakat. Orang yang memiliki gelar akademik atau
lulusan perguruan tinggi biasanya secara langsung maupun tidak langsung akan
menduduki “status sosial” tertentu di masyarakat.
Dalam kamus Bahasa Indonesia (Riwayadi, 2005), status
diartikan sebagai tingkatan atau kedudukan orang dalam hubungan dengan
masyarakat di sekelilingnya. Dalam Max Waber (1978) tipikal status didasarkan
pada (1) gaya hidup, (2) pendidikan formal, (3) warisan turun-temurun atau prestize
pekerjaan. Dalam pandangan sosiologis ini terlihat bahwa status di
dalammnya inheren terdapat pengakuan atau keinginan untuk diakui oleh orang
lain atau masyarakat sehingga bisa memperoleh privileges (hak istimewa).
Bentuk-bentuk hak istimewa atau perlakuan khusus dan fasilitas kemudahan dalam
akses sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Berdasar perspektif ini bisa dipahami, mengapa sebagian
orang “silau” bahkan ambisius untuk memiliki gelar akademik, meski kadang-kadang
tidak melalui jalur pendidikan sebagaimana resminya. Orang-orang yang silau
dengan gelar ini mempunyai persepsi bahwa gelar akademik yang dimiliki secara
illegal itu akan menjadi tiket bagi peningkatan status sosial atau kenaikan
pangkat dan jabatan di tempat kerja.
Menghadapi fenomena ini, kita sebagai ilmuwan pendidikan
harus mengembalikan fungsi pendidikan, bahwa gelar akademik harus diraih oleh
seseorang secara legal dan prosedural. Demikian juga “status” harus
diusahahakan atau diperoleh melalaui melalui upaya dan proses pendidikan formal
secara prosedural. Maksud disini bahwa status dan gelar bukanlah sesuatu yang
bersifat warisan atau karena faktor keturunan, bukan diperoleh melalui praktek
jual beli dengan membayar sekian juta, dan seterusnya.Gelar yang diperoleh
secara illegal ibarat topeng kepalsuan dan kebanggaan semu belaka, tanpa nalar,
nilai, dan etika. Dimyati (2005) menyebutnya pengejaran gelar akademik
berorientasi legitimasi simbolik
Masyarakat Indonesia dapat melakukan akulturasi sistem
pendidikan, tanpa terjebak pada ketergantungan intelektual yang berdampak
pengejaran gelar akademik beririentasi legitimasi simbolik.Hal yang dapat
dilakukan yaitu dengan jalan mengembalikan fungsi-fungsi pendidikan lembaga
keilmuan secara rasional-prosedural. Rasional-prosedural perolehan sebuah gelar
akademik, setidaknya dapat dilakukan melalui 4 alternatif:
Pertama, gelar akademik yang diperoleh seseorang, misalnya
doktor Teknologi Pembelajaran, seseorang harus memperolehnya dengan cara
mengikuti kuliah, praktikum, mengerjakan tugas-tugas terstruktur dan mandiri
serta menulis disertasi serta mempertahankannya di dewan penguji.Kedua,
penyandang gelar tersebut dipandang memiliki kompetensi dan wawasam keilmuan
dibidang teknologi pembelajaran yang dikenal dengan sebutan Ilmuwan
pembelajaran.Dalam hal ini mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dan meneliti
dalam bidang pembelajaran, yakni mampu mengembangkan teori-teori dan
konsep-konsep pembelajaran untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dalam rangka
memecahkan masalah-masalah belajar.Ketiga, penyandang gelar akademik tadi
mempunyai hak dan kewajiban yang melekat, baik untuk peningkatan kualitas
hidupnya maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pengabdian pada
masyarakat.
Keempat, pada gelar akademik yang disandang oleh seorang
sarjana terdapat nilai-nilai moral dan komitmen yang berhubungan langsung
dengan Tuhan, sebagaimana tersurat dalam ikrar prasetya sarjana atau lebih
dikenal dengan panca prasetya wisuda.
Panca prasetya wisuda dimaksud adalah: Dengan Rakhmad Tuhan Yang Maha Esa kami
para wisudawan secara sadar dan bertanggung jawab mengikrarkan panca prasetya
(1) kami wisudawan adalah tenaga kependidikan yang taat dan setia sepenuhnya
serta bersedia tetap membela negara dan bangsa Indonesia berlandaskan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945; (2) senantiasa menjujung tinggi profesi
kependidikan, bersifat terbuka dalam mengembangkan dan mengamalkan ilomu
pendidikan selaras dengan pembangunan bangsa dan negara Republik Indonesia ;
(3) senantiasa mengembangkan usaha kependidikan secara demokratis bagi
pembangunan manusia seutuhnya dengan memperhatikan potensi anak didik dengan
penuh cinta kasih; (4) dalam melaksanakan tugas sanggup bekerja dengan jujur,
disiplin, penuh tanggung jawab dan pengabdian, (5) senantiasa menujujung tinggi
nama baik almamater. Semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan meridhoi kami dalam
upaya mengamalkan Panca Prasetya ini
Berdasarkan paparan di atas, jelaslah bahwa gelar yang
dibeli dan ditebus dengan uang, adalah gelar yang tidak diperoleh secara etik
keilmuan sekaligus tidak memililiki makna.Yang ada di dalamnya hanyalah
transaksi ekonomi antara penjual gelar dan pembelinya. Karena rasionalistas
ekonomi yang dijadikan pertimbangan, maka lembaga pendidikan tinggi tak ubahnya
sebagai pasar dengan menjadikan gelar dan ijazah sebagai komoditasnya
Pemikiran keilmuan telah direduksi menjadi sebuah
rasionalitas instrumental, yakni sesuatu sarana, insstrumen, dan alat yang
dipakai untuk mencapai tujuan secara efisien, dengan mengabaikan nilai-nilai
dan makna serta tidak peduli dengan proses dan ketentuan-ketentuan akademik
yang prosedural. Pengejaran gelar akademik berorientasi legitimasi simbolik,
jelas melecehkan nilai-nilai kejujuran ilmu pengetahuan, pemikiran keilmuan,
moral serta komitmen Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Mereka pengguna gelar akademik simbolik, menurut hemat
penulis telah membohongi diri sendiri, juga riskan menyalahgunakan untuk menipu
orang lain. Diakui atau tidak orang-orang yang menyandar gelar akademik dan
memiliki ijazah dengan cara-cara yang tidak terpuji dan tidak patut itu telah
melakukan kebohongan publik dan penipuan terhadap masyarakat luas.Selama
orang-orang seperti itu pamer dan bangga dengan gelar-gelar illegal dan ijazah
palsu itu, maka selama itu pula mereka sedang berbohong dan menipu diri sendiri
di tengah khlayah.Inilah yang oleh Bactiar (2005) disebut dengan tragedi gelar
tanpa nalar dan ijazah tanpa kuliah.
C.
Mengurangi Ketergantungan Intelektual
1.
Mengembangkan pembelajaran pemikiran keilmuan
Menurut Dimyati (1996) salah satu ungsur ilmu pengetahuan
adalah items, yakni ilmu pengetahuan yang berwujud berpikir rasional.
Realisasi berpikir rasional tampak pada penggunaan kata, kalimat, alenea, rumus
pemecahan masalah, ataupun symbol-simbol. Prasyarat untuk mewujudkan items
tersebut adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, memikir dan
melakukan observasi (3M+O).
Ilmu pengetahuan adalah sistem berpikir tentang dunia
empiris.Dengan demikian pendidikan keilmuan adalah pendidikan berpikir rasional
tentang dunia empiris.Dari sisi taksonomi berpikir, maka pendidikan keilmuan
berarti mendidik berpikir pada tingkat kognitif tertentu.Dengan taksonomi Bloom
misalnya, didikan berpikir keilmuan terletak pada tingkat
analisa-sintesa-evaluasi-kreasi, tidak pada tingkat dibawahnya.
Fakta pembelajaran saat ini menunjukkan rendahnya tingkat
kecakapan berpikir tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi anak-anak Indonesia.
Para pakar pendidikan mengatakan bahwa proses pembelajaran yang dominan di
sekolah-sekolah masih membelajarkan tingkat rendah yakni mengetahui, memahami,
dan menggunakan belum mampu menumbuhkan kebiasaan berpikir evaluasi-kreatif
yakni suatu yang paling esensi dari dimensi belajar. Sebagian besar pendidik
belum merancang pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan
kreatif.
Sebenarnya para pendidik telah menyadari bahwa pembelajaran
berpikir agar anak menjadi cerdas, kritis, dan kreatif serta maampu memecahkan
masalah yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari adalah
penting.Kesadaran ini juga telah mendasari pengembangan kurikulum kita lebih
lebih mengedepankan pembelajaran yang konstekstual dengan lingkungan kehidupan
sehari-hari anak.Akan tetapi sebaagian besar pendidik kita belum berbuat, belum
merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis proses belajar
(Drost, 1998, Mangunwijaya, 1998, Kamdi, 2002).Kita masih berkutat dengan
cara-cara mengajar yang lama, yang cenderung mematikan kreativitas anak.
Proses “pembelajaran” saat ini masih diimplementasikan
sebagai proses menjadikan anak tidak bisa, menjadi bisa. Kegiatan belajar
berupa kegiatan menambah pengetahuan, kegiatan menghadiri, mendengar dan
mencatat penjelasan guru, serta menjawab secara tertulis soal-soal yang
diberikan saat berlangsungnya ujian. Pembelajaran adalah proses menyampaikan,
memberikan, memindahkan/mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa.
Dalam tataran ini siswa yang sedang belajar bersifat pasif ,
menerima apa saja yang diberikan guru, tanpa diberikan kesempatan untuk
membangun sendiri pengetahuan yang dibutuhkan dan diminatinya. Siswa sebagai
manusia ciptaan Tuhan yang paling sempurna di dunia karena diberi otak,
dibelenggu oleh guru.Siswa yang jelas-jelas dikaruniai otak seharusnya
diberdayagunakan, difasilitasi, dimotivasi, dan diberi kesempatan, untuk
berpikir, bernalar, berkolaborasi, untuk mengkonstruksi pengetahuan sesuai
dengan minat dan kebutuhannya serta diberi kebebasan untuk belajar.
Mari kita runtuhkan pemahaman yang keliru bahkan telah
menjadi “mitos” bahwa belajar adalah proses menerima, mengingat, mereproduksi
kembali pengetahuan yang selama ini diyakini banyak tenaga kependidikan.
Jalaluddin Rakhmad (2005) dalam buku Belajar Cerdas, menyatakan bahwa belajar
itu harus berbasis otak . Dengan kata lain revolusi belajar dimulai dari otak.
Otak adalah organ paling vital manusia yang selama ini kurang dipedulikan oleh
dosen dalam pembelajaran.Pakar komunikasi mengungkapkan kalau kita ingin cerdas
maka kita harus terlebih dahulu menumbangkan mitos-mitos tentang kecerdasan.
Menurut pandangan Slavin (1997)) dalam proses pembelajaran
dosen tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa
harus membangun pengetahuannnya sendiri dalam dengan mendayagunakan otaknya
untuk berpikir. Guru dapat membantu proses ini, dengan cara-cara membelajarkan,
mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan lebih relevan bagi kebutuhan
siswa. Caranya antara lain dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak mereka agar
menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk
belajar. Menurut Nur (1999), dosen sebaiknya hanya memberi “tangga” yang dapat
membantu mahasiswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus
diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan
berpikir siswa (Brooks, 1990, Slavin, 1997), antara lain (1) siswa perlu
didorong secara individual menemukan dan mengubah informasi yang kompleks
menjadi lebih sederhana, bermakna, agar menjadi miliknya sendiri, (2) siswa
perlu selalu membandingkan informasi yang satu dengan informasi yang lain, jika
tidak cocok, ia harus berupaya untuk mengubahnya agar sesuai dengan skematanya.
Dengan demikian maka belajar harus bersifat konstruktif, artinya dapat
digambarkan sebagai proses berpikir pada saat terjadinya penemuan ilmiah,
pemecahan masalah, menciptakan sesuatu. Kegiatan tersebut bisa dalam bentuk
eksplorasi, eksperimentasi, kreativitas, ketekunan, kesabaran, rasa ingin tahu,
dan kerja sama atau kolaboratif.
Perubahan paradigma pembelajaran di atas mempunyai implikasi
yang sangat besar, karena akan menumbuhkan kebiasaan mental untuk dapat
berpikir secara produktif. Indikasi-indikasi berpikir produktif ( Marzano dalam
Kamdi, 2002) demikian antara lain: (1) self-regulated thinking and learning,
yakni kompetensi mengetahui apa yang sedang dipikirkannya, tindakan yang
terencana, mengetahui sumber-sumber yang penting, sensitive terhadap umpan
balik, dan evaluatif terhadap keefektifan tindakan; (2) critical thinking
and learning, yang dicirikan oleh tindakan yang ceermat, jelas, terbuka,
bisa mengendalikan diri, sensitive terhadap tingkat pengetahuan,; dan (3) creative
thinking and learning yang ditandai dengan semangat tinggi, berusaha
sebatas kemampuan, percaya diri, teguh, dan menciptakan hal-hal atau cara baru.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan ketiga indikator
di atas adalah dengan mengintegrasikan ke dalam tugas-tugas di kelas dan
menggunakan contoh-contoh khusus dari kehidupan orang yang memiliki kompetensi
unggul, misalnya kegigihan orang mempelajari perilaku air sehingga menjadi ahli
konstruksi bangunan seperti Ir. Sutami yang merancang bendungan Karangkates.
2.
Pengembangan belajar berpikir kritis dan kreatif
Sering kita mendengar ungkapan mengenai banyaknya mahasiswa
yang ‘tidak berpikir’. Mereka pergi ke kampus tetapi cara belajar mereka
terbatas mendengarkan keterangan dosen, kemudian tidak mencoba memahami ilmu
pengetahuan yang diajarkan oleh dosen mereka. Selanjutnya, diruang ujian,
mereka mengungkapkan kembali ilmu pengetahuan yang telah mereka hafalkan itu.
Cara seperti ini, dalam pengertian yang khusus, bukanlah suatu keberhasilan,
dan merupakan cara belajar yang tidak kita inginkan. Mengenai nilai dan ujian,
harus diakui bahwa mahasiswa tersebut bisa menjawab pertanyaan.
Sayang sekali, dalam sistem pendidikan dewasa ini, ada
mahasiswa yang gagal memahami perkuliahan, sebab mereka hanya sekedar menghafal
tanpa mengerti apa yang mereka pelajari. Pada akhirnya, kedua jenis mahasiswa
(mereka yang gagal memahami dan mereka yang menghafal) mampu menjawab ujian
dengan baik.Sebagian dari mereka mungkin mendapat nilai yang tinggi dan
dianggap mahasiswa yang sukses oleh masyarakat (Hassoubah, 2002). Meskipun
belum ada hasil penelitian yang kongkret, bahwa seandainya para mahasiswa
tersebut ditanya-setelah ujian selesai-apakah mereka masih ingat ilmu pengetahuan
yang telah mereka pelajari, maka tidak heran kalau mereka sudah lupa apa yang
telah mereka pelajari.
Para mahasiswa pasif akan menimbulkan masalah. Dengan
pengertian lain, mahasiswa yang ‘tidak berpikir’ hanya akan memenuhi tempat
yang semestinya dipersiapkan untuk menghasilkan para ilmuan yang akan memainkan
peranan mereka sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi. Akibat yang
paling buruk adalah tugas dan tanggung jawab pendidikan tidak tercapai,
sementara para mahasiswa dapat tamat dan mendapatkan gelar.
Pada saat yang sama, seharusnya para mahasiswa mengevaluasi
diri mereka dan berusaha. Mereka tidak boleh berdiam diri saja. Karena, para
pemuda ini kelak akan menjadi orang dewasa, akan menghadapi dunia yang penuh
dengan tantangan dan permasalahan. Mahasiswa ini yang akan menjadi pemimpin di
masa depan, mesti dipersiapkan untuk menghadapi tantangan dan permasalahan
hidup. Tantangan dan permasalahan inilah yang akan dihadapi oleh
‘pemikir’(.Tthe Liang Gie, 2003)
Berpikir dalam pendidikan formal sebagian besar menekankan
pada :(1) kemampuan menganalisis, (2) membelajarkan siswa bagaimana memahami
pernyataan, (3) mengikuti dan menciptakan argumen logis, (4) mengiliminir jalur
yang salah dan fokus pada jalur yang benar (Harris, 1998). Berpikir adalah
kegiatan memfokuskan pada eksplorasi gagasan, memberikan berbagai
kemungkinan-kemungkinan dan mencari jawaban-jawaban yang lebih benar.Dua jenis
berpikir dapat dibedakan yakni berpikir kritis dan berpikir kreatif.
No
|
Berpikir
kritis
|
Berpikir
Kreatif
|
1
|
Analitis
|
Mencipta
|
2
|
Mengumpulkan
|
Meluaskan
|
3
|
Hirarkis
|
Bercabang
|
4
|
Peluang
|
Kemungkinan
|
5
|
Memutuskan
|
Menggunakan
keputusan
|
6
|
Memusat
|
Menyebar
|
7
|
Obyektif
|
Subyektif
|
8
|
Menjawab
|
Sebuah
jawaban
|
9
|
Otak
kiri
|
Otak
kanan
|
10
|
Kata-kata
|
Gambaran
|
11
|
Sejajar
|
Hubungan
|
12
|
Masuk
akal
|
Kekayaan,
kebaruan
|
13
|
Ya,
akan tetapi......
|
Ya,
dan......
|
a.
Berpikir Kritis
Berpikir kristis adalah berpikir secara beralasan dan
reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus
dipercayai atau dilakukan . Perkin (1992) berpikir kritis : (1) bertujuan untuk
mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang
akan kita lakukan dengan alasan logis, (2) memakai standar penilaian sebagai
hasil dari berpikir kritis dan membuat keputusan, (3) menerapkan berbagai
strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan
stndar, (4) mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai
sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian.
Sedangkan Beyer (1985) mengatakan bahwa kemampuan berpikir
kritis adalah kemampuan: (1) menentukan kredibilitas suatu sumber, (2)
membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan, (3) membedakan fakta
dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak
terucapkan, (5) mengidentifikasi bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut
pandang, dan (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan.
Menurut Harris, Robert (1998) beberapa kata kunci dalam indikasi kemampuan
berpikir kristis meliputi: (1) analytic, (2) convergent, (3) vertical, (4)
probability, (5) judgment, (6) focused, (7) Objective, (8) answer, (9) Left
brain, (10) verbal, (11) linear, (12) reasoning, (13) yes but.
Berpikir kritis menurut Schafersman, S.D.(1991) adalah
berpikir yang benar dalam rangka mengetahui secara relevan dan reliable tentang
dunia. Berpikir kritis adalah berpikir beralasan, mencerminkan,
bertanggungjawab, kemampuan berpikir, yang difokuskan pada pengambilan
keputusan terhadap apa yang diyakini atau yang harus dilakukan. Berpikir kritis
adalah berpik mengajukan pertanyaan yang sesuai, mengumpulkan informasi yang
relevan, mengurutkan informasi secara efisien dan kreatif, menalar secara
logis, hingga sampai pada kesimpulan yang reliable dan terpercaya.
Karakteristik berpikir kritis: (1) Menggunakan bukti secara
baik dan seimbang, (2) Mengorganisasikan pemikiran dan mengungkapkannya secara
singkat dan koheren, (3) membedakan antara kesimpulan yang secara logis sah
dengan kesimpulan yang cacat, (4) menunda kesimpulan terhadap bukti yang cukup
untuk mendukung sebuah keputusan, (5) memahami perbedaan antara berpikir dan
menalar, (6) menghindari akibat yang mungkin timbul dari tindakan-tindakan, (7)
memahami tingkat kepercayaan, (8) melihat persamaan dan analogi secara
mendalam, (9) mampu belajar dan melakukan apa yang diinginkan secara mandiri,
(10) menerapkan teknik pemecahan masalah dalam berbagai bidang, (11) mampu
menstrukturkan masalah dengan teknik formal, seperti mate-matika, dan
menggunakannya untuk memecahkan masalah, (12) dapat mematahkan pendapat yang
tidak relevan serta merumuskan intisari, (13) terbiasa menanyakan sudut pandang
orang lain untuk memahami asumsi serta implikasi dari sudut pandang tersebut,
(14)peka terhadap perbedaan antara validitas kepercayaan dan intensitasnya,
(15) menghindari kenyataan bahwa pengertian seseorang itu terbatas, bahkan
terhadap orang yang tidak bertindak inkuiri sekalipun, dan (16) mengenali
kemungkinan kesalahan opini seseorang, kemungkinan bias opini, dan bahaya bila
berpihak pada pendapat pribadi
Metode ilmiah merupakan metode paling ampuh yang pernah
ditemukan manusia dalam rangka mengumpulkan pengetahuan yang relevan dan
reliabel tentang alam.Metode non ilmiah lebih mengarah pada emosi dan harapn
umat manusia dan lebih mudah dipelajari dan dipraktekkan daripada metode
ilmiah.Meningkatkan pengajaran metode ilmiah dan manifestasinya yang terkenal
yaitu berpikir kritis.
Berpikir kritis dapat diajarkan melalui: (1) perkuliahan,
(2) laboratorium, (3) tugas rumah, (4) Sejumlah latihan, (5) Makalah, dan (6)
ujian. Dengan demikian berpikir kritis dapat dimasukkan dalam kurikulum dengan
mempertimbangkan: (1) siapa yang mengajarkan, (2) apa yang diajarkan, (3) kapan
mengajarkan, (4) bagaimana mengajarkan, (5)bagaimana mengevaluasi, dan (6)
menyimpulkan
Sejumlah tujuan dalam mengembangkan kemampuan berpikir
kritis diantaranya adalah: (1) memberikan pendidikan umum tentang konsep dalam
rangka mencapai tujuan melalui petunjuk yang membantu, (2) merancang
pembelajaran dengan menggunakan web dan isu yang bermanfaat, (3) memadukan
berbagai hasil pendidikan, (4) mendorong komunitas belajar di dalam kelas, (5)
menciptakan kesempatan berpikir kritis yang menyenangkan dan relevan bagi
siswa.
Sedangkan strategi yang dapat digunakan pendidik dalam
mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa antara lain adalah: (1)
mengadakan alat penilaian untuk memberikan nilai siswa. Menciptakan masalah
merupakan 20% dari keseluruhan nilai, (2) mendeskripsikan syarat pelajaran
secara mendetail sesuai silabus dengan menambah area online (alamat website)
yang dapat menyediakan akses informasi secara mudah, (3) memberikan orientasi
pelajaran, (4) .instruktur memberi pendapat untuk siswa dalam pemberian masalah
lewat e mail untuk memberi penguatan yang positif, dan (5) beberapa hasil
pelajaran dipadukan setelah pembelajaran usai.
b.
Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif adalah berpikir secara konsisten dan terus
menerus menghasilkan sesuatu yang kreatif/orisinil sesuai dengan keperluan.
Penelitian Brookfield (1987) menunjukkan bahwa orang yang kreatif biasanya (1)
sering menolak teknik yang standar dalam menyelesaikan masalah, (2) mempunyai
ketertarikan yang luas dalam masalah yang berkaiatan maupun tidak berkaitan
dengan dirinya, (3) mampu memandang suatu masalah daari berbagai perspektif,
(4) cenderung menatap dunia secara realtif dan kontekstual, bukannya secara
universal atu absolut, (5) biasanya melakukan pendekatan trial and error dalam
menyelesaikan permasalahan yang memberikan alternatif, (6) berorientasi ke
depan dan bersikap optimis dalam menghadapi perubahan demi suatu kemajuan.
Marzano (1988) mengatakan bahwa untuk menjadi kratif seseorang harus: (1) bekerja
di ujung kompetensi bukan ditengahnya, (2) tinjau ulang ide, (3) melakukan
sesuatu karena dorongan internela dan bukan karena dorongan eksternal, (4) pola
pikir divergen/menyebar, (5) pola pikir lateral/imajinatif.
Sedangkan Haris (1998) dalam artikelnya tentang pengantar
berpikir kreatif menyatakan bahwa indikator orang berpikir kreatif itu
meliputi:(1) Ingin tahu, (2) mencari masalah, (3) menikmati tantangan,
(4) optimis, (5) mampu membedakan penilaian, (6) nyaman dengan imajinasi, (7)
melihat masalah sebagai peluang, (8) melihat masalah sebagai hal yang menarik,
(8) masalah dapat diterima secara emosional, (9) menantang anggapan/praduga,
dan (10) tidak mudah menyerah, berusaha keras.
Dikatakanya bahwa kreativitas dapat dilihat dari 3 aspek
yakni sebuah kemampuan, perilaku, dan proses. Pertama, Sebuah kemampuan,
artinya kreativitas adalah sebuah kemampuan untuk memikirkan dan menemukan
sesuatu yang baru, menciptakan gagasan-gagasan baru baru dengan cara
mengkombinasikan, mengubah atau menerapkan kembali ide-ide yang telah ada.
Kedua, Sebuah perilaku, artinya kreativitas adalah sebuah perilaku menerima
perubahan dan kebaruan, kemampuan bermain-main dengan berbagai gagasan dan
berbagai kemungkinan, cara pandang yang fleksibel, dan kebiasaan menikmati sesuatu.
Ketiga, sebuah proses, artinya kreativitas adalah proses kerja keras dan
berkesimbungan dalam menghasilkan gagasan dan pemecahan masalah yang lebih
baik, serta selalu berusaha untuk menjadikan segala sesuatu lebih baik
Selanjutnya Harris juga menyatakan bahwa untuk dapat
berpikir kreatif seseorang perlu memiliki metode berpikir kreatif. Berbagai
metode yang dapat dilakukan antara lain: (1) evolusi, yakni gagasan-gagasan
baru berakar dari gagasan lain, solusi-solusi baru berasal dari solusi sebelumnya,
hal-hal baru diperbaiki/ditingkatkan dari hal-hal lama, setiap permasalahan
yang pernah terpecahkan dapat dipecahkan kembali dengan cara yang lebih baik ,
(2) sintesis, yakni adanya dua atau lebih gagasan-gagasan yang ada dipadukan ke
dalam gagasan yang baru, (3) revolusi, yakni gagasan baru yang terbaik
merupakan hal yang benar-benar baru, sebuah perubahan dari hal yang pernah ada,
(4) penerapan ulang, yakni melihat lebih jauh terhadap penerapan gagasan,
solusi, atau sesuatu yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat dilihat
penerapan lain yang mungkin dapat dilakukan, dan (5) mengubah arah, yakni
perhatian terhadap suatu masalah dialihkan dari satu sudut pandang tertentu ke
sudut pandang yang lain. Hal ini dimaksudkan untuk memecahkan suatu masalah,
bukan untuk menerapkan sebuah pemecahan masalah.
3.
Pengembangan Universitas bervisi ilmiah dan riset
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di Indonesia adalah kecilnya jumlah dan rendahnya mutu karya ilmiah
yang diterbitkan orang tiap tahun. Pengkajian terhadap mutu jurnal ilmiah yang
dipublikasikan perguruan tinggi di Indonesia memperlihatkan bahwa hingga tahun
1998 sebanyak 157 majalah terakreditasi Dirjen Dikti, dari 500 judul majalah
bercorak ilmiah dari 4500 terbitan berkala di Indonesia (Kurniawan 1998).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kemampuan Universitas di
Indonesia, dalam hal memproduksi karya ilmiah yang berkualitas, belum termasuk
menunjukkan tingkat yang diharapkan karena pertumbuhannya yang cukup lambat apabila
dibandingkan dengan perubahan-perubahan sosio-kultural yang sangat
cepat.Produktivitas buku atau majalah ilmiah di negara kita tidak sepadan
dengan julah ilmuwan yang adaaa dan sangat tidak seimbang dengan jumlah
pendiduk Indonesia (200 juta lebih) secara keseluruhan.
Dalam kaitanya dengan visi ilmiah universitas, setiap
akademisi perlu dipacu dengan diberikan insentif yang cukup untuk berkarya,
berkreasi, dan menelorkan gagasan-gagasan baru yang fungsional dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan yang berguna, disamping menciptakan iklim
keberaksaraan (literacy) masyarakat ilmiah.Suburnya tradisi kelisanan (orality)
hendaknya dikurangi dan sudah saatnya diganti dengan tradisi keberaksaraan
melalui karya tulis ilmiah.Mereka inilah yang berkepentingan untuk pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam menyelesaikan berbaagai masalah
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Idealnya, setiap karya ilmiah yang dihasilkan oleh akademisi
dapat dipublikasikan melalui majalah, jurnal, surat kabar, dan lain-lain
sehingga akan menggunggah para akademisi untuk selalu berkreasi dan berkarya.
Dengan demikian karya ilmiah yang dihasilkan oleh universitas tidak menjadi
dukumen mati atau arsip yang tersimpan rapi di rak-rak pustaka.
Rendahnya produktivitas riset di
Indonesia juga tercermin dari rendahnya publikasi ilmiah dalam berkala
internasional.Berdasarkan statistik publikasi ilmiah di tingkat Internasional,
publikasi dari Indonesia hanya menyumbang sebanyak 0,012 % dari total publikasi
ilmiah dari seluruh dunia (Santosa, 1997; Kamdi, 1998).Ini jauh lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita seperti Thailand (0,086%),
Malaysia (0,064%), Singapura (0,179%), dan Philipina (0,035%). Kontribusi
terbesar diberikan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat (30,8%),
Jepang (8,2%), Inggris (7,9%), Jerman (7,2%), dan Prancis (5,6%).
Sumber Situasi produktivitas riset di Indonesia pada umumnya
tidak menggembirakan meskipun telah banyak upaya untuk meningkatkan mutu
sumberdaya manusia dan sumber daya investasi, misalnya dengan kegiatan
pelatihan-pelatihan penulisan karya ilmiah. Hal ini tidak terlepas dari
kelemahan yang berasal dari individu peneliti, misalnya adanya fenomena isolasi
intelektual, insentif yang terlalu rendah, promosi karier yang tidak mendorong
untuk melakukan penelitian, keterbatasan kemampuan dan ketidakmampuan untuk
mengikuti kemajuan-kemajuan penelitian di dunia global di bidang masing-masing.
Kelemahan lain yang mucul dapat berasal dari lingkungan kerja peneliti, misalnya
keterbatasan sumber daya dan sarana peenelitian, keterbatasan informasi,
institusi yang tidak stabil, kekurangan tenaga pendukung, ketiadaan tuntutan
untuk melakukan penelitian, kekakuan sistem birokrasi yang ada dalam institusi,
ketidakmemadaian investasi untuk penelitian, dan hambatan-hambatan yang berasal
dari sumber kebijakan dan politik. Ini merupakan ciri yang banyak dijumpai di
negara-negara berkembang pada umumnya.
Oleh karena itu, agar berjaya melalukan fungsi sosialnya
dalam masyarakat, para akademisi Universitas harus bekerja keras, tidak takut
terhadap kesulitan, dan selalu jujur dalam segala tindak-tanduknya.Para
akademisi dituntut berpandai diri dalam membenai moral dan merapikan bekal
serta menyusun strategi untuk menunaikan tugas kademiknya.Untuk itu, mereka
dituntut selalu mengikuti perkembangan ilmu, teknologi, dan seni yang
ditekuninya serta berupaya berperan sebagai penyumbang, pemacu, dan penentu
kemajuan. Keberhasilan ini hanya hanya dapat diraih dengan melakukan kegiatan
penelaahan dan penelitian yang bermutu sehinggga mereka dapat menyuguhkan
pendapat, teori, data, dan informasi baru serta orisinil ( Rifai dalam Kamdi,
1998)
Setiap hasil pemikiran, pendapat, refleksi, temuan dan
gagasan dapat dituliskan ke dalam bentuk tulisan berupa wacana-wacana
ilmiah.Wacana keilmuan dapat berupa kertas kerja, laporan penelitian,
buku-buku, dan lain-lain jenis karya ilmiah.Produk karya ilmiah universitas
dapat dipublikasikan dalam bentuk jurnal ilmiah, baik di tingkat universitas,
fakultas, atau jurusan/program studi. Produk karya ilmiah di tingkat
universitas menyangkut berbagai disiplin ilmu dan bersifat makro; sedangkan
produk karya ilmiah di tingkat fakultas, jurusam, program studi menyangkut satu
rumpun keilmuan tertentu.
D.
Penutup
Publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh setiap akademisi
hendaknya dijadikan ajang pengembangan keilmuan yang ditekuninya.Namun tidak
tertutup kemungkinan penulis karya ilmiah dalam menulis karyanya semata-mata
karena motivasi pengumpulan angka kredit atau berdasarkan permintaan
masyarakat.Ini sebaiknya tidak dijadikan motivasi utama dalam menulis karya
ilmiah.Akan tetapi, yang lebih penting adalaah berorientasi kepada kecintaan
serta kemampuanya dalam disiplin ilmu yang ditekuninya.
Karya ilmiah yang merupakan hasil pemikiran, refleksi,
penelitian, dan lain-lain dapat dijadikan tolak ukur kecendekiaan seorang
akademisi, , bobot keilmuannya, sekaligus akan mengurangi ketergantungan
intelektual pada dunia luar . Karya tulis ilmiah ini juga merupakan indikator
serta berometer kualitas dan keunggulan universitas yang bersangkutan.
Kepustakaan
Dimyati.
1988. Landasan Kependidikan: Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan Tentang
kegiatan Pendidikan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Depdiknas.
Dimyati.
1996. Pendidikan Keilmuan di Indonesia: Suatu Dilema Pengajaran dan Penelitian.
Jurnal Pendidikan Humaniora dan Sains.September. 2(1&2)
Drost,
2000.Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orang Tua, Jakarta. Gramedia
Widisarana Indonesia
Hossoubah,Z.
Develoving Creative and Critical Thinking Skills (terjemahan) . 2004.
Bandung: Yayasan Nuansa Cendia
Kamdi, W.
2002.Mengajar Berdasarkan Model Dimensi Belajar.Gentengkali: Jurnal
Pendidikan Dasar dan Menengah. 4 (5 dan 6): 29-35
Kurniawan,
K. 1998. Visi dan Strategi Universitas Mnghadapi Abad XXI.Jurnal Imu
Pendidikan. Agustus 5(3): 131-149
Marzano.
1988. Dimensions of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction.
Alexandria, Va: ASCD
Perkins,D.N.
& Weber,R.J. 1992. Inventive Mind: Creative in Technology. New York:
University Press
Rahmat, J.
2005. Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak. Bandung: Mizan Leraning
Center (MLC)
Slavin.
1997. Educational Psycology Theory and Practice. Five Edition. Boston:
Allin and Bacon
Gie,The
Liang. 2003. Teknik Berpikir Kreatif. Yogyakarta: Sabda Persada
Yogyakarta.
Undang-Undang
Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bandung: Citra Umbara
4(c).
Artikel mengenai landasan teori dan konsep sistem
PENELITIAN
TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
BERDASARKAN
PENDEKATAN SISTEM
Salamah
*)
FKIP
Universitas PGRI Yogyakarta
Abstrak:
Dunia pendidikan tidak pemah
bebas dari masalah, baik yang bersifat makro, maupun
mikro, meliputi
masalah kuantitas, kualitas, relevansi, efektivitas dan efisiensi. Pemecahan
masalah pendidikan secara tepat harus didasarkan pada pendekatan ilmiah dengan
menerapkan pengetahuan ilmiah yang berkaitan dengan masalah
pendidikan.Pengetahuan ilmiah berfungsi mendeskripsikan, menjelaskan,
meramalkan, dan mengontrol.Pengkajian penelitian teknologi pembelajaran
berdasarkan pendekatan sistem ditinjau dari konsep pendekatan sistematau
berpikir sistem, Variabel pembelajaran dalam penelitian pembelajaran dan
penerapan berpikir sistem pada penelitian pembelajaran.Kesimpulannya, untuk mewujudkan
tujuan pendidikan perlu dilakukan suatu penelitian.Konsep berpikir sistem dalam
menelaah masalah penelitian harus melihat masalah secara keseluruhan dengan
menentukan faktor-faktor yang terkait.Pembelajaran dapat dipandang sebagai
suatu sistem karena terdapat komponen-komponen yang sering berkaitan dalam
mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Kata
kunci :
Penelitian, Pembelajaran, Pendekatan Siswa
A.
Pendahuluan
Dunia pendidikan tidak pemah bebas dari
masalah.Masalah pendidikan dapat bersifat mikro. Masalah pendidikan yang
bersifat makro, dapat dikelompokkan dalam: kuantitas, kualitas, relevansi,
keaktifan dan efisiensi." (Jujun.S. Suriasumantri dkk, 2000). Masalah
pendidikan yang bersifat mikro, terutama yang dapat dikemukakan di sini adalah
masalah yang berkaitan dengan proses belajar mengajar antara lain adalah
masalah efekti vitas mengajar guru, motivasi belaj ar siswa, penggunaan media,
da\ya serap, kurikulum, penilaian. Masalah pendidikan tersebut (makro-mikro)
mempunyai hubungan yang erat, salingmempengaruhi dan saling tergantung.Berbagai
permasalah itu perlu pemecahan.
Usaha pemecahan masalah pendidikan bukanlah hal yang
mudah.Hal ini disebabkankompleksitas masalah pendidikan itu sendiri serta
semakin berkembangnya tuntutan terhadappendidikan.Pemeeahan masalah pendidikan
secara tepat harus didasarkan pada pendekatan ilmiah, khususnya yang berkaitan
dengan masalah pendidikan.Sebab pengetahuan ilmiah berfungsi mendeskripsikan,
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Donald Ary dkk., mengemukakan hanya
pengetahuan ilmiah tentang proses pendidikanlah yang memberikan sumbangan
paling berharga dalam pengambilan keputusan di bidang pendidikan (1992:201).
Untuk memecahkan masalah pendidikan berdasarkan
pendekatan ilmiah perlu
dilakukan
penelitian terhadap masalah yang hendak dipecahkan. Donald Ary, dkk.
mengemukakan penelitian pendidikan adalah cara yang digunakan orang untuk
mendapatkan informasi yang berguna dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai
proses pendidikan (1992 : 205). Tujuan penelitian pendidikan ialah untuk
menemukan jawaban terhadap persoalan pendidikan yang dikaji.
Kompleksnya masalah pendidikan tidak terlepas dari
pendidikan itu sebagai sistem,yang terdiri dari berbagai komponen yang saling
berinteraksi dalam melaksanakan fungsi untuk mencapai tujuan. Karena itu, untuk
dapat menemukan jawaban yang tepat terhadap suatu permasalahan pendidikan maka
penelitian pendidikan harus didasarkan pada pendekatan sistem.
Beipikir sistem dalam penelitian pendidikan
mengandung makna bahwa dalam menelaah suatu masalah, peneliti hendaknya dapat
melihat secara menyeluruh tentang berbagai faktor yang terkait dengan masalah
tersebut, dan membentuk suatu konstelasi permasalahan.Hal ini sangat penting
sebab pada dasarnya suatu masalah tidak berdiri sendiri.Adanya suatu masalah
dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang secara sendirisendiri atau
bersama-sama dapat menyebabkan masalah tersebut.Berpikir sistem dalam
penelitian pendidikan juga sangat diperlukan dalam penerapan hasil penelitian.
Sebab hasil penelitian yang akan diintroduksikan pada suatu sistem pendidikan
perlu memperhatikan berbagai komponen yang ada.
Secara umum, pembahasan ini bertujuan untuk
mendeskripsikan tentang penelitianpembelajaran yang didasarkan pada berpikir
sistem. Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini dibatasi padahal-hal sebagai
berikut: (1) Konsep pendekatan/berpikir sistem, (2) Variabel pembelajarari
dalam penelitiapembelajaran, (3) Penerapan berpikir sistem pada penelitian
pembelajaran.
B.
Pembahasan
1.
Konsep Pendekatan Sistem/Berpikir Sistem
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita
rnendengarkan istilah sistem. Apakah sistem itu ? Menurut Jujun S.
Suriasumantri, sistem dapat diartikan sebagai sebuah ujudkeseluruhan dari suatu
objek penelaahan dimana unsur dari objek tersebut berhubungan satu sama lain
dalam suatu jalinan yang tertaur. Gagne dan Briggs (1977 :105) menyatakan
sistem sebagai suatu cara yang terorganisir untuk mencapai tujuan tertentu,
apakah untuk seluruh masyarakat atau untuk sebagian masyarakat. Briggs
menyatakan, sistem sebagai rencana kerja yang terpadu dan semua komponen sistem
(sub sistem) yang dirancang untuk memecahkan kebutuhan tertentu. Jadi jika
disimpulkan dalam arti yang sederhana, sistem mengandung pengertian, bahwa
wujud sesuatu adalah merupakan totalitas dari seperangkat komponen yang
tergantung dalam satu jalinan yang teratur dalam proses kegiatan yang
menghasilkan tujuan tertentu.
Dari beberapa pengertian tentang sistem tersebut di
atas, dapat diungkapkan bahwa sistem memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Sistem bertujuan bersama dan berorientasi pada tujuan.
b.
Tujuan sistem dapat dijabarkan kepada beberapa fungsi.
c.
Sistem memiliki komponen-kornponen yang dapat menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
d.
Komponen-komponen sistem saling berkaitan dan tergantung satu sama lain.
e.
Sistem memiliki aspek keterpaduan antar komponen.
f.
Sistem memiliki mekanisme umpanbalik
g.
Memproses masukan (input) menj adi keluaran (output).
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2001), bahwa sistem
dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu: (a) Sistem tertutup yang berarti
sebuah sistem yang dalam proses kegjatannya tidak berhubungan dengan
sistem-sistem luarnya. Contohnya: sistem kehidupanmasyarakat Badui asli. (b)
Sistem terbuka yang berarti sebuah sistem yang berhubungan dengan sistem-sistem
lainnya dalam melakukan proses kegiatannya. Contohnya: Kegiatan pada sistem
pendidikan.
Dalam sistem terbuka raw input (masukan mentah)
diproses melalui bantuan dari input-input instrumental yang berupa tenaga manusia,
sarana dan prasarana metode dan material selanjutnya menjadi output. Jadi
sistem terbuka dapat dikatakan memiliki ciriciri sebagai berikut: (a) Input
dapat menerimapengaruh dari lingkungan ekstemal, (b) Ada proses transformasi
dari sumber daya yang tersedia terhadap sistem itu sendiri, (c) Suatu hasil
(output) yang diberikan kepada lingkungan setelah melalui proses, (d) Ada
proses untuk menetralisir proses entropy supaya proses tetap berjalan, (e) Ada
kegiatan mengubah sumber daya terus menerus, (f) Terdapat usaha umpan balik
sebagai alat untuk mengontrol perilaku dari output.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
suatu kegiatan dapat kita
gunakan
sebagai pendekatan. Salah satu diantaranya dengan menggunakan "pendekatan
sistem". Pendekatan sistem dapat diartikan sebagai suatu cara berpikir
dengan menggunakan konsep sistematik dan sistemik (menyeluruh),.Pendekatan
sistem dapat juga dikatakan sebagai metode untuk mendeskripsikan suatu objek
yang dideskripsikan, meliputi bagaimana hubungan antar komponen yang satu
dengan komponen yang lainnya yang menunjuk pada suatu hasil secara keseluruhan.
Pendekatan sistem atau berpikir sistem memiliki
beberapa ka-rakteristik ditinjau dari tiga aspek sebagai berikut: (a). Aspek
Ontologi. (1). Pendekatan holistik
(menyeluruh).
(2). Mulai dari keseluruhan kemudian dibatasi. (3) Dimulai dari latar belakang
pengetahuan dan pengalaman yang telah diperoleh. (b). Aspek Epistemologi. (1)
Menggunakan model untuk memudahkan analisis. (2) Sifat keseluruhan lebih diperhatikan
daripada pendekatan analitik dan atomistik. (3) Logika sistem merupakan konsep
dasar dalam kegiatan inquiry (mencari tahu). (c) Aspek Aksiologi, menguraikan
tercapainya tujuan sistem secara sistematik (runtut).
Pendidikan dapat dipandang sebagai sistem karenadi
daianrnya meliputi komponenkomponen yang harus saling berkaitan satu sama
lainnya dalam mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Komponen-komponen yang dimaksud, meliputi: raw input (siswa), instrumental
input (guru, tenaga administratif, saranadanprasarana, metode atau kurikulum,
keuangan), enviromental input (masyarakat dan lingkungan alam), proses
transformasi (pendidikan), output (lulusan). Dengan demikian untuk mencapai
output (lulusan) yangberkualitas sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen yang
lainnya. Pendidikan sebagai sistem dapat dilihat pada model sebagai berikut:
Bagan
: Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem
Teknik-teknik berpikir sistem telah ditemukan
diantaranya, adalah: (a) Operasi riset yang bertujuan untuk mencari pemecahan
optimal. Dapat menggunakan teknik programming, queueing, gamin, monte carlo dan
sebagainya, (b) Sistem analis yang bertujuan untuk menemukan altematif
pemecahan masalah yang terbaik meskipun tidak optimal. Teknik yang digunakan adalah:
Cost benefit dan Cost-Effectiveness Technique. Dapat dipilih teknik-teknik mana
yang sesuai dengan kebutuhan yang ada.Misalnya dalam menangani masalah-maslaah
sosial sangat cocok dengan menggunakan teknik-teknik berupa sistem analisis.
2.
Konsep Penelitian Pembelajaran
Pembelajaran menurut Gagne dan Briggs (1974),
seperti yang dikutip oleh
Kuswadi,
diartikan sebagai cara guru, perancangbahan belajar, ahli kurikulum atau orang
lain yang berkepentingan dalam usaha mengem-bangkan rencana yang sistematis
untuk memajukan belajar. Pada umumnya para peneliti memusatkan perhatiannya
pada variabel-variabel yang terdapat dalam pengembangan teori-teori
pembelajaran.
a.
Klasifikasi Pembelajaran
Menurut Reigeluth dan Merill (1978),
variabel-variabel pembelajaran diklasifikasikan menjadi tiga yaitu, (l)kondisi
pembelajaran, (2) metode pembelajaran, (3) hasil pembelajaran. Ketiga variabel
tersebut akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut: Kondisi pembelajaran.
Didefinisikan sebagai faktor yang mempengaruhi metode dalam meningkatkan hasil
pembelajaran. Kondisi ini berinteraksi dengan metode pembelajaran,dan
keberadaannya biasanya tidak dapat dimanipulasi.
Reigeluth dan Merrill (1983) mengelompokkan variabel
kondisi pembelajaran mejadi tiga
elompok, yaitu: (a) Tujuan dan karakteristik bidang studi. Diartikan
sebagai pemyataan tentang hasil pembelajaran yang diharapkan.Tujuan ini dapat
sangat umum, sangat khusus, atau di mana saja dalam kontimum umum-khusus. (b)
Kendala dan karakteristik bidang studi, karakteristik bidang studi adalah
aspek-aspek suatu bidang studi yang dapat memberikan landasan yang berguna
sekali dalam mendeskripsikan strategi pembelajaran. Sedangkan sumber-sumber,
seperti waktu, media, personalia, dan uang. (c) Karakteristik siswa yaitu,
aspek-aspek atau kualitas si belajar (bakat, motivasi, dana hasil belajar).
Metode pembelajaran didefinisikan sebagai cara-cara
yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda.Pada dasarnya,
semua caraini dapat dimanipulasi olehperancang pembelaj aran.Apabiladalam suatu
situasi, metode pembelajaran tidak dapat dimanipulasi. Variabel metode pembelaj
aran diklasifikasikan lebih lanj ut menj adi tiga j enis, yaitu: (a) strategi
pengorganisasian
adalah
metode untuk mengorganisasikan isi bidang studi yang telah dipilih untuk
pembelajaran. "Mengorganisasi" mengacu pada suatu tindakan seperti
pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan lainnya yang
setingkat dengan itu. (b) strategi penyampaian adalah metode untuk menyampaikan
pembelaj aran kepada sibelajar dan atau untuk menerima serta merespon masukan
yang berasal dari si-belajar.
Media pembelajaran merupakan bidang kajian utama
dari strategi ini. (c) strategi pengelolaan adalah metode untuk menata
interaksi antara si-belajai" dan variable strategi pengorganisasian dan
penyampaian isi pembelajaran. Hasil pembelajaran mencakup semua efek yang dapat
dijadikan sebagai indicator .tentang nilai dari penggunaan metode pembelajaran
di bawah kondisi pembelajaran yang berbeda.
Hasil pembelajaran bisa berupa hasil nyata, dan
hasil yang diinginkan.Hasil nyata adalah hasil yang nyata dicapai dari
penggunaan suatu metode di bawah kondisi tertentu, sedangkan hasil yang
diinginkan adalah tujuan yang ingin dicapai, yang sering mempengaruhi keputusan
perancang pembelajaran dalam melakukan pilihan metode. Hasil pembelajaran dapat
diklasifikasi menjadi tiga yaitu: (a) Keefektifan pembelajaran biasanya diukur
dengan tingkat pencapaian si belajar itu ada empat aspek penting yang dapat
dipakai untuk meng-ekspresikan perilaku yang dipelajari (sering disebut tingkat
kesalahan), kecepatan unjuk kerja, tingkat alih belajar, tingkat retensi dari
apa yang dipelajari. (b) Efisiensi pembelajaran biasanya diukur dengan rasio
antara keefektifan dan jumlah waktu yang dipakai sibelajar dan, atau jumlah
biaya pembelajaran yang digunakan. (c) Daya tarik pembelajaran biasanya diukur
dengan mengamati kecenderungan siswa untuk tetap/terus belajar. Daya tarik
pembelajaran erat sekali kaitannya dengan daya tarik bidang studi, dimana kualitas
pembelajaran biasanya akan mempengaruhi keduanya. Itulah sebabnya, pengukuran
kecenderungan siswa untuk terus atau tidak terus belajar dapat dikaitkan dengan
proses pembelajaran itu sendiri atau dengan bidang studi.
b.
Taksonomi Variabel Pembelajaran
Ketiga
variabel pembelajaran yang telah dijelaskan sebelurnnya dituangkan ke
dalam
bagan di bawah ini:
K
O
N
S
E
P
|
Tujuan
Karaktenstik
Bidang
Studi
|
Kendala
dan
Karakteristik
Bidang
Studi
|
Karakteristik
Siswa
|
M
E
T
O
D
E
|
Strategi
Pengorganisasian
Pembelajaran
(Strategi
Makro
dan
Mikro
|
Strategi
Penyampaian
Pembelajaran
|
Strategi
Pengelolaan
Pembelajaran
|
H
A
S
I
L
|
Keefektifan,
Efisiensi, dan
daya
tarik Pembelajaran
|
Taksonomi
Variabel Pembelajaran
(Adaptasi
Dari Reigeluth dalam Sudana Degeng 1998)
c.
Hubungan Variabel Pembelajaran
Melihat Taksonomi yang telah digambarkan
sebelurnnya, maka hubungan ketiga variabel pembelajaran dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1)
Tujuan dan karakteristik bidang studi dihipotesiskan memiliki pengaruh utama
pada pemilihan strategi pengorganisasian pembelajaran, demikian juga kendala
(karakteristik bidang studi) pada pemilihan strategi penyampaian, serta
karakteristik siswa pada pemilihan strategi pengelolaan. Bagaimanapun juga pada
tingkat tertentu, sangat dimungkinkan suatu variabel kondisi akan mem-pengaruhi
setiap variabel metode (misalnya, karakteristik siswa dapat mempengaruhi
strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian).
2)
Strategi pengorganisasian pembelajaran yang dibedakan ke dalam strategi makro
dan strategi mikro, keduanyamengacu kepada metode untuk mengorgaisasi isi pembelajaran yang berkisar pada konsep,
prosedur atau prinsip. Strategi tersebut digambarkan sebagai ke-giatan
bagaimana memilih, menata urutan, membuat sintesis dan rangkuman isi
pembelajaran yang saling berkaitan.
3)
Strategi penyampaian pembelaj aran, sekurang-kurangnya memiliki dua fungsi
kegiatan yaitu menyampaikan isi pembelajaran kepada siswa dan menyediakan
informasi/bahan yang diperlukan siswa untuk melakukan kinerjanya.
4)
Strategi pengelolaan pembelajaran berurusan dengan bagaimana menata interaksi
siswa dan variabel metode pembelajaran lainnya, Strategi ini berkaitan dengan
pengambilan keputusan tentang strategi pengorganisasian dan strategi
penyampaian yang digunakan selama proses pembelajaran. Kegiatan yang tercakup
dalam strategi ini adalah penjadwalan, pembuatan catatan kemajuan belajar
siswa, dan motivasi.
3.
Penerapan Berpikir Sistem dalam Penelitian Pembelajaran
Pada uraian telah dikemukakan bahwa pendidikan
merupakan suatu sistem.Karenaitu, untuk memecahkan masalah pendidikan di dalam
suatu penelitian, perlu digunakan pendekatan sistem. Jujun S. Suriasumantri
(2000), mengatakan bahwa pendekatan sistem dapat diartikan sebagai suatu cara
berpikir dengan mempergunakan konsep sistem dalam obyek yang ditelaah
dideskripsikan secara sistematik dan sistemik (menyeluruh) dengan mempergunakan
analisis yang bersifat multi-disiplin. Ciri dari pendekatan sistem adalah, (a)
pendekatan bersifat holistik, (b) berorientasi pada output, (c) analisis
masalah dilakukan dengan menggunakan model.
Berkaitan dengan hal ini, Regeiluth dan Merrill
(1978) menge-mukakan bahwa didalam penelitian pendidikan variabel-variabel
pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : (a) kondisi
pembelajaran, (b) metoda pembelajaran dan (c) hasil pembelajaran. Kondisi
pembelajaran merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan metode dalam
meningkatkan hasil pembelajaran.
Sedangkan metode pembelajaran sendiri merupakan
cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah
kondisi yang berbeda (Degeng : 1998). Hasil pembelajaran merupakan semua efek
yang dapat dijadikan indikator.Tentang nilai penggunaan metode pembelaj aran di
bawah kondisi yang berbeda, berikut ini akan diberikan contoh penerapan
penelitian pendidikan yang dikaitkan dengan berpikir sistem. Konsep berpikir
sistem berorientasi pada output dalam contoh ini adalah prestasi belajar siswa.
Sesuai dengan konsep Regeiluth dan Merrill, output
prestasi belajar siswa ini merupakan point hasil pembelajaran. Regeiluth
mengatakan bahwa hasil pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
(a) keefektifan pembelajaran diukur dengan tingkat pencapaian si-belajar, dalam
hal ini adalah prestasi belajar siswa. Sesuai dengan konsep berpikir sistem,
langkah utama dalam menelaah masalah penelitian terlebih dahulu haruslah dengan
melihat masalah tersebut secara menyeluruh dengan menentukan faktor apa saja
yang terkait dalam masalah tersebut. Jadi, untuk meningkatkan prestasi belajar
siswa, terlebih dahulu kita lihat berbagai faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar tersebut baik dari segi perlakuan yang diberikan pada siswa yang
bersangkutan maupun dari segi kondisi. Faktor yang berkaitan dengan perlakuan
antara lain ; (a) pengorganisasian bahan ajar; (b) strategi penyampaian; dan
(c) pengelolaan kegiatan.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi kondisi adalah
karakteristik siswa. Prestasi belajar adalah hasil dari suatu proses. Ambil
contoh perlakuan yang diberikan untuk meningkatkan prestasi belajar ini
misalnya dengan memberikan metoda X, dan kondisinya adalah motivasi belajar
siswa yang tinggi. Bila temyata hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi
belajar menurun, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh
metoda penyampaiannya yang salah, sebab sesuai dengan konsep berpikir sistem,
kita harus melihat faktor lain secara keseluruhan yang mempengaruhi prestasi
belajar tersebut. Sehingga mungkin saja sebenamya perlakuan yang diberikan
dengan menggunakan metoda X ini sudah tepat, namun pengorganisasian bahan ajar
yang tidak baik.
Sebaliknya, bila hasil penelitian ini mengatakan
bahwa prestasi belajar meningkat dengan perlakuan dan kondisi di atas, maka
kita tidak dapat menyimpulkan bahwa metoda X paling tepat digunakan dalam
kondisi yang ada tersebut, karenamungkin saja ada faktor lain seperti bahan
ajaran yang baik, yang mengakibatkan prestasi meningkat.
Di sinilah diperlukan keterkaitan pendekatan sistem
dalam penelitian pendidikan. Berkaitan dengan penelitian pembelajaran,
Regeiluth dan Merrill (1978) mengemukakan bahwa variabel-variabel pembelajaran
dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (a) kondisi pembelajaran; (b) metode
pembelajaran, (c) hasil pembelajaran. Bahan ajar yang baik, yang mengakibatkan
prestasi meningkat.Di sinilah kita perlu mengkaitkan pendekatan sistem dalam
penelitian pembelajaran. Untuk memperjelas penetapan berpikir sistem dalam
penelitian pembelaj aran dapat dilihat model di bawah ini:
Bagan
: Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem
C.
Penutup
Dalam mewujudkan tujuan pendidikan tidak terlepas
dari perma-salahanyangtimbul salah satu altematifharus dilakukan
penelitian.Konsep berpikir sistem dalam menelaah masalah penelitian harus
melihat masalah secara keseluruhan dengan menentukaii faktor-faktor yang
terkait.Pendidikan agar dapat dipandang sebagai suatu sistem, karena terdapat
komponen-komponen yang saling berkaitan dalam mencapai tujuan pendidikan secara
efektif dan efisien.Dalam penelitian pembelaj aran yang berkaitan dengan
berpikir sistem harus memperhatikan bagaimana keterkaitan antara variabel yang
ada di dalam pembelajaran tersebut dapat diarahkan untuk memecahkan
masalah.pembelajaran, sehingga pembelajaran tercapai secara efektif dan
efisien. Diharapkan para pendidik dalam meningkatkan prestasi be.lajar perlu
dilakukan dengan cara penelitian.
DAFTARPUSTAKA
Ary
Donald. 1992. Introduction to Research in Education. Holt, Reinehart and
Wilson.
Degeng
I. Nyoman. 1998. Jurnal, Penelitian Teknologi Pendidikan IKJP Malang.
Gagne
& Brings. 1987. Educational Research, Competencies for Analysis and
Aplication. Demi Publicing Company.
Jujun
S. Suriasumantri. 2000. System Thinking. Bandung: BhinaCipta.
Jujun
S. Suriasumantri. 2003. Program Strategis Penelitian Pendidikan.
Bandung: Bhina Cipta.
Regeiluth,
Charles M. 1983. Instructional Design Theories and Models. London:
Lawrence Erlbraum Associates. Publisher.
Wolter
R. Borg dan Meredith Damien Gall. 1983. Educational Research. London:
Longman Group Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar